Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

KPPOD Temukan 3 Permasalahan dalam Penerapan OSS

Peneliti KPPOD Boedi Rheza mengatakan, semenjak diresmikan sejak Juli 2018 lalu, pihaknya menemukan tiga permalasahan dalam mengimplementasikan OSS

11 September 2019 | 16.33 WIB

Joko Widodo mempersiapkan mic dalam peresmian ruang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pusat di Gedung BKPM, Jakarta, 26 Januari 2015. Sebanyak 22 kementerian dan lembaga telah menempatkan petugas penghubungnya untuk melayani berbagai jenis perizinan di PTSP. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo
Perbesar
Joko Widodo mempersiapkan mic dalam peresmian ruang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pusat di Gedung BKPM, Jakarta, 26 Januari 2015. Sebanyak 22 kementerian dan lembaga telah menempatkan petugas penghubungnya untuk melayani berbagai jenis perizinan di PTSP. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO Jakarta - Peneliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Boedi Rheza menemukan tiga permasalahan dalam implementasi Sistem Pelayanan Perizinan Terintegrasi Berbasis Elektronik atau Online Singe Submission (OSS). 

"Dalam studi dilakukan dari Mei sampai Juli 2019 oleh kami ditemukan beberapa kondisi saya rasa cukup menghambat di level pusat dan daerah yaitu regulasi, sistem, dan tata laksana," kata Boedi dalam diskusi media di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu, 11 September 2019.

Aspek regulasi di pusat, Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria atau NSPK sektoral yang idealnya menjadi petunjuk teknis pelayanan izin, kata dia, tidak secara jelas menerjemahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tahun 2018 tentang OSS ke dalam prosedur yang mudah diikuti oleh semua wilayah.

Dia mencontohkan, untuk mendapatkan Izin Usaha Industri (IUI), pelaku usaha diharuskan mendaftar lagi ke aplikasi. Padahal aturan tersebut sudah jelas tidak mempersyaratkan hal itu. Implikasinya terjadi berbagai macam variasi pada SOP pelayanan izin di berbagai daerah.

Selain NSPK, kesalahan OSS juga tergambar dalam persoalan disharmoni PP 24 Tahun 2018 dengan UU Nomor 15 Tahun 2017 tentang Penanaman Modal dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah.

"Disharmoni menyangkut kewenangan memberi izin yang sebelumnya di tangan kepala daerah sekarang berpindah ke lembaga OSS. Fungsi lembaga perizinan yang tadinya didelegasikan UU Penanaman Modal kepada PTSP sekarang bergeser ke lembaga OSS," ungkap Boedi.

Dia menyebutkan kelemahan sistem OSS adalah fitur penentuan lokasi usaha yang belum sinkron dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), serta ketersediaan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR).

“Hal ini dapat berimplikasi pada pendirian lokasi usaha yang tidak sesuai dengan perencanaan daerah sebagaimana ditetapkan dalam dokumen RTRW, atau bahkan tak berbasis lokasi lantaran ketiadaan RDTR,” kata dia.

Pada aspek tata laksana, Boedi menjelaskan, OSS juga masih menemui kendala, baik terjadi di tingkat pusat maupun daerah. Pada tingkat pusat, sistem OSS belum terintegrasi utuh dengan sistem perizinan Kementerian/Lembaga.

"Sementara di daerah masih terlihat banyak Pemerintah Daerah yang memiliki sistem perizinan daerah mandiri berbasis-aplikasi (melalui PTSP) yang belum terintegrasi dengan lembaga OSS. Bahkan, daerah bisnis utama seperti DKI Jakarta, baru mengintegrasikan JakEVO dan OSS hanya pada pelayanan perizinan SIUP. Izin-izin yang lain masih dilayani di sistem mandiri DKI Jakarta," ujar Boedi.

Sejauh ini, menurut Boedi, belum semua daerah menerbitkan izin usaha dan izin komersial atau operasional melalui OSS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus