Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia atau Asaki mencatat penurunan utilisasi kapasitas produksi keramik sepanjang enam bulan terakhir. Penurunan produksi dan permintaan tersebut diduga karena pasar dalam negeri dibanjiri keramik asal Cina yang dijual dengan harga murah dibanding keramik dalam negeri. Praktik ini dikenal dengan istilah dumping.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Praktik dumping terjadi jika produsen mengekspor produknya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan jika ia menjualnya di pasar dalam negerinya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Asaki, Edy Suyanto, meyakini dumping keramik tersebut menjadi pemicu lesunya industri keramik dalam negeri. Berdasarkan catatan Asaki, utilitas produksi keramik dalam enam bulan terakhir hanya 65 persen. Jumlah tersebut turun sebanyak empat persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Memasuki kuartal ketiga 2024, Edy optimis produksi dan permintaan akan keramik dalam negeri bisa melampaui target. "Jika kebijakan antidumping bisa diimplementasikan dalam bulan Juli 2024, maka Asaki optimis target 75 persen bisa tercapai," kata Edy kepada Tempo, Sabtu 29 Juni 2024.
Edy mengatakan ada sejumlah faktor yang mengguncang industri keramik dalam negeri. Pertama, subsidi pemerintah Cina terhadap industri keramik memicu terjadinya produksi berlebih. Kemudian adanya kebijakan antidumping di negara-negara Eropa, Timur Tengah dan Amerika Serikat, yang selama ini menjadi pasar utama ekspor keramik Cina.
"Para Importir juga menerapkan predatory pricing dan dengan sengaja menjual produk impor jauh di bawah biaya produksi keramik nasional," katanya.
Edy mangatakan selama lima bulan terakhir, industri keramik dalam negeri kehilangan potensi keuntungan lebih dari US$ 13 miliar. "Ini seharusnya tidak perlu terjadi karena semua kebutuhan atau permintaan keramik nasional, baik dari sisi volume kebutuhan dan jenis keramik bisa terpenuhi oleh industri dalam negeri," katanya.
Edy menagih keseriusan Komisi Anti Dumping Indonesia (KADI) untuk mencegah praktik dumping dalam industri keramik. Dia mendesak agar KADI melakukan penyelidikan secara komprehensif dan segera mengeluarkan hasil akhir penyidikan antidumping terhadap produk keramik Cina dalam waktu dekat. "Keramik dari luar harus dikenakan BMAD (Bea Masuk Anti Dumping) yang tinggi seperti di Amerika, yakni 200 persen-an dan berlaku untuk semua produsen dan eksportir," katanya.