Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

Sejarah Telegram yang Bakal Didenda Kominfo Terkait Judi Online

Ini sejarah Telegram, aplikasi pesan singkat pesaing WhatsApp yang diancam Kominfo membayar denda Rp500 juta terkait konten judi online.

5 Juni 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Beberapa dari Anda mungkin mengalami kendala tidak bisa masuk telegram. Hal ini bisa disebabkan beberapa hal. Foto: Canva

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memberi peringatan keras kepada penyelenggara digital di Indonesia yang tidak memberantas konten terkait judi daring atau judi online, salah satunya Telegram. Pasalnya, aplikasi pesan singkat asal Rusia itu dianggap tidak kooperatif. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Hari ini saya ingin menyampaikan hal penting, yaitu peringatan keras kepada seluruh pengelola platform digital, seperti X (Twitter), Telegram, Google, Meta, dan TikTok,” kata Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi dalam konferensi pers judi online yang berlangsung virtual di Jakarta Selatan, Jumat, 24 Mei 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia mengatakan bahwa platform digital seperti Telegram akan dikenai denda sebesar Rp500 juta jika masih membiarkan konten judi slot. Hal itu didasarkan pada pemantauan Kementerian Kominfo yang masih menemukan banyak konten dengan kata kunci terkait judi online. 

“Jika tidak kooperatif untuk memberantas judi online di platform Anda, maka saya akan kenakan denda hingga Rp500 juta per konten. Saya ulangi, saya akan denda sampai Rp500 juta per konten,” ucap Budi. 

Sejarah Telegram

Melansir Britannica, Telegram merupakan aplikasi perpesanan instan berbasis awan (cloud) milik dua bersaudara, Pavel Durov dan Nikolai Durov. 

Pada awalnya, Pavel Durov mendirikan VKontakte atau VK, sebuah situs jejaring sosial yang sering dianggap sebagai Facebook versi Rusia pada 2006. 

Ketika basis VK berkembang menjadi lebih dari 100 juta pengguna pada awal 2010-an, situs itu pun menarik perhatian pemerintah setempat. Pada 2011, Pemerintah Rusia meminta perusahaan untuk menyensor halaman-halaman yang berhubungan dengan proses pemilihan parlemen. 

Namun, Durov menolak dan menerima tekanan untuk menjual VK, serta mendapatkan kunjungan dari tim polisi bersenjata lengkap. Pada akhirnya, mereka menjual sisa saham perusahaan itu dan meninggalkan Rusia. 

Pada 2013, dua pengusaha asal Rusia tersebut mendirikan Telegram, yang memungkinkan komunikasi tanpa campur tangan pemerintah. Berbeda dari pesaingnya, WhatsApp, Telegram menawarkan obrolan rahasia terenkripsi yang menarik beberapa kelompok ekstremis untuk menggunakannya, seperti neo-Nazi. 

Pada 2015, Liga Anti-Pencemaran Nama Baik (ADL) melaporkan sejumlah saluran dan grup Telegram berhubungan dengan organisasi pemberontak Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS). Namun Durov bersaudara mengumumkan bahwa saluran publik ISIS akan diblokir dari aplikasi itu. 

Pada 2023, The Atlantic menjuluki Telegram sebagai aplikasi paling penting di dunia. Pasalnya, aplikasi perpesanan singkat itu memiliki peran dalam pemberontakan bersenjata pemimpin Grup Wagner Yevgeny Prigozhin melawan kepemimpinan militer Rusia. 

Selain itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menggunakan Telegram untuk berbagi pembaruan berita Perang Rusia-Ukraina. 

Pernah Diblokir Kominfo

Terkait ancaman denda Rp500 juta untuk konten judi online, Kominfo ternyata pernah memblokir Telegram pada Jumat, 14 Juli 2017 lalu. Pemutusan akses dilakukan dengan dalih layanan percakapan instan itu dapat membahayakan keamanan negara, karena tidak menyediakan prosedur standar (SOP) dalam penanganan kasus radikalisme dan terorisme. 

“Pemblokiran ini harus dilakukan karena banyak sekali kanal yang ada di platform tersebut bermuatan propaganda radikalisme, paham kebencian, terorisme, ajakan atau cara merakit bom, cara melakukan penyerangan, disturbing images (gambar mengganggu), dan lain-lain yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia,” demikian siaran pers Kementerian Kominfo, Jumat, 14 Juli 2017, seperti dikutip dari Antara. 

CEO Telegram Pavel Durov pun mengungkapkan keheranannya mengapa Telegram diblokir di Indonesia. 

“Aneh, kami tidak pernah memperoleh permintaan atau protes dari pemerintah Indonesia. Kami akan selidiki dan membuat pengumuman,” kata @durov saat membalas cuitan (tweet) seorang warganet di X. 

MELYNDA DWI PUSPITA 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus