Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pijakbumi, Sepatu Produk Ramah Lingkungan Kelas Premium

Ide sepatu produk ramah lingkungan Pijakbumi tercetus setelah raibnya kasut puluhan penghuni kos.

25 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Produk Pijakbumi. pijakbumi.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Ide Pijakbumi muncul setelah raibnya sepatu puluhan penghuni kos.

  • Pijakbumi mengurangi berbagai material berlebih, seperti lem dan bahan kimia.

  • Pijakbumi memakai sejumlah kategori material daur ulang.

JAKARTA – Siapa sangka, raibnya sepatu puluhan penghuni rumah kos yang ditinggali Rowland Asfales semasa kuliah justru mengawali cerita Pijakbumi, merek sepatu produk ramah lingkungan bermaterial daur ulang yang sudah diekspor ke sejumlah negara. Entah dicuri atau sekadar dibuang pemilik kos, Fales—sapaan akrab Rowland—menyebut kejadian konyol di kawasan Tamansari, Kota Bandung, itu masih menjadi misteri sampai sekarang. Dia lantas mencari pengganti ke sentra kasut di Cibaduyut yang kondang di Kota Kembang.

“Banyak yang mahal untuk level mahasiswa, padahal desainnya tidak bagus. Jadi, saya iseng mencari yang custom (buatan khusus),” ucapnya kepada Tempo pada pertengahan April lalu.

Obrolan dengan sejumlah pengrajin akhirnya mendorong mahasiswa Program Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) itu untuk membuat sepatu sendiri. Fales bisa menyumbangkan desain dan ide yang dieksekusi para pengrajin kenalannya. Kreasi itu murni buatan tangan, bermodalkan jarum, gunting, dan palu. Ternyata sepatu tersebut diminati orang sekitar, terutama teman kampus Fales. Bisnis kecil-kecilan yang disokong media sosial pun berjalan hingga dia lulus pada 2015.

Rowland Asfales. Pijakbumi.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Ide Material Daur Ulang Pijakbumi

Fales mulai menjajal material daur ulang karena melihat tumpukan sampah di sekitar "bengkel"—istilah untuk lapak para pengrajin tersebut. “Dari yang semula ingin mengurangi sampah, akhirnya saya jadikan bahan sepatu,” ucapnya. Ide itu dia kembangkan dulu hingga matang, bahkan sampai setengah tahun. 

Umumnya, sepatu terdiri atas sekitar 30 komponen krusial. Pada sepatu ramah lingkungan yang dinamai Pijakbumi, Fales berusaha mengurangi berbagai material berlebih, seperti lem dan bahan kimia. Sepatu ramah lingkungan perdananya pun jadi, berupa sneaker dengan ketebalan busa dan jahitan yang lebih minim dari kasut normal. Dia optimistis sepatu itu nyaman dan enak dilihat.

Gayung bersambut, dua orang Indonesia yang masing-masing tinggal di Jerman dan Spanyol menjadi pembeli pertama. “Padahal, dua pekan saya jual lewat Instagram, pembelinya malah dari luar negeri,” tutur Fales. “Berarti nilai eco-friendly ini direspons. Akhirnya Pijakbumi saya bangun jadi bisnis yang punya nilai dan misi.”

Saat belum bergelut dengan konsep ekonomi sirkuler atau daur ulang, Asfales dan timnya hanya kuat mencetak 30 pasang kasut Pijakbumi per hari. Sekarang produksinya sudah menembus 1.000 pasang per bulan, disokong berbagai pabrikan mitra PT Pijakbumi Internasional. Sepatu daur ulang ini baru dikerjakan dengan mesin pabrik selama dua tahun terakhir. Sebelumnya, kata Fales, manajemen masih bekerja dengan pihak ketiga dari kalangan usaha mikro dan menengah.

“Sekitar 35 persen produk kami tetap buatan tangan, tapi tentu segmennya berbeda dan lebih mahal,” ucapnya.

Tim Pijakbumi. pijakbumi.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Pijakbumi Diekspor ke Jepang

Untuk produk yang sejak 2019 diekspor ke Jepang hingga dua kali setahun itu, perusahaan memakai sejumlah kategori material daur ulang. Yang pertama adalah material sisa produksi (post-production), cenderung berupa kain yang dicacah kembali menjadi benang, kemudian dijadikan kulit dan bagian sekunder lain pada kasut. “Sisa bahan dipisahkan berdasarkan warna, jadi kami tidak mencelupkan cat.”

Ada juga material alami (biomaterial). Misalnya berupa serat kayu dan getah mentah untuk sol, serta bahan dari batok kelapa untuk kulit. Kategori lainnya adalah produk reguler yang dibuat ulang, seperti sol sepatu bekas. Sama halnya dengan sepatu biasa, beberapa material masih hasil impor.

“Perkebunan kapas belum ada di Indonesia, tapi untuk weaving (tenun) ada di Purwakarta,” kata Fales. “Kalau dikira-kira, ada sekitar 40 persen impor virgin cotton untuk sepatu kami, sisanya material daur ulang dari Bandung, Surabaya, dan Pekalongan.”

Jawa merupakan basis utama pasar sepatu Pijakbumi, khususnya Jakarta dan sekitarnya. Namun kasut ramah alam ini sudah dikenal lewat berbagai pameran di luar negeri, termasuk Spanyol dan Swiss. Karena produksinya yang rumit, Fales mengakui bahwa mayoritas sepatu jualannya bersaing dengan produk berharga premium. Dari pengalaman pemasaran selama enam tahun lebih, harga nyatanya tak jadi soal bagi para pemburu merek eco-friendly. Sepatu Pijakbumi dikenal oleh kalangan muda, tapi banyak juga dicari pembeli usia dewasa.

Sebelum masa pandemi, pertumbuhan profit perusahaan bisa mencapai 300 persen per tahun. Pertumbuhan itu anjlok hingga hanya 30 persen pada 2020 akibat pembatasan mobilitas dan kacaunya rantai pasok pabrik sepatu produk ramah lingkungan tersebut. “Tahun ini sudah kembali lancar. Kami belajar manajemen waktu dan pesanan sambil mengatur arus kas,” ucap Fales.

YOHANES PASKALIS

 

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus