Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Departemen Akuntansi Universitas Brawijaya Noval Adib menjelaskan kondisi fundamental nilai tukar rupiah saat ini dan krisis 1998 yang sudah berbeda. Nilai tukar rupiah belakangan menjadi sorotan karena telah menembus di level Rp 17 ribu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Novel, rupiah dulu dan kini hanya sama di bagian nominal, tapi secara substansial berbeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Perbandingan paling sederhana, di 1998 Rp 16 ribu bisa untuk beli 16 porsi soto, sedangkan sekarang Rp 16 ribu hanya bisa untuk beli semangkuk soto,” kata Noval dalam keterangan tertulis melalui aplikasi perpesanan, Selasa, 8 Maret 2025.
Contoh lain ialah 1 gram emas di 1998 seharga Rp 75 ribu, sekarang 1 gram emas Rp 1.800.000. “Jadi jauh sekali purchasing power rupiah antara tahun 1998 dan 2025,” kata dia.
Berdasarkan data e-Rate USD BCA, tercatat bahwa kurs jual dolar pada 7 April 2025 pukul 07:10 WIB menembus angka Rp 16.950, tertinggi dalam rentang waktu yang tersedia. Kurs beli pun melonjak menjadi Rp 16.600, meningkat Rp 60 dari hari sebelumnya. Dikutip dari Refinitiv, pada Senin, 7 April 2025 pukul 10:43, nilai tukar mata uang rupiah mencapai Rp 17.261 per dolar AS dan tercatat menjadi posisi terendah (terlemah) sepanjang sejarah. Kemudian dikutip dari Wise, nilai tukar rupiah per dolar AS menjadi Rp 16.883 pukul 14.35.
Dosen Departemen Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi menyebut tekanan terhadap rupiah yang telah menyentuh level terendah sepanjang sejarah harus mendapat perhatian otoritas moneter dan fiskal Indonesia. Pada Senin, 7 April 2025 pun, nilai tukar rupiah sudah melewati Rp 17 ribu.
“Pelemahan rupiah seharusnya menjadi alarm serius bagi otoritas moneter dan fiskal Indonesia. Ketimbang bersikap reaktif, pemerintah dan Bank Indonesia perlu menyusun strategi komunikasi dan kebijakan yang lebih tegas dan terukur untuk meredam kepanikan pasar,” kata Syafruddin dalam keterangan tertulis di aplikasi perpesanan, Selasa, 8 Maret 2025.
Menurut dia, melemahnya rupiah bukan semata cerminan faktor eksternal seperti penguatan dolar AS atau perang dagang global, tetapi juga menunjukkan lemahnya kepercayaan investor terhadap stabilitas jangka pendek ekonomi domestik. Syafruddin menilai apabila kondisi ini dibiarkan rupiah berpotensi menjadi krisis kepercayaan yang lebih luas.
“Jika tidak segera dijawab dengan kebijakan yang kredibel dan langkah stabilisasi yang konsisten, tekanan terhadap rupiah berpotensi merembet menjadi krisis kepercayaan yang lebih luas,” kata dia.
Sementara itu, Dosen dan Peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) Listya Endang Artiani menyoroti penyebab dan bahaya anjloknya nilai rupiah. Listya Endang mengatakan penurunan nilai tukar rupiah biasanya disebabkan oleh kombinasi faktor eksternal dan internal. Secara eksternal, penguatan dolar AS akibat kenaikan suku bunga acuan The Fed (Federal Reserve) yang menjadi pemicu utama.
“Investor global cenderung menarik dana dari pasar negara berkembang seperti Indonesia untuk mencari imbal hasil lebih tinggi di aset berdenominasi Dolar,” kata Listya kepada Tempo, Senin, 7 April 2025.
Sementara itu dari sisi eksternal, data ekonomi, seperti neraca perdagangan, cadangan devisa, dan stabilitas politik juga turut menjadi pengaruh. Ketika investor mencium potensi instabilitas atau pelemahan ekonomi, maka tekanan terhadap rupiah meningkat. Ia juga menyebut permintaan musiman terhadap dolar turut menjadi pendorong anjloknya nilai rupiah.
“Selain itu, permintaan musiman terhadap dolar, misalnya menjelang Lebaran atau pembayaran utang luar negeri korporasi, juga bisa mendorong volatilitas jangka pendek,” kata Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII ini.
Listya pun menguraikan bahaya dari anjloknya nilai rupiah jika tidak segera ditangani. Ia mengatakan volatilitas nilai tukar yang tinggi menciptakan ketidakpastian dalam perekonomian.
“Pelaku usaha kesulitan menetapkan harga, investor menahan diri, dan beban utang luar negeri dalam dolar membengkak,” kata Listya.
Ia juga mengatakan jika pemerintah tidak segera menstabilkan ekspektasi pasar, bisa muncul efek domino yang berdampak pada inflasi dari barang impor, defisit neraca transaksi berjalan, hingga turunnya kepercayaan investor asing.
“Kondisi ini juga bisa memperburuk persepsi publik terhadap kebijakan moneter, terlebih bila tidak ada komunikasi yang baik dari Bank Indonesia atau Kementerian Keuangan,” kata Listya.
Sebelumnya, nilai tukar rupiah sempat menembus angka Rp 17 ribu per dolar Amerika Serikat di pasar asing atau non-deliverable forward (NDF) selama Lebaran. Faktor global, termasuk pemberlakuan tarif impor AS, dianggap jadi salah satu pemicunya.
Pada perdagangan Jumat, 4 April 2025, rupiah sempat menyentuh level Rp 17.006 per dolar AS. Analis Forex Ibrahim Assuabi mengatakan ada berapa data fundamental yang memengaruhi penguatan dolar. “Misal data ketenagakerjaan AS yang ternyata lebih baik dibanding ekspektasi sebelumnya,” katanya lewat pernyataan resmi dikutip Ahad, 6 April 2025.
Selain itu, menurut Ibrahim, penguatan dolar disebabkan testimoni bank sentral AS atau The Fed pada Jumat malam. The Fed mengisyaratkan penurunan suku bunga belum akan terjadi dalam waktu dekat. Penurunan suku bunga saat ini disebut terlalu dini, khsusnya dalam kondisi ekonomi global sedang bermasalah dan inflasi yang masih tetap tinggi.
Penurunan suku bunga masih akan menunggu dampak dari perang dagang, sehingga, menurut Ibrahim, prediksi penurunan suku bunga sebanyak 3 kali atau 75 basis poin pada 2025 meleset. “Kemungkinan besar hanya tinggal mimpi. Ini yang menyebabkan indeks dolar kembali mengalami penguatan signifikan,” kata dia.
Ilona Estherina dan Linda Lestari turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini