Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Magnet itu datang pada pada sebuah malam, saat Sigit Adinugroho berkelana di ranah internet. Magnet yang menyedot perhatian siswa kelas satu SMA Indonesia di Kuala Lumpur, Malaysia, bukanlah halaman web yang penuh gambar mesum. Bukan pula Friendster, situs yang mempertemukan anak-anak muda dengan teman-teman lama.
Halaman yang membetot perhatian Sigit itu hanyalah kumpulan tulisan anak-anak, yang sebagian ditulis secara amatir dan bergaya kanak-kanak. ThinkQuest (www.thinkquest. org) namanya. Meski amatiran, situs ini telah menyihir jutaan anak sedunia.
Tentu saja, jangan bandingkan kepopuleran ThinkQuest dengan kisah Harry Potter. Yang membuat halaman web ini menarik, di ThinkQuest ribuan anak dan remaja sedunia berlomba membuat halaman web. Ini yang membuat ThinkQuest bukan saja menjadi ensiklopedia "dari, oleh, dan untuk" anak. Aneka topik bisa dicari di sini, mulai dari burger, kopi, hingga tsunami. Ini yang membuat web yang berisi 5.500 halaman itu dinobatkan sebagai salah satu situs anak-anak terbaikversi lembaga riset CommonSensebersama situs PBS Kid, dan pembuat film animasi Pixar.
"Hampir setiap hari saya pasti melihat situs ini," ujar Sigit yang tergila-gila dengan pesona ThinkQuest ini sejak empat tahun silam. Dan sejak tahun itu, sudah empat kali Sigit menang dalam kompetisi yang dikhususkan untuk anak-anak di bawah umur 19 tahun itu.
Sigit adalah sosok anak pecandu komputer. Dia kuat berjam-jam duduk di depan mesin pintar itu dan berselancar di dunia maya. Ayahnya sempat kaget ketika tagihan internetnya bengkak, mencapai hampir sejuta rupiah. Di saat SMP, Sigit sudah mafhum bahasa kode HTML (Hyper Text Mark-up Language, bahasa pembuat web). Dia juga terampil menggunakan Frontpage atau Dreamweaverperanti yang biasa digunakan para pembuat web profesional. Dia tahan begadang bermalam-malam demi halaman webnya.
Di ThinkQuest, kompetisi membuat halaman web bukan cuma urusan memperindah agar tampilan web enak dilihat atau menjejalkan kode-kode HTML yang canggih-canggih. Kompetisi itu mementingkan unsur pendidikan. Yang paling komprehensif menulis suatu topik akan mendapat nilai lebih tinggi. Yang lebih penting lagi, kata Sigit, yang bisa bekerja sama dengan kawan-kawan di berbagai negara juga akan mendapat nilai lebih tinggi.
Inilah yang ditempuh Sigit dan menjadikan dia juara pada Oktober 2004. Untuk proyek situsnya yang bernama Coffee: All Ground Up, mahasiswa semester 5 Jurusan Desain Grafis Institut Teknologi Bandung itu menggandeng seorang teman dari Australia (Ben), dua dari Vietnam (Ngoc dan Lan), dan dari Amerika Serikat (Ammu). Setiap tim memang dibolehkan beranggota hingga enam orang.
Membentangkan kertas kerja bareng teman-teman empat negara itu bukan pekerjaan enteng. Soal waktu, misalnya, ada perbedaan waktu yang dramatis antara Australia, Indonesia, Vietnam, dan Amerika Serikat. Saat Ben di Australia mengajak mengobrol secara online pukul 09.00 waktu setempat, Sigit harus sudah berada di sebuah warnet di Bandung pada pukul 06.00 WIB. Sedangkan Ammu yang ada di Pinkerton, Amerika Serikat, harus online pukul 18.00 waktu setempat.
Kendala lain adalah membangun kerja sama. Mereka harus berbagi tugas. Sigit bertugas menjadi ketua tim dan desainer. Ammu dari Amerika Serikat menyumbang bahan, melakukan survei, dan membuat animasi. Ben dari Australia menyiapkan games seputar kopi. Lan dan Ngoc melakukan wawancara, survei, dan penulisan.
Pada situs itu mereka bercerita tentang segala hal tentang kopi, mulai dari asal-usulnya, perdagangan kopi, krisis kopi dunia, efek kopi buat kesehatan, sampai kisah perih buruh kopi di pedalaman Afrika dengan upah rendah yang bekerja keras untuk secangkir kopi mahal Starbucks.
Karena semua anggotanya mudarata-rata SMA atau mahasiswa baruemosi mereka sering meletup-letup seperti roller coaster. "Saya harus sabar dan menyediakan pundak untuk curhat (mencurahkan perhatian)," kata Carol Calderwood, pembimbing tim Sigit, dalam situs pribadinya. Pengajar dari Newcastle, Australia, itu, tahun lalu telah membimbing Sigit dan teman-temannya dari Australia dan Belanda sehingga mereka menjuarai kontes ThinkQuest (http://library.thinkquest.org/03oct/00128). Kemenangan itu membuat Carol dan Sigit dan pemenang lainnya diundang oleh Oracle, raja peranti lunak database sekaligus penyelenggara ThinkQuest, ke San Francisco, Amerika Serikat.
September nanti, Sigit dan Carol kembali diundang ke San Francisco. Bukan cuma untuk minum kopi di hotel berbintang lima, tapi kembali menjadi juara menyisihkan sekitar 400 pesaing. "Ini prestasi hebat anak Indonesia setelah beberapa waktu lalu remaja kita menang kontes Google se-Asia Selatan," kata Adi J. Rusli, Direktur Pengelola Oracle Indonesia. "Kita punya banyak anak pintar."
Burhan Sholihin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo