Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Krisis Energi Hantam Inggris dan Cina, Bagaimana Dampaknya ke Indonesia?

Krisis energi yang tengah melanda sejumlah negara diperkirakan bakal berimbas ke seluruh negara, termasuk Indonesia.

11 Oktober 2021 | 10.18 WIB

Ilustrasi kilang minyak dunia. REUTERS/Vivek Prakash
Perbesar
Ilustrasi kilang minyak dunia. REUTERS/Vivek Prakash

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Krisis energi yang tengah melanda sejumlah negara diperkirakan bakal berimbas ke seluruh negara, termasuk Indonesia. Pasalnya, Indonesia hingga kini masih bergantung pada impor bahan bakar. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Gubernur Indonesia untuk OPEC 2015 - 2016 Widhyawan Prawiraatmadja menjelaskan, salah satu dampak timbul adalah lonjakan harga bahan bakar minyak, minyak mentah dan LPG. Namun selain itu, Indonesia juga diuntungkan karena menjadi eksportir batu bara dan LNG yang diharapkan bisa membantu menyeimbangkan neraca perdagangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Harga energi yang melonjak akan berdampak pada peningkatan harga komoditas lain serta layanan jasa, sehingga dapat mengancam kenaikan inflasi melebihi target,” ujar Widhyawan, Ahad, 10 Oktober 2021.

Sebelumnya diberitakan harga minyak mentah berjangka jenis Brent untuk pengiriman Desember pada akhir perdagangan Sabtu pagi di Asia, 9 Oktober 201, naik 44 sen atau 0,5 persen menjadi US$ 82,39 per barel. Di awal pekan ini, harga komoditas acuan global itu menembus rekor tertinggi selama tiga tahun belakangan di level US$ 83,47 per barel.

Sedangkan harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November melonjak 1,3 persen atau sekitar US$ 1,05 menjadi US$ 79,35 per barel. Kenaikan harga tersebut adalah yang tertinggi untuk minyak AS sejak 31 Oktober 2014.

Jika dievaluasi mingguan, harga minyak mentah WTI telah melejit 4,6 persen, sementara Brent naik 3,9 persen berdasarkan kontrak bulan depan. 

Kenaikan harga emas hitam ini di antaranya dipicu oleh krisis energi global yang belum reda di antaranya yang terjadi di Inggris dan Cina. Harga minyak jadi terdongkrak ke level tertinggi multi-tahun saat negara-negara pengguna listrik besar berjuang untuk memenuhi permintaan.

Lebih jauh Widhyawan menilai Indonesia sangat rentan terhadap kenaikan harga energi primer, khususnya minyak bumi termasuk BBM dan LPG. Sebab, ketergantungan Indonesia pada bahan bakar itu masih sangat tinggi akibat sebagian dari harga produk BBM dan LPG 3 kg masih disubsidi. 

Selain itu, kata Widhyawan, kebijakan yang hanya melihat pada kebutuhan jangka pendek akan mendorong terjadinya under-investment dalam menghadapi pertumbuhan permintaan energi bersih. Pada saat yang sama, energi fosil masih terus tumbuh. 

“Yang kita khawatirkan kita kurang membangun energi bersih. Tapi kita juga jangan lupa kebutuhan gas dan sebagainya butuh infrastruktur,” ucapnya.

Oleh karena itu, ia khawatir jika implementasi transisi energi yang tidak matang dapat menyebabkan Indonesia rentan ketika terjadi gangguan pasokan baik dalam negeri maupun konteks global. 

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Djoko Siswanto mengatakan dalam hal ketahanan energi nasional, terdapat empat aspek yang perlu diperhatikan. Keempat aspek itu meliputi ketersediaan energi, keterjangkauan harga energi, kemampuan akses terhadap energi, dan energi yang ramah.

Djoko menerangkan bahwa terdapat 5 tingkat kondisi energi dari penilaian aspek tersebut yakni sangat rentan dengan skala nilai 0 - 1,99; rentan dengan skala nilai 2 - 3,99; kurang tahan dengan skala nilai 4 - 5,99; tahan 6 - 7,99; dan sangat tahan 8 - 10.

Dalam catatannya, indeks ketahanan energi Indonesia dari 4 variabel itu berada di angka 6,57, di kategori tahan. Nilai ketahanan energi Indonesia sejak 2014 silam setiap tahunnya meningkat. Adapun capaian nilai ketahanan energi nasional pada 6,57 merupakan yang tertinggi sejak lima tahun ke belakang.

Bila dibandingkan dengan tahun 2014, nilai ketahanan energi Indonesia hanya berada pada 5,82 atau kurang tahan. Tapi pada tahun berikutnya, nilai ketahanan energi naik menjadi 6,17, dan pada tahun 2016 angkanya naik menjadi 6,38 dan pada tahun 2017 dan 2018 masing-masing naik jadi 6,4 dan 6,43.

BISNIS

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus