Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Ekonomi

Berita Tempo Plus

Dipaksa Melanggar lalu Dirumahkan

Perusahaan perikanan di Bitung merumahkan sebagian ABK. Keputusan sepihak itu diambil gara-gara perusahaan terkena sanksi pencabutan izin berlayar. Tempo bekerja sama dengan Environmental Justice Foundation menggelar liputan khusus mengenai kondisi nelayan-nelayan Bitung dan Halmahera.

29 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Kapal pelaku kejahatan perikanan yang disita oleh PSDKP Bitung di Bitung, Sulawesi Utara, 19 April 2022. Dok EJF
Perbesar
Kapal pelaku kejahatan perikanan yang disita oleh PSDKP Bitung di Bitung, Sulawesi Utara, 19 April 2022. Dok EJF

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

JAKARTA – Nasib Wemprit Kahimbat, 45 tahun, salah satu anak buah kapal (ABK) di perusahaan perikanan PT Bina Nusa Pertiwi sedang kurang baik. Sejak Maret lalu, ia dirumahkan bersama 50 orang rekannya gara-gara dua kapal milik perusahaan asal Bitung, Sulawesi Utara, tersebut tertangkap petugas Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) serta dikenai sanksi pencabutan izin berlayar.

Keputusan sepihak itu, kata dia, disampaikan dalam pertemuan di kantor Bina Nusa di Kota Bitung. Ia mengaku bingung dengan kebijakan yang diambil oleh perusahaan. Menurut Wemprit, proses pengambilan keputusan merumahkan ABK tidak dilakukan secara transparan. Beberapa ABK yang tetap bekerja pun harus rela gajinya dipotong dari Rp 5 juta menjadi Rp 3 juta per bulan karena alasan efisiensi.

"Satu kapal seperti ditarik saja (secara acak). Oh, ini kamu. Seperti di kapal Sinar Sembilan ini. Ada yang bisa tetap lanjut (bekerja), tapi gaji diturunkan menjadi Rp 3 juta. Kami waktu itu (diminta) tanda tangan surat perjanjian bersama. Saya tidak mau tanda tangan karena saya baca perjanjiannya (merugikan)," ujar Wemprit saat ditemui Tempo di Bitung, 21 April 2022.

Menurut dia, tindakan merumahkan ABK dilakukan lantaran tidak keluarnya izin berlayar PT Bina Nusa Pertiwi setelah penangkapan kapal Asmoro Jaya 8 dan Teguh Jaya 8 pada Februari 2022. Kedua kapal itu terbukti melanggar ketentuan alih muatan kapal di tengah laut (transhipment) di perairan Halmahera, Maluku Utara.

Kapal Asmoro Jaya 8 terbukti menampung ikan dari kapal Mulia Jaya 8 yang tidak terdaftar dalam surat izin penangkapan ikan (SIPI) transhipment. Akibat pelanggaran tersebut, beberapa kapal milik PT Bina Nusa mendapat sanksi pembekuan izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. "Setelah kejadian penangkapan itu, kami dipanggil mengikuti rapat. Tidak tahunya rapat untuk dirumahkan, bukan untuk berlayar," kata Wemprit.

Wemprit sebelumnya bertugas di kapal lampu yang mendampingi kapal penangkap dan kapal pengangkut untuk berburu tuna sampai ke perairan Halmahera, Maluku Utara; dan perairan Sorong, Papua Barat. Ia kadang berada di laut selama 6-7 pekan untuk mengumpulkan ikan. "Kalau di laut, kami sudah tidak lagi memperhatikan batas-batas wilayah tangkap karena ikan bergerak dan kami mau tidak mau harus pulang bawa ikan," ia menuturkan.

Ia mengharapkan pemerintah memaksa perusahaan-perusahaan perikanan yang ada di Bitung untuk menerapkan aturan ketenagakerjaan yang berlaku. Sebab, menurut Wemprit, keberadaan ABK di tengah laut yang bisa berlangsung selama lebih dari sebulan berpotensi melanggar perjanjian kerja laut (PKL), terlebih bagi para ABK yang hanya memiliki PKL dengan durasi satu bulan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Efri Ritonga

Efri Ritonga

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus