Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Nasib Wemprit Kahimbat, 45 tahun, salah satu anak buah kapal (ABK) di perusahaan perikanan PT Bina Nusa Pertiwi sedang kurang baik. Sejak Maret lalu, ia dirumahkan bersama 50 orang rekannya gara-gara dua kapal milik perusahaan asal Bitung, Sulawesi Utara, tersebut tertangkap petugas Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) serta dikenai sanksi pencabutan izin berlayar.
Keputusan sepihak itu, kata dia, disampaikan dalam pertemuan di kantor Bina Nusa di Kota Bitung. Ia mengaku bingung dengan kebijakan yang diambil oleh perusahaan. Menurut Wemprit, proses pengambilan keputusan merumahkan ABK tidak dilakukan secara transparan. Beberapa ABK yang tetap bekerja pun harus rela gajinya dipotong dari Rp 5 juta menjadi Rp 3 juta per bulan karena alasan efisiensi.
"Satu kapal seperti ditarik saja (secara acak). Oh, ini kamu. Seperti di kapal Sinar Sembilan ini. Ada yang bisa tetap lanjut (bekerja), tapi gaji diturunkan menjadi Rp 3 juta. Kami waktu itu (diminta) tanda tangan surat perjanjian bersama. Saya tidak mau tanda tangan karena saya baca perjanjiannya (merugikan)," ujar Wemprit saat ditemui Tempo di Bitung, 21 April 2022.
Menurut dia, tindakan merumahkan ABK dilakukan lantaran tidak keluarnya izin berlayar PT Bina Nusa Pertiwi setelah penangkapan kapal Asmoro Jaya 8 dan Teguh Jaya 8 pada Februari 2022. Kedua kapal itu terbukti melanggar ketentuan alih muatan kapal di tengah laut (transhipment) di perairan Halmahera, Maluku Utara.
Kapal Asmoro Jaya 8 terbukti menampung ikan dari kapal Mulia Jaya 8 yang tidak terdaftar dalam surat izin penangkapan ikan (SIPI) transhipment. Akibat pelanggaran tersebut, beberapa kapal milik PT Bina Nusa mendapat sanksi pembekuan izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. "Setelah kejadian penangkapan itu, kami dipanggil mengikuti rapat. Tidak tahunya rapat untuk dirumahkan, bukan untuk berlayar," kata Wemprit.
Wemprit sebelumnya bertugas di kapal lampu yang mendampingi kapal penangkap dan kapal pengangkut untuk berburu tuna sampai ke perairan Halmahera, Maluku Utara; dan perairan Sorong, Papua Barat. Ia kadang berada di laut selama 6-7 pekan untuk mengumpulkan ikan. "Kalau di laut, kami sudah tidak lagi memperhatikan batas-batas wilayah tangkap karena ikan bergerak dan kami mau tidak mau harus pulang bawa ikan," ia menuturkan.
Ia mengharapkan pemerintah memaksa perusahaan-perusahaan perikanan yang ada di Bitung untuk menerapkan aturan ketenagakerjaan yang berlaku. Sebab, menurut Wemprit, keberadaan ABK di tengah laut yang bisa berlangsung selama lebih dari sebulan berpotensi melanggar perjanjian kerja laut (PKL), terlebih bagi para ABK yang hanya memiliki PKL dengan durasi satu bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kapal yang diduga terkena moratorium dari KKP di Passo, Kecamatan Baguala, Kota Ambon. Dok EJF
Dilarang Berserikat
Wemprit mengaku keberadaan serikat pekerja bisa membantu memfasilitasi kepentingan ABK di depan perusahaan. "Tapi kami dilarang berserikat dalam perusahaan, makanya kami gampang kalau mau dirumahkan. Begitu pula kalau perusahaan tidak mau membayar pesangon PHK, bisa lebih gampang lagi," ujar dia.
Ketua Serikat Awak Kapal Perikanan (Sakti) Sulawesi Utara, Arnon Hiborang, mengatakan mayoritas awak kapal perikanan selama ini bekerja tanpa PKL, jaminan sosial, ataupun kesejahteraan yang memadai. Sakti Sulawesi Utara, ucap dia, telah menerima 60 aduan kasus ABK, baik kapal dalam negeri maupun asing, selama dua tahun terakhir dengan jumlah korban 120 orang. “Data statistik Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyebutkan setidaknya 24 ribu orang meninggal dan 24 juta orang terluka setiap tahun di kapal penangkap ikan komersial,” kata dia.
Untuk itu, Arnon mendorong pemerintah pusat agar benar-benar memperhatikan kasus-kasus yang menimpa para ABK. Ia mendesak semua kementerian bekerja sama dan tidak berjalan sendiri-sendiri seperti saat ini. "Kementerian Kelautan dan Perikanan punya regulasi sendiri, Kementerian Ketenagakerjaan juga punya regulasi, ego sektoral," ujar Arnon saat ditemui di Bitung, 23 April 2022.
Walaupun sejumlah aturan perlindungan awak kapal perikanan telah dikeluarkan oleh pemerintah, konsistensi dan pengawasan pelaksanaan aturan tersebut dinilai masih jauh dari harapan. Arnon pun meminta Kementerian Ketenagakerjaan segera meratifikasi Konvensi ILO Nomor 188 Tahun 2007 Mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan untuk memberikan perlindungan hukum bagi ABK.
Arnon juga menyoroti ketentuan upah bulanan ABK yang minimal setara dengan upah minimum provinsi (UMP). Namun, faktanya, masih banyak ABK yang mendapat bayaran di bawah UMP. “Pengawasan pemerintah terhadap sistem pengupahan bagi ABK sangat minim,” ucap Arnon. UMP Sulawesi Utara pada 2022 tercatat sebesar Rp 3,3 juta.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh. Abdi Suhufan, mengingatkan agar perlindungan awak kapal perikanan jangan dilakukan berdasarkan regulasi yang sifatnya parsial. "Kerangka regulasi nasional perlindungan awak kapal perikanan saat ini masih parsial, terfragmentasi pada berbagai sektor dan sulitnya koordinasi," kata Abdi Suhufan di Jakarta, 24 Agustus 2022
Karena itu, Abdi meminta pemerintah mempertimbangkan melaksanakan ratifikasi Konvensi ILO 188/2007. Ratifikasi konvensi tersebut akan memperjelas peran dan fungsi instansi ketenagakerjaan untuk secara menyeluruh mengatur tata kelola awak kapal perikanan yang bekerja di dalam negeri ataupun di luar negeri. "Tidak seperti sekarang, tidak ada instansi yang bertanggung jawab penuh dan menimbulkan kebingungan pekerja ketika menagih tanggung jawab perlindungan kepada negara," kata Abdi.
Dia menimpali, selama periode kuartal I/2022, National Fisher Center telah menerima sembilan pengaduan kasus perikanan dengan jumlah korban 33 orang. Adapun secara total, sejak 2020 hingga Maret 2022, National Fisher Center telah menerima 77 pengaduan awak kapal perikanan dengan jumlah korban 232 orang. Abdi merinci, dari 77 pengaduan tersebut, sebanyak 44,16 persen adalah aduan ABK migran dan 55,84 persen aduan ABK domestik. “Hal yang paling sering menjadi aduan ABK adalah gaji yang tidak dibayarkan, asuransi dan jaminan sosial, serta penipuan," katanya.
National Fishers Center adalah platform pengaduan awak kapal perikanan yang dikelola oleh DFW Indonesia dengan sistem daring. "Platform ini telah banyak dimanfaatkan oleh ABK migran ataupun domestik. Kami juga menerima aduan ABK Indonesia yang berada di Taiwan, Kepulauan Pasifik, Afrika, Muara Baru, Dobo, Benoa, dan Bitung," Abdi memaparkan.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan, Muhammad Zaini, menyebutkan pihaknya sedang melakukan pengkajian untuk menghapus sistem bagi hasil dalam industri perikanan. Ia berujar Kementerian Kelautan mendorong pembuatan undang-undang yang bisa memberikan perlindungan bagi pekerja kapal. "ABK harus punya kekuatan yang sama. Di luar negeri, mereka pakai UMR, tidak lagi sistem bagi hasil. Di sana, UMR Rp 7 juta dan ada bonus tergantung dari hasil tangkapan," ujar Zaini ketika ditemui di kantornya, 26 Juli 2022. Adapun pemimpin PT Bina Nusa Pertiwi, Joppy Massie, yang dihubungi melalui sambungan telepon pada 9 Agustus 2022, hanya menjawab bahwa perusahaannya telah memberikan PKL bagi semua ABK.
IRSYAN HASYIM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo