KORAN itu pernah terbit dengan 20 halaman selama beberapa hari
pada Desember lalu. Kalangan pers terkejut dibuatnya. Sesudah
itu Kompas muncul kembali dengan 16 halaman -- seperti biasa
dengan penampilan iklan yang luar biasa.
Menyambut tahun 1980, Kompas membuat kejutan lagi. Mulai 1
Januari koran itu, menurut pengumumannya tidak menerima iklan
yang mempromosikan produk rokok termasuk tembakau pipa dan
cerutu, serta minuman alkohol termasuk bir. Juga mulai 1
Februari depan ia menolak iklan yang berukuran lebih setengah
halaman koran (tidak melebihi 2.430 mm).
Kalangan pers berusaha menghubungkan 'hadiah tahun baru' tadi
dengan kontroversi mengenai lomba peningkatan jumlah halaman
sebelumnya. Benarkah koran itu sudah kewalahan menampung iklan?
P.K. Ojong, Pemimpin Umum Kompas, mengakui jumlah halamannya
makin dirasakan terbatas sekali. Koran ini konon sedang berupaya
menata jatah dan isi iklan serta menyeleksi penerimaannya.
"Tidak sembarang iklan kami terima," kata Ojong kepada A.
Margana dari TEMPO "Iklan yang menyesatkan masyarakat pasti kami
tolak."
Iklan Orthopedi, alat untuk meninggikan badan yang diterima
sebagian besar media massa Jakarta, pernah ditolaknya. Dengan
syarat harus melampiri (fotokopi) surat cerai bagi pemasang,
iklan perceraian susah masuk koran itu. Tapi justru iklan film
yang memamerkan serangkaian kata pembujuk yang sifatnya
berlebihan dibiarkannya lolos.
Iklan film Mid night Express (Kompas 26 Desember 1979) misalnya
berkomentar: "The Deer Hunter 9 Oscar menggemparkan, apalagi
Midnight Express 11 Oscar!!! Film Besar tidak perlu
komentar!!!" Aje gile. Iklan itu jelas menipu. Sesungguhnya
film itu hanya mendapat tanda penghargaan (award) dari beberapa
negara, yang kalau dijumlah memang 11 -- tapi jelas bukan Oscar.
Mengapa iklan rokok dan minuman keras ditolak? Ojong mengiaskan
pengaruh iklan itu seperti perbuatan tengkulak yang memberi
minuman keras pada petani yang bodoh. Petani itu memang senang,
"tapi setelah mabuk mereka diajak teken kontrak ijon," kata
Ojong. "Yang begini, seperti juga rokok, jelas merugikan."
Sakti Alamsyah, Pemimpin Umum Pikiran Rakyat, Bandung,
sependapat dengan Ojong. "Tapi terus terang kami masih butuh
iklan seperti itu untuk membiayai kehidupan koran itu sendiri,"
ungkap Sakti. "Namun kami tetap melakukan seleksi, misalnya
menolak iklan film yang merangsang."
Iklan rokok dan minuman keras hanya 23,5% dari seluruh pesan
komersial yang dimuat TEMPO. "Sekarang belum mungkin, tapi
barangkali tahun depan kami akan menolak iklan minuman keras,"
kata Mahtum, Kpala Bagian Iklan TEMPO. "Yang jelas pembaca
TEMPO kritis berpikir, bisa membedakan yang baik dan buruk."
Ketimbang ditolak, Mahtum lebih setuju bila pada setiap iklan
rokok atau minuman keras, seperti yang dilakukan sebagian media
massa Barat, dicantumkan peringatan dari Departemen Kesehatan
setempat.
Ketua Serikat Penerbit dan Suratkahar, Sunardi D.M. memuji
kebijaksanaan Kompas itu. "Koran-koran kecil pasti
mendukungnya," kata Sunardi. "Mudah-mudahan rezeki yang
ditolaknya itu bisa diratakan ke koran kecil."
Pemerataan itu belum tentu terjadi. Persoalan ialah tarif iklan
koran kecil tak berbeda jauh dengan koran yang jumlah halamannya
banyak. "Biro iklan tentu saja lebih senang memasang di koran
besar," kata Sakti Alamsyah kepada Hasan Syukur dari TEMPO.
Sakti punya pengalaman pahit dengan PR edisi Ciamis dan mingguan
Galura. Karena mercka lebih senang pasang di PR Bandung, "kedua
koran itu mati," katanya.
Pemerataan Iklan
Koran besar seperti Kompas dan Sinar Harapan, jika mau menampung
arus iklan sesuka hati, mungkin dapat terbit dengan 20 halaman,
bahkan mungkin lebih. Tapi bagi mereka yang unggul itu telah ada
pembatasan jumlah halaman. Hal itu sudah dicantumkan dengan
jelas dalam permohonan mendapat Surat Izin Terbit (SIT). Kompas
misalnya, menurut Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika, Soekarno
SH, setiap harinya berjanji hanya akan terbit 12 halaman dan
setiap 2 kali seminggu muncul 16 halaman.
Bolehkah Kompas atau SH sering terbit 16 atau 20 halaman?
"Seharusnya mereka berpegang teguh pada ketentuan yang tercantum
dalam SIT," kata Soekarno. "Kesadaran mereka memang sangat
dituntut."
SPS sendiri sudah melakukan peneguran terhadap anggotanya itu,
karena diperolehnya banyak keluhan koran kecil. "Teguran itu
disertai dengan iktikad baik, bukan dengan niat mengucilkan,"
kata Sunardi. "Pokoknya kami akan senang kalau koran besar itu
menahan diri dengan 12 halaman."
Reaksi biro iklan? "Kami akan menyalurkan iklan bir ke koran
atau majalah lain yang masih menerima," kata sumber di biro
iklan Fortune yang punya klien bir San Miguel. Hal yang serupa
juga dikemukakan R.S. Damardjati, Kepala Bagian Iklan perusahaan
rokok BAT. Sekalipun sasarannya tidak luas, "kampanye iklan kami
tahun ini akan dititik beratkan pada iklan berwarna di majalah,"
katanya.
Mereka agak terpukul -- semula oleh TVRI, jauh hari sebelum
kebijaksanaan yang ditempuh Kompas itu. Banyak biro iklan agak
cemas andaikata media massa lainnya mengikuti jejak keduanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini