Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
JAKARTA – Kinerja industri bank perkreditan rakyat (BPR) konvensional ataupun syariah diwarnai tren peningkatan rasio kredit macet (non-performing loan/NPL) dalam tiga tahun terakhir. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan, per Agustus 2022, tingkat NPL BPR mencapai 7,98 persen; terus naik dari 7,22 persen pada 2021 dan 6,81 persen pada 2020. Angka itu jauh berada di atas rata-rata NPL industri perbankan nasional yang sebesar 2,88 persen.
Direktur Indonesia Development and Islamic Studies, Yusuf Wibisono, menuturkan penyaluran pembiayaan BPR selama ini banyak ditujukan kepada usaha mikro, kecil, dan menengah. Namun kredit yang diberikan cenderung berbiaya dan berisiko tinggi jika dibanding pembiayaan dari industri jasa keuangan pada umumnya. “Masalah utama BPR/BPRS adalah pricing yang mahal sehingga membentuk default risk dari peminjam,” ujarnya, kemarin.
Sebagai contoh, pada Agustus 2022, suku bunga untuk kredit modal kerja di BPR mencapai 22,77 persen. Berikutnya, suku bunga kredit investasi sebesar 20,97 persen dan kredit konsumsi sebesar 20,57 persen. Menurut Yusuf, kendala utama yang dihadapi industri BPR adalah ketidakmampuan untuk menarik dana pihak ketiga (DPK) yang murah karena persaingan penghimpunan data yang relatif ketat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo