Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka bukan tokoh perkasa dan mulus seperti Diana, putri Amazon dengan tubuh sempurna dalam Wonder Woman, atau Clark Kent, pria yang gagah, sopan, dan perawan yang sewaktu-waktu menjelma jadi Superman. Dari sisi ini, Game of Thrones, drama sinematik produksi HBO, sebuah kontra-narasi. Film-film superhero adalah fantasi tentang manusia yang lebih. Game of Thrones tentang manusia yang kurang.
Mungkin sebab itu cerita yang seakan-akan berlangsung di zaman gelap Eropa ini bisa menggugah—selain seru. Tak seperti epos panjang Mahabharata, ia tak mengisahkan perebutan takhta dengan ambisi dan keperwiraan. Game of Thrones adalah cerita tentang proses traumatis menjadi manusia.
Tyrion Lannister, si cebol, tokoh paling memikat dalam fiksi sinematik ini, mengungkapkan apa yang agaknya harus disampaikan: kita bisa menjadi manusia hanya dengan empati kepada mereka yang tak utuh dan tak menentu, yang jumud dan yang berbekas dosa, yang dinista dan yang rusak: “I have a tender spot in my heart for cripples, bastards and broken things….”
Mungkin Tyrion menyatakan itu karena ia sendiri “barang rusak”. Ia lahir cebol; ibunya meninggal dalam proses melahirkan; kakaknya, Cersei, menyalahkannya karena itu. Ayahnya, Tywin Lannister—seorang patriakh yang seluruh hidupnya menyiapkan kejayaan—membenci si bungsu yang buruk rupa. Tyrion menyadari itu. Ia juga tahu ayahnya, tangan kanan Raja, mempersiapkan proses peradilan yang akan menghukumnya mati, meskipun tak ada bukti ia bersalah membunuh sang raja muda. “Aku bersalah karena aku cebol,” katanya, marah, getir.
Di puncak konflik, Tyrion menembakkan panah dan membunuh ayahnya—sambil berdesah kepada bapak yang menolak mengakuinya itu: “Aku anakmu, aku selalu anakmu!”
Ia tak mengasihani dirinya sendiri; ia menerima kenyataan bahwa orang memandangnya sebagai cacat. Sebagaimana nasihatnya kepada Jon Snow, anak haram yang tak disukai ibu tirinya, orang harus tak lupa yang jadi olok-olok dalam dirinya. “Pakailah itu seperti baju besi. Orang tak akan menggunakannya buat melukaimu.”
Bangsawan kurcaci ini bahkan menegaskan—dengan ironi di wajahnya yang kasar tapi tak culas—kelemahannya sekaligus keunggulannya: hidupnya terdiri atas “minum dan syahwat”. Ia mencemooh dirinya sebagai “dewa anggur dan tetek cewek”. “Akan kubikin tempat ibadah untuk diriku sendiri di bordil yang nanti aku datangi.”
Kata-katanya kotor. Dengan kurang ajar ia menggedor yang “beradab” dan “suci”, ketika di sekitarnya agama dan pelbagai kepercayaan mengerumuni manusia.
Ada pengikut R’hllor, Dewa Cahaya. Pendetanya, Melisandre, perempuan yang berusia ratusan tahun tapi hadir sebagai wanita yang seksual. Ia datang jadi penasihat Stannis Baratheon, bahkan berzina dengan waris takhta itu. Ia ingin membuat Agama Cahaya, yang mulai punya pengikut di Westeros, menyangga dan disangga Takhta.
Untuk itu Melisandre yakin. Ia bisa membangun harapan dan Dewa Cahaya membantunya. Ia hidupkan kembali Jon Snow yang terbunuh. Tapi tuntutan imannya juga bisa buas. Atas nasihatnya, Stannis membakar hidup-hidup putri tunggalnya, seorang anak yang cerdas, sebagai pengorbanan agar si ayah menang perang. Sebuah perhitungan yang meleset. Stannis kalah dan dibunuh: raja yang kalem ini ternyata bukan “pangeran” yang dijanjikan Langit untuk menguasai Takhta Besi dan menegakkan damai di Tujuh Kerajaan.
Tyrion memandang semua itu dengan masygul: “Tuhan Cahaya ingin agar musuh-musuhnya dibakar. Tuhan Tenggelam ingin mereka ditenggelamkan. Mengapa semua Tuhan turuk busuk yang keji? Di mana Tuhan anggur dan tetek cewek?”
Agaknya dengan sikap seperti itu Tyrion bisa berteman, sampai jauh, dengan Varys, lelaki gundul yang di masa kecil dikebiri. “Temanku ini,” kata Tyrion suatu ketika, “punya skeptisisme yang sehat terhadap agama.”
Agama, dalam Game of Thrones, baik yang dibawakan Melisandre maupun yang dipimpin seorang alim yang disebut High Sparrow, mencoba memperbaiki manusia dan dunia yang najis dan kacau. Mereka mencoba dengan keras. Dunia tetap cacat. Akhirnya iman ini tak bisa menerima cela apa pun. Para pengikut High Sparrow merazia rumah pelacuran, menghancurkan tong-tong anggur, membantai dan memenjarakan para pendosa, memaksa mereka mengaku….
Dalam kisah fiktif itu, seperti dalam hidup kita dulu dan kini, agama adalah hasrat untuk menghilangkan yang kurang dalam sejarah manusia; untuk itu ia jadi kekuasaan.
Pada suatu tahap, High Sparrow bergabung dengan Ratu Cersei—tokoh keras, tegang, yang memusuhi siapa saja. Sang Ratu bahkan mengangkatnya jadi pendeta agung dan mempersenjatai bawahannya: ia yakin, ketika kekuasaan politik bertaut dengan kekuatan agama, takhta tak akan terkalahkan.
Tapi sebagaimana hasrat, agenda umat yang militan itu tak bisa dipatok. Hasrat senantiasa melesat lepas dari apa yang dituntut dan didapat—dan tak pernah terpuaskan. High Sparrow akhirnya bentrok dengan Sri Ratu. Merasa lebih berkuasa karena lebih suci, pemimpin agama itu mengharuskan Cersei menebus dosanya dengan berjalan telanjang di depan umum, seraya dicerca.
Pada gilirannya, Cersei membalas. Ia mengatur agar pusat agama dimakan api dan para padrinya, juga High Sparrow, mati terbakar.
Si cebol dan si orang kasim, dengan cacat dan kekurangan mereka, berjalan terus. Tyrion adalah saksi bahwa kekuasaan berarti aniaya terhadap yang tak berdaya. “Yang berkuasa selalu memangsa yang tak punya kuasa—itu memang yang membuat mereka berkuasa,” katanya.
Varys, yang sejak kecil hidup dengan kelamin yang direnggutkan (dan bisa berpengaruh dalam politik bukan karena pasukan, tapi karena menguasai informasi), membawakan kesaksian lain. Kekuasaan, baginya, adalah sebuah “tipuan, sebuah bayangan di tembok”—sesuatu yang ingin memenuhi hasrat; senantiasa meleset.
Orang-orang yang ingin merebut Takhta hanya memainkan lelucon yang menakutkan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo