Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA bukan tamu yang biasa datang di masjid. Seorang pria dan seorang wanita warga Amerika Serikat itu mengunjungi sejumlah tempat ibadah di Padang. Ditemani dua lulusan Universitas Andalas, mereka dengan teliti mengamati bangunan-bangunan tersebut. Tujuan mereka sederhana: mengidentifikasi apakah masjid-masjid itu layak menjadi tempat berlindung jika sirene tsunami menyalak.
Dua orang Amerika itu adalah petugas lapangan Engineers for Sustainable World (ESW), lembaga swadaya masyarakat yang beranggotakan mahasiswa teknik tingkat master atau doktoral Amerika yang ingin menyumbangkan ilmu untuk perkembangan dunia. ESW melakukan survei pada Agustus lalu, hanya dua bulan sebelum gempa cukup besar menimpa Padang dan menciptakan tsunami di Kepulauan Mentawai.
”Masjid menjadi pilihan bagus untuk evakuasi,” Gred Rulifson dari Universitas Stanford, Amerika, menuliskan pengalamannya di blog ESW. ”Tapi mereka tidak dijamin aman selama gempa dan tsunami tanpa penelitian lebih lanjut.”
Sebelum ESW, Subdirektorat Mitigasi Bencana dan Pencemaran Lingkungan di Kementerian Kelautan dan Perikanan malah telah membuat daftar gedung yang sudah berdiri dan mungkin menjadi tempat evakuasi di Kota Padang. Tapi daftar yang muncul pada 2008 ini harus diperbarui karena sudah lewat dua gempa besar, dua pekan lalu dan tepat setahun sebelumnya. Sejumlah gedung yang disebut sudah rusak.
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah lembaga yang mengurusi gempa dan bencana memusatkan perhatian ke Padang. Gempa di Kepulauan Mentawai dua pekan lalu memperkuat perhatian itu. Gempa di Mentawai belum melepas seluruh energi yang tersimpan. Para ahli sepakat bahwa sewaktu-waktu bakal terjadi gempa sangat besar, mungkin berkekuatan di atas 8 skala Richter, di kawasan itu dan ada kemungkinan bakal menimbulkan tsunami di Kota Padang.
Padang memang terletak di pantai yang hanya ”selemparan batu” dari garis tumbukan lempeng bumi yang aktif. Tak mengherankan tsunami beberapa kali singgah di kota ini. Pada 1797 dan 1833, misalnya. Pada tsunami 1833, gelombang setinggi setidaknya empat meter berasal dari gempa dengan magnitude (hampir setara dengan Richter) 8,7 sampai 8,8.
Untuk menjaga suatu tempat dari bahaya tsunami, sejumlah teknik dimanfaatkan. Misalnya membuat jalur hijau, yakni garis pepohonan selebar beberapa ratus meter sepanjang tepi pantai. Saat tsunami 2004 menghantam Aceh, di sejumlah kawasan jelas tampak bahwa rumah di belakang pepohonan bisa selamat, sedangkan yang tidak tertutup rata dengan tanah.
”Persoalannya di Padang,” kata Subandono Diposaptono, Direktur Pesisir dan Lautan Kementerian Kelautan dan Perikanan, ”penduduknya padat, tidak mungkin relokasi bangunan yang ada. Mau greenbelt (jalur hijau), tidak ada lahan untuk ditanami. Mau (lari) ke bukit, jauh.”
Satu-satunya jalan agar warga selamat adalah melakukan evakuasi jika sirene tsunami berbunyi dan paling mungkin berlindung ke atas, vertikal, di gedung tinggi. ”Memanfaatkan gedung yang ada,” katanya. Yang diutamakan adalah menggunakan gedung yang sudah kukuh berdiri, seperti pasar atau pertokoan, masjid, sekolah, hotel, kantor, atau gedung pertemuan. ”Kalau belum cukup, membangun (gedung perlindungan khusus).” Sebenarnya evakuasi tidak mesti naik gedung tinggi. Bisa pula menyelamatkan diri menjauh dari pantai. ”Cuma kemungkinan (besar jalan akan) macet,” kata Subandono. Hal ini diperparah oleh sikap warga yang cenderung menggunakan kendaraan saat melarikan diri.
Masjid menjadi perhatian karena warga biasanya menghabiskan uang cukup banyak untuk membangunnya sehingga menjadi kukuh. Selain itu, masjid memiliki karakter lain. ”Bangunannya berongga,” katanya. Rongga ini membuat empasan ombak tsunami cuma ”lewat”, tidak menghancurkan. Contoh terkenal bagaimana masjid menyelamatkan manusia dari tsunami adalah Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, pada 2004.
Tidak hanya masjid yang sebenarnya bisa menjadi tempat berlindung jika ada tsunami. Itu sebabnya, Subdirektorat Mitigasi Bencana Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak 1988 sudah menggagas mencari gedung-gedung yang bisa digunakan untuk tempat berlindung jika tsunami datang di Padang.
Langkah pertama menentukan gedung itu, menurut Subandono, ”Kita lihat dulu peta risiko, terus cari peta rendamannya.” Peta genangan itu menggambarkan wilayah-wilayah yang mungkin bakal terkena tsunami dan dibuat berdasarkan simulasi gempa di tempat tertentu. Sejumlah faktor diperhitungkan dalam membuat peta rendaman ini, terutama posisinya dibanding ketinggian permukaan laut.
Di wilayah yang diperkirakan terendam itu dicari gedung-gedung tinggi yang mungkin bisa menjadi tempat penyelamatan jika terjadi tsunami. Yang pertama dicek adalah ketahanan menghadapi gempa. ”Perlu dicek, apakah kukuh atau tidak,” kata Subandono.
Tentu saja, jika saat gempa sudah roboh, gedung tidak akan bisa lagi menjadi tempat penyelamatan saat tsunami. Atau saat gempa kuat dan masih berdiri tapi tidak tahan menghadapi gelombang tsunami. Yang kedua ini juga tidak akan bisa dipakai.
Data yang dibuat itu lengkap dengan jumlah orang yang bisa ditampung. ”Gedung yang existing (sudah ada itu) bisa menampung sekitar 80 ribu orang,” kata Subandono. Ia memperkirakan sekitar 200 ribu dari 900 ribu warga Padang berada di wilayah yang rawan tsunami.
Sayangnya, pada penelitian saat itu evaluasinya kurang mendalam. ”Kita dibatasi anggaran sehingga hanya bisa melakukan evaluasi visual,” kata Dr Febrin Anas Ismail, ahli konstruksi yang memimpin Pusat Studi Bencana Universitas Andalas dan ikut dalam evaluasi gedung-gedung di Padang itu.
Mestinya, dalam evaluasi, dilakukan sejumlah pengujian konstruksi gedung. Tapi ini tidak dilakukan. Akibatnya, saat gempa berkekuatan 7,6 skala Richter melanda Padang setahun setelah evaluasi selesai dilakukan, sejumlah gedung yang masuk daftar tempat penyelamatan malah ikut rusak. ”Sekitar 60 persen gedung yang direkomendasi, setelah gempa, rusak,” kata Febrin. Gedung ini misalnya Hotel Ambacang atau Bumi Minang.
Sayangnya pula, sampai sekarang belum ada perbaikan data itu. Idealnya, menurut Febrin, evaluasi dilakukan lengkap, dengan rekomendasi, misalnya, gedung itu harus diperkuat. ”Kita tergantung dana pemerintah,” ujar Febrin. Jika ada dana, mereka sudah menyiapkan tenaga. Kekosongan ini yang mulai sedikit-sedikit diisi oleh lembaga asing seperti ESW, yang Agustus silam melakukan survei awal.
Nur Khoiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo