Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proses penghitungan suara pada pemilihan umum serentak 17 April lalu benar-benar menguras tenaga dan pikiran Chairani Untung, 38 tahun. Anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara di tempat pemungutan suara 67 di Desa Cijujung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu mengaku baru merampungkan pekerjaannya dua jam setelah lewat tengah malam. “Yang paling melelahkan mengisi formulir yang banyak dan harus hati-hati, tidak boleh salah. Padahal konsentrasi sudah menurun,” kata Ani—sapaan Chairani—Sabtu, 27 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penghitungan suara di tingkat TPS merupakan salah satu titik paling rawan dalam penyelenggaraan pemilu, termasuk Pemilu 2019. Kesalahan yang tak disengaja seperti salah memasukkan data ataupun kecurangan berpotensi besar terjadi di TPS. Kehadiran teknologi melalui pemilu elektronik alias e-voting dapat mengeliminasi kesalahan dan kecurangan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah mengkaji dan mengembangkan sistem e-voting sejak 2009. Menurut Direktur Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi BPPT Michael Andreas Purwoadi, sebenarnya BPPT menargetkan e-voting diterapkan dalam Pemilu 2019. “Sayangnya, regulasinya belum ada. Untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum legislatif dan presiden harus ada peraturan Komisi Pemilihan Umum,” ujar Purwoadi di kantornya, Jumat, 3 Mei lalu.
Ia menerangkan, e-voting sebenarnya sudah masuk sejumlah pasal dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum. Namun pasal-pasal tersebut dicabut setelah anggota panitia khusus revisi Undang-Undang Pemilu pulang dari studi banding di Meksiko, Brasil, dan Jerman. “Mungkin salah memilih negara untuk studi bandingnya,” ucap Purwoadi.
Ia mengatakan sistem e-voting yang dikembangkan BPPT bersama perusahaan elektronik pelat merah, PT Inti, dan anak usahanya, PT Inti Konten Indonesia (Intens), terbukti berjalan baik dalam pemilihan kepala desa. “Kalau pilkades kan hanya perlu peraturan daerah. Beberapa kepala daerah ternyata tertarik menggunakannya,” katanya. Sebanyak 981 desa dari 18 kabupaten di 11 provinsi sukses menggelar e-voting kepala desa sejak 2013 hingga 2019.
Kepala Program Sistem Pemilu Elektronik BPPT Andrari Grahitandaru mengatakan keberhasilan di hampir seribu desa itu menunjukkan masyarakat desa telah siap mengikuti e-voting. “Tahun 2018, kami menggelar e-voting di 39 desa di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Itu termasuk suku Anak Dalam, mereka bisa mengikuti,” tutur Andrari.
Menurut dia, permintaan e-voting untuk pemilihan kepala desa terus meningkat. “Memang tidak mudah karena harus ada kemauan tinggi dari bupati dan dukungan DPRD untuk mengubah perda,” ujarnya.
Penerapan e-voting ternyata tidak terbatas pada pemilihan kepala desa. Andrari menuturkan, dalam beberapa pekan ke depan, akan berlangsung pemilihan badan permusyawaratan desa—semacam lembaga legislatif desa—di Kabupaten Batanghari, Jambi. “Di layar komputer akan tayang 12 foto calon sekaligus. Pemilih mendapat dua token atau ibaratnya dua surat suara. Jadi, untuk pemilihan legislator ataupun pemilu serentak, tidak ada masalah dengan sistem e-voting ini,” ucapnya.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum sekaligus Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu, Ilham Saputra, ragu akan kesiapan infrastruktur untuk penerapan e-voting. “Memasukkan hasil pemindaian formulir C1 ke Sistem Informasi Penghitungan Suara KPU saja sinyal Internet naik-turun,” tutur Ilham merujuk pada pengalaman di KPU di kawasan Indonesia timur.
Soal infrastruktur, kata Andrari, tidak menjadi kendala dalam penyelenggaraan e-voting di Tanah Air. Perangkat e-voting hanya mengkonsumsi listrik rendah. “Pengalaman pilkades lalu hanya di Jawa yang memakai listrik PLN. Di daerah seperti Boalemo (Gorontalo), Musi Rawas dan Banyuasin (Sumatera Selatan), serta Sarolangun dan Batanghari (Jambi) itu pakai genset. Di Bantaeng (Sulawesi Selatan) pakai aki mobil,” ujarnya.
Selain itu, Andrari menambahkan, infrastruktur Internet Indonesia sudah makin bagus dengan adanya Palapa Ring. Lagi pula, menurut dia, sistem pemilu elektronik BPPT saat pemungutan suara tidak terkoneksi dengan jaringan mana pun. “Ada 26 negara di dunia yang saat ini menggunakan e-voting dan pemungutan suaranya online. Kita tidak online karena keamanan dan kerahasiaan harus diutamakan.”
Di kantornya di lantai 11 Gedung 2 BPPT di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Andrari mendemonstrasikan cara kerja e-voting lembaganya yang terdiri atas perangkat komputer layar sentuh, printer termal, dan pembaca kartu pintar (token). Agar efektif, e-voting ini harus didahului dengan sistem e-verification alias verifikasi identitas pemilih yang sah secara elektronik. Sistem e-verification terdiri atas perangkat pembaca kartu tanda penduduk elektronik dan komputer.
Perangkat keras dan lunak e-voting dirancang bangun oleh peneliti BPPT dan telah dipabrikasi oleh PT Inti di Bandung. Menurut Direktur PT Inti Konten Indonesia Rizki Ayunda Pratama, harga paket sistem pemilu elektronik lengkap itu berkisar Rp 50-70 juta. Variasi harganya disesuaikan dengan biaya pengiriman ke lokasi desa. Tingkat komponen dalam negeri produk mereka, kata Rizki, telah melebih batas syarat 40 persen.
Information Technology Solutions Manager PT Inti Konten Indonesia Abdul Aziz N. Nalole mengatakan satu bilik e-voting sanggup melayani rata-rata 2.000 pemilih. “Jumlah itu untuk mengejar batas waktu pencoblosan. Tapi, kalau kemampuan alatnya, tidak ada batas jumlah pemilih.” Rizki menambahkan, pihaknya menyiapkan tim asisten yang melayani pemilih di TPS. “Biasanya jumlah pemilih di satu TPS 3.000 orang. Itu pemungutan suaranya sejak pukul 07.00 dan bisa selesai pada pukul 14.00,” ujarnya.
Jika pemilih tetap terdaftar berjumlah 192 juta, dibutuhkan sekitar 96 ribu bilik e-voting (setara dengan TPS) atau dibulatkan menjadi 100 ribu bilik. “Bandingkan dengan 810 ribu TPS yang harus disiapkan untuk pemilu serentak lalu,” ucap Michael Andreas Purwoadi. Biaya pengadaan peralatan satu bilik e-voting, dia melanjutkan, sekitar Rp 50 juta. “Kalau 100 ribu bilik, berarti sekitar Rp 5 triliun. Sedangkan biaya pemilu serentak lalu kan sekitar Rp 25 triliun.”
Sudah Siap Pemilu Elektronik/Tempo
Menurut Aziz, PT Inti mampu menyiapkan 100 ribu bilik e-voting dalam waktu tidak lama. Apalagi bila melibatkan sinergi badan usaha milik negara. “Pengalaman kami menyiapkan pilkades di 72 desa di Kabupaten Pemalang, yang butuh hampir 800 perangkat, itu dalam tiga minggu,” tuturnya.
Purwoadi mengatakan skema pengadaan barang e-voting ini sebaiknya berbeda dari model pengadaan yang ada sekarang. Alasannya, perangkat e-voting dapat digunakan berulang kali dengan jeda pemakaian lama. “Jadi sebaiknya bukan model pengadaan, tapi penyewaan. Kita bisa meniru India, yang menugasi satu perusahaan BUMN, Electronics Corporation of India Limited, untuk mengelola peralatan pemilu,” kata Purwoadi. Negara lain, dia menambahkan, setiap kali akan mengadakan pemilu, membeli peralatan dan teknologi baru serta perlu belajar lagi.
DODY HIDAYAT, ANWAR SISWADI, REZA MAULANA, ANGELINA ANJAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo