Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

Cip Lokal Sekelas Intel

Indonesia masih tergantung cip luar negeri. Meski industri semikonduktor sudah dimulai, butuh waktu panjang untuk memajukannya.

7 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA Jack Kilby sering disejajarkan dengan Thomas Edison, Wright Bersaudara, dan Henry Ford. Seperti para penemu dan pelopor lampu listrik, pesawat, dan mobil itu, pemenang Nobel Fisika dari Amerika ini mencengangkan dunia lewat gagasan teknologi mikrocip pada 1958, yakni menyatukan transistor, resistor, dan kapasitor dalam satu komponen sirkuit elektronik. Material semikonduktor dari silikon ini dikenal sebagai integrated circuit atau chip.

Gagasan itu menjadi cikal-bakal revolusi elektronik sejagat. ”Saya tak pernah membayangkan akan memicu revolusi elektronik,” kata Kilby sekali waktu.

Kini cip menjelma sebagai otak perangkat elektronik. Sebelumnya, industri elektronik bergantung pada tabung hampa udara, yang berfungsi memperkuat daya. Selain rapuh, mudah pecah, boros listrik, dan mahal, ukuran transistor yang superbesar menjadi masalah. Akibatnya, inovasi produk elektronik berjalan lamban dan sederhana. Lihat saja komputer generasi pertama yang terdiri atas 18 ribu tabung hampa udara, 70 ribu resistor, dan 5 juta titik solder. Semua ini menjadikannya raksasa, seukuran ruang kamar.

Awalnya, Kilby membuat cip generasi pertama seukuran kuku ibu jari orang dewasa, yang memuat seribu transistor. Tapi hari-hari ini satu lempeng cip sebesar uang logam mampu menampung ratusan juta transistor. Para ilmuwan bahkan terus berlomba mengembangkan cip pintar seukuran atom, seperti yang dilakukan para ilmuwan IBM. Mereka berhasil menciptakan peta bumi berformat tiga dimensi berukuran seribu kali lebih kecil daripada sebutir pasir.

Temuan itu bisa diselesaikan berkat teknik terbaru menggunakan ujung silikon yang menajam, dengan ketajaman 100 ribu kali lebih kecil dibanding ujung pensil. Lahirlah pola dan struktur supermini dalam ukuran nanometer (sepersatu miliar meter). Teknik pembuatan pola seperti ini mampu membuka prospek baru untuk mengembangkan cip berukuran nano di bidang elektronik.

Hingga Kilby meninggal pada usia 81 tahun pada 2005, Indonesia masih bergantung pada cip buatan luar negeri. Padahal cip merupakan inti dari semua teknologi dalam perangkat elektronik. Keping cerdas ini selalu menemani kehidupan manusia. Benda-benda itu terselip di remote control, televisi, telepon, kamera digital, komputer, mesin cuci, mobil, pesawat tempur, wahana antariksa, bahkan mainan anak. ”Bisa dibayangkan, manusia modern tidak bisa terlepas dari cip,” kata Eko Fajar Nurprasetyo, doktor ilmu komputer lulusan Universitas Kyushu, Jepang, dua pekan lalu.

Kenyataan itu membuat Eko prihatin. Setelah 17 tahun belajar, bekerja, dan turut andil memajukan perusahaan Sony di Jepang, Eko memutuskan kembali ke Indonesia pada 2006. Pria kelahiran Jakarta pada 1971 ini rela meninggalkan jabatannya sebagai distinguished engineer (posisi peneliti tertinggi) yang bertanggung jawab melakukan penelitian dan membuat rencana teknologi untuk Sony di bidang semikonduktor. Tujuannya satu: membangun industri desain cip agar Indonesia setara dengan negara-negara maju. ”Indonesia harus independen dalam teknologi, khususnya semikonduktor,” kata Eko. Inilah yang membuat Eko dianugerahi B.J. Habibie Technology Award 2010, akhir September lalu.

Eko tidak bekerja sendiri. Bahu-membahu dengan rekannya, Trio Adiono, dia mengembangkan industri desain cip di Bandung. Belasan desain cip sudah dihasilkan untuk pasar luar negeri, dari cip barcode recorder hingga cip untuk mengontrol power dan alat cukur jenggot. Pada 2008, keduanya bergabung dengan Sylvia Sumarlin dan Rudy Hari di bawah bendera PT Xirka Dama Persada. Mereka bekerja sama membuat cip WiMax pertama buatan lokal dengan standar internasional. ”Chipset Indonesia setara dengan cip sekelas Intel,” kata Sylvia, Chief Executive Officer PT Xirka Dama Persada.

Lahirlah Xirka generasi pertama, berupa cip broadband wireless access untuk WiMax dan mobile WiMax. WiMax adalah teknologi yang bisa menyalurkan Internet berkecepatan tinggi lewat gelombang radio sampai radius 50 kilometer. Dengan teknologi ini, pemegang telepon jinjing atau personal digital assistant (PDA) bisa mengakses Internet tanpa kabel hampir di seluruh pelosok kota. WiMax juga mampu memberikan layanan data yang kaya konten dengan kecepatan hingga 70 megabit per detik (Mbps).

Menurut Trio, Xirka WiMax mampu memberikan performa tinggi. ”Mencapai 40 Mbps,” kata doktor lulusan Institut Teknologi Tokyo ini. Cip Xirka cocok digunakan di dalam USB dongle dan USB mini-card sebagai mobile station untuk komputer jinjing dan PDA atau CPE modem untuk komputer desktop. Dibutuhkan waktu antara 18 bulan dan dua tahun untuk membuat cip agar bisa diproduksi massal.

Sebelumnya, para ilmuwan Indonesia sempat berupaya melahirkan beraneka cip, tapi baru sampai tahap penelitian laboratorium. ”Belum ada yang sampai memasuki tahap industri,” kata Kepala Bidang Sistem Elektronik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Mustafa Sarinanto. Bisa dikatakan Xirka adalah satu-satunya semikonduktor yang telah bisa diproduksi Indonesia. Eko menambahkan, kehadiran Xirka WiMax menjadi identitas bangsa dalam kancah semikonduktor internasional. Artinya, bangsa ini mampu membuat otak semikonduktornya sendiri. ”Indonesia sudah bisa memulai untuk mandiri,” kata Eko.

Tapi, untuk benar-benar mandiri, masih butuh waktu panjang. Tantangannya, belum ada pabrik silikon, tempat cip buatan lokal itu diproduksi massal. Jadi yang dilakukan Eko selama ini adalah membuat desain cip, yang selanjutnya diproduksi di luar negeri, seperti di Jepang atau Taiwan. Setelah menguasai teknologi cip, kini tantangan Eko adalah membuat pabrik silikon. ”Target saya 5-10 tahun ke depan akan lahir sebuah pabrik silikon di Depok,” katanya.

Satu industri cip saja belum cukup. Indonesia sedikitnya memerlukan 10 industri cip untuk memenuhi kebutuhan perangkat elektronik penduduknya di masa depan. Apa pun itu, Eko, Trio, dan Mustafa Sarinanto optimistis industri semikonduktor di Indonesia akan menjadi tonggak revolusi elektronik negeri ini. ”Salah satu fondasi kemajuan bangsa ada di bidang semikonduktor,” kata Eko.

Laiknya Kilby yang tak menyangka revolusi elektronik dunia lahir dari tangannya, Eko tak tahu kapan revolusi elektronik akan mengguncang Indonesia lewat tangan-tangan anak bangsa lainnya. Walau begitu, dengan yakin Eko berkata, ”Tak lama lagi.” Bisa jadi kehadirannya di industri semikonduktor adalah pertanda kemajuan.

Rudy Prasetyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus