Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (United Nations Office on Drugs and Crime/UNODC) merilis laporan yang menyebutkan bahwa jaringan kriminal kuat di Asia Tenggara menggunakan aplikasi pesan Telegram untuk menjalankan aktivitas kejahatannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laporan ini dirilis pada hari Senin, 7 Oktober 2024, dan menyoroti peran Telegram dalam memfasilitasi kejahatan terorganisir. Perwakilan Deputi UNODC untuk Asia Tenggara dan Pasifik, Benedikt Hofmann, mengatakan bahwa aplikasi ini menjadi tempat yang mudah dinavigasi oleh pelaku kejahatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Bagi konsumen, ini berarti data mereka berisiko lebih tinggi untuk digunakan dalam penipuan atau aktivitas kriminal lainnya daripada sebelumnya," kata Hofmann seperti dilanir Reuters, Rabu, 9 Oktober 2024.
UNODC mengungkapkan bahwa data yang diretas, termasuk informasi kartu kredit, kata sandi, dan riwayat browser, diperdagangkan secara terbuka di aplikasi dengan saluran yang sedikit dimoderasi.
Selain itu, alat kejahatan siber seperti perangkat lunak deepfake dan malware pencuri data juga dijual secara luas. Ada pula bursa cryptocurrency yang tidak berlisensi menawarkan layanan pencucian uang. Bahkan, salah satu iklan dalam bahasa Cina di laporan UNODC tersebut memuat pengumuman seperti ini, "Kami memindahkan 3 juta USDT (sekitar Rp 46 miliar) yang dicuri dari luar negeri per hari.”
Laporan itu turut menunjukkan adanya bukti kuat mengenai pasar data bawah tanah yang berpindah ke Telegram dan penjual yang aktif menargetkan kelompok kejahatan terorganisir transnasional di Asia Tenggara. Kini, Asia Tenggara menjadi pusat industri bernilai miliaran dolar yang menargetkan korban di seluruh dunia dengan skema penipuan.
Tak hanya itu, laporan tersebut menyebutkan soal banyak sindikat kriminal yang berasal dari Cina dan beroperasi dari lokasi-lokasi tersembunyi. “Industri ini diperkirakan menghasilkan antara US$ 27,4 miliar hingga US$ 36,5 miliar setiap tahun,” kata UNODC.
Laporan itu juga mengungkapkan bahwa besarnya keuntungan yang diperoleh kelompok kriminal di wilayah tersebut telah memaksa mereka untuk melakukan inovasi, dengan mengintegrasikan berbagai model bisnis dan teknologi baru ke dalam operasi mereka. Termasuk dengan penggunaan malware, kecerdasan buatan generatif, dan deepfake.