Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu hari pada pertengahan 1980-an, ada kejadian aneh menimpa pembantu rumah Arthur Supardan Nalan di Bandung, Jawa Barat. Jamandemikian nama pembantu di rumah seniman teater itusuka bermain buntut. Jaman bermimpi berjumpa jin perempuan di garasi rumah. Jin itu membisikkan nomor jitu dengan syarat harus bersedia kawin dengannya. Tanpa pikir panjang, Jaman bersedia dan nomor pun kena. Ia menjadi kaya raya menurut ukurannya.
Jaman hengkang dari rumah Arthur, pulang ke kampung halamannya di Kadipaten, Majalengka, Jawa Barat. Ia menikah dengan gadis pilihannya di kampungnya. Ternyata, jin perempuan yang dulu dijumpainya dalam mimpi menagih janji. Jin itu menganggap Jaman telah berkhianat. Sang jin meniup tangan dan mencium Jaman dalam mimpinya. Sejak itu, Jaman menjadi buta dan tuli.
Kejadian aneh tapi nyata itu terus mengendap dalam diri Arthur. Hingga awal 2000 lalu, ketika bertandang ke penambangan emas di Gunung Pongkor, Jawa Barat, Arthur menemukan sepenggal realitas yang sama-sama menyiratkan gairah akan kekayaan. Ia meradang menyaksikan seorang penambang "liar"biasa disebut gurandiltewas terjebak dalam lorong penggalian emas. "Tragedi itu sangat menyentuh," kata pria kelahiran Majalengka, 21 Februari 1959, itu mengenang.
Kedua peristiwa yang menimpa buruh kecil itu melecutnya menuangkan dalam sebuah lakon drama. Dengan latar masa penjajahan ketika zaman kuli kontrak merajalela, sandiwara itu pun dikembangkan. Hasilnya? Sobrat, sebuah naskah sandiwara gelap terdiri dari 18 bagian. Naskah pemenang pertama Lomba Penulisan Naskah Drama 2003 Dewan Kesenian Jakarta itu berkisah tentang sisi gelap manusia Sobrat dalam perjalanan sangat getir, dari awal hingga akhir.
Sobrat digarap sekitar setahun. Jadi, naskah itu telah selesai jauh sebelum diikutkan dalam Lomba Penulisan Naskah Drama 2003. Menurut Arthur, ia biasanya menulis selepas tengah malam hingga subuh menjelang. "Suasananya lebih tenang," ujar alumni Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta dan Magister Humaniora UGM, Yogyakarta, itu.
Awalnya, naskah itu berjudul Kulit Pecah. Isinya tentang pecahnya kepribadian tokoh utamanya. Tapi Arthur merasa kurang sreg. Ia menggantinya dengan Sobat, lalu berubah lagi menjadi Sobrat. "Kalau Sobat kayaknya kurang greng," ia menerangkan.
Bagi Ketua STSI Bandung itu, Sobrat bukan naskah pertamanya yang menang lomba. Tiga naskah dramanya menjadi pemenang pertama: Kawin Bedil, Si Badul dan Anak Ondel-Ondel, serta Oleng Panganten (berbahasa Sunda). Menulis sejak 1979, ayah dua anak itu telah melahirkan sekitar 65 naskah drama.
Menurut dramawan N. Riantiarno, Sobrat sangat mewakili keadaan sekarang: nasib gelap para buruh, terutama para TKI. Sobrat juga sangat kental dengan warna lokal. Kisah tentang dunia gaib, roh-roh yang menuntut balas jasa. Irama dan segi dramatik penuh kejutan, serta struktur lakon pun terjaga.
W.S. Rendra, yang mementaskan lakon Sobrat, juga sama. Sobrat sederhana. Tapi Rendra melihat adanya kesejajaran antara kisah kuli kontrak zaman kolonial dan riwayat para TKI zaman sekarang.
Rendra juga tertarik Sobrat lantaran perhatiannya pada antropologi dan seni rakyat sangat menonjol. "Jejak sandiwara rakyat dan kandungan etnografi dalam Sobrat begitu kental," katanya. Menariknya lagi, meski penulisnya itu sangat akademis, dalam mengarang imajinasinya sangat bebas.
Toh, dalam penyajiannya di panggung, Rendra tak mementaskannya sebagai sebuah sandiwara gelap. Ia tak mau terjerumus dalam melodrama. Bengkel Teater Rendra justru menggelarnya dalam gaya mendongeng ceria, "Sehingga isinya yang gelap itu akan menonjol sebagai ironi," Rendra menjelaskan.
Interpretasi si Burung Merak itu sangat dihargai Arthur. "Itu sah-sah saja." Yang pasti, di tangan Rendra, naskahnya tak banyak mengalami perubahan, terutama pada dialog-dialognya. "Mas Rendra tampaknya berusaha menjaga keaslian naskah saya," kata Arthur seusai pementasan hari pertama Sobrat di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis malam lalu.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo