MENJADI raksasa tidak selalu menguntungkan. Buktinya ITT, yang sampai 1984 lalu masih bernama International Telephone & Telegraph, kini sempoyongan menanggung akibat pengembangan usahanya secara besar-besaran. Sekitar lima tahun lalu, lebih dari 275 anak perusahaan dengan total penjualan US$ 18 milyar (melebihi seluruh penerimaan dalam negeri APBN pemerintah RI 1984-1985) berada dalam kerajaan ITT. Tahun 1979, jumlah karyawannya pernah mencapai 370 ribu, yang tersebar di 100 negara lebih, termasuk Indonesia. Bidang usahanya bukan lagi soal telekomunikasi, tapi sudah pula bergerak dalam pembuatan shock absorber, penjernihan air, radar, hotel, asuransi, sampai penyediaan rig minyak. Namun, ketika negara-negara industri mulai memasuki resesi, dan sejumlah mata uang asing bergelimpangan melawan dolar, ITT secara berangsur dilanda awan gelap. Labanya merosot terus: Tahun lalu, keuntungannya diduga hanya meliputi US$ 462 juta, turun dari masa puncak 1980 yang hingga US$ 894 juta. Laba tertekan hebat, karena ITT menerima sebagian besar penghasilannya dalam bentuk mata uang asing, yang susut banyak nilainya melawan dolar AS. Yang juga ikut memojokkan adalah utangnya, US$ 8 milyar, yang setiap tahun berbunga US$ 600 juta, atau hampir sama dengan seluruh subsidi BBM di RAPBN 1985-1986. Apa boleh buat, demi mengurangi beban perusahaan, anak usaha yang dianggap kurang menguntungkan mulai dijual. Bulan depan, lebih dari 10 anak perusahaannya bakal dijual US$ 1,7 milyar. Itu berarti akan mengurangi kekayaan ITT sebesar 12%, yang kini meliputi US$ 14,1 milyar. Sejak 1979 hingga kini, sudah 66 anak perusahaan ITT dijual. Kata seorang pengamat, penjualan anak usaha itu, boleh jadi, akan mendongkrak harga sahamnya di bursa dari US$ 32 menjadi US$ 60 per saham.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini