Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Tarif impor resiprokal yang diberlakukan Donald Trump kepada sejumlah negara membawa dampak yang signifikan dalam dunia perekonomian dunia, terutama Indonesia. Pengenaan tarif resiprokal yang mencapai 32 persen terhadap produk-produk dari Indonesia diperkirakan akan memberikan dampak signifikan bagi sektor ekspor Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Akan tetapi, Tarif Trump ini bagi Indonesia membawa tidak hanya berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi, tetapi juga mengancam keberlangsungan industri padat karya yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Banyak industri nasional yang bergantung pada ekspor ke AS, seperti tekstil, garmen, alas kaki, dan produk kelapa sawit, akan merasakan dampak langsung dari kebijakan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Komoditi Unggulan Indonesia yang Terkena Dampak
Menurut informasi dari situs resmi Kementerian Perdagangan RI, Amerika Serikat adalah salah satu negara yang memberikan surplus perdagangan nonmigas terbesar bagi Indonesia pada 2024. Surplus perdagangan antara Indonesia dan AS mencapai 16,08 miliar dolar AS, dari total surplus perdagangan nonmigas Indonesia yang sebesar 31,04 miliar dolar AS. Beberapa produk nonmigas yang diekspor Indonesia ke AS meliputi pakaian, peralatan listrik, sepatu, dan minyak nabati.
Sebelum mengumumkan tarif baru yang saling menguntungkan, Trump telah menerapkan bea masuk sebesar 20 persen untuk semua produk yang diimpor dari Cina. Selain itu, ia juga mengenakan bea masuk sebesar 25 persen untuk produk baja dan aluminium yang masuk ke AS.
Tidak hanya ekspor produk nonmigas, merujuk data dari UN Comtrade Database dalam laporan Tempo, komoditas unggulan Indonesia ke Amerika lainnya seperti mesin dan peralatan listrik, garmen, lemak dan minyak hewan atau nabati, alas kaki, dan produk hewan air. Pada 2023, total nilai ekspor Indonesia ke Amerika sebesar 23,3 miliar dolar AS. Angka ini terbilang menurun dibandingkan nilai ekspor pada 2023 sebesar 28,2 miliar dolar AS.
Sementara dari sektor pertanian Indonesia, menurut laporan dari Antara, sejumlah produk pertanian unggulan Indonesia diekspor ke Amerika Serikat, seperti kopi, minyak kelapa sawit, dan kakao. Berdasarkan data pada 2023, Amerika Serikat menjadi negara tujuan utama ekspor Indonesia hingga mencapai 215,5 juta dolar AS. Ini menjadikannya salah satu pasar terbesar untuk kopi Arabika dan Robusta dari Indonesia. Dengan adanya kebijakan Tarif Trump, maka sektor pertanian akan terkena dampaknya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan sejumlah komoditas unggulan ekspor Indonesia akan mengalami tekanan besar akibat kebijakan Tarif Trump tersebut. Banyak produk unggulan seperti tekstil, elektronik, alas kaki, minyak sawit, karet, furniture, hingga perikanan akan terkena dampaknya.
“Selama ini produk ekspor utama Indonesia di pasar AS antara lain adalah elektronik, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, palm oil, karet, furniture, udang, dan produk-produk perikanan laut,” tulis Airlangga dalam keterangan tertulis, Kamis, 3 April 2025 yang dikutip dari CNA.
Adapun 10 produk ekspor RI ke AS yang berpotensi besar akan terdampak akibat Tarif Trump menurut laporan CNA meliputi:
1.Mesin dan perlengkapan elektrik: 4,18 miliar dolar AS
2. Pakaian dan aksesori (rajutan): 2,48 miliar dolar AS
3. Alas kaki: 2,39 miliar dolar AS
4. Pakaian dan aksesori (bukan rajutan): 2,12 miliar dolar AS
5. Lemak dan minyak hewani/nabati: 1,78 miliar dolar AS
6. Karet dan barang dari karet: 1,685 miliar dolar AS
7. Perabotan dan alat penerangan: 1,432 miliar dolar AS
8. Ikan dan udang: 1,09 miliar dolar AS
9. Mesin dan peralatan mekanis: 1,01 miliar dolar AS
10. Olahan daging dan ikan: 788 juta dolar AS
Dampak Ekonomi yang Meluas
Akibat kebijakan Tarif Trump, industri tekstil Indonesia dikhawatirkan akan semakin menurun, menurut laporan Antara. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia melaporkan bahwa 60 perusahaan tekstil telah tutup dalam dua tahun terakhir. Di sisi lain, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat lebih dari 24 ribu pekerja di sektor tekstil mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang tahun 2024.
Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya juga memperkirakan akan ada lebih banyak penutupan pabrik dan PHK, terutama di perusahaan menengah dan besar. Selain itu, PHK di industri kecil dan menengah (IKM) diperkirakan jauh lebih tinggi, mencapai sekitar 1.000 unit, yang dapat membuat ratusan ribu orang kehilangan pekerjaan.
Faisal Javier dan Rachel Caroline L. Toruan berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: