Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Outlook 2025: Pinjaman Daring Tinggi Permintaan di Tengah Minimnya Literasi Keuangan

Layanan pinjaman daring (pindar) atau fintech lending diprediksi bakal meningkat. Namun, tingginya permintaan belum diiringi dengan kualitas literasi

20 Januari 2025 | 14.40 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gedung Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Jakarta. Layanan pinjaman daring (pindar) atau fintech lending diprediksi bakal meningkat. Namun, tingginya permintaan belum diiringi dengan kualitas literasi keuangan. Dok. TEMPO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memproyeksikan layanan pinjaman daring (pindar) atau fintech lending akan berkontribusi dalam memperluas akses cum inklusi keuangan. Penetrasi internet, kecepatan layanan, hingga pertumbuhan ekonomi akan menjadi roda pindar menuju masyarakat di pedesaan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Pindar telah membuka akses keuangan bagi masyarakat yang sebelumnya tidak terlayani oleh lembaga keuangan tradisional,” kata Ketua Umum AFPI Entjik S. Djafar kepada Tempo pada 4 Januari 2025. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Entjik mengatakan proyeksi pertumbuhan pindar ini bisa terlihat dari tren meningkatnya permintaan kredit. Hingga November 2024, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat outstanding pembiayaan tumbuh 27,32 persen secara tahunan dengan nominal sebesar Rp 75,60 triliun. Pada Agustus sebelumnya, nilai pembiayaan mencapai Rp 72,03 triliun atau meningkat 26,73 persen dari Juni yang mencatatkan Rp 66,79 triliun.  

Pada Mei 2024, AFPI juga mencatat ada 129 juta orang di Indonesia meminjam uang ke fintech lending. Kalau penduduk berusia 15-64 tahun ada 196 juta pada periode tersebut, artinya setiap 70 dari 100 orang meminjam uang ke fintech lending. Dari jumlah ini total penyaluran dana pinjaman mencapai Rp 874,5 triliun. “Kami tetap optimis dengan proyeksi pertumbuhan,” kata Entjik. 

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan industri pindar ini akan berkembang beberapa tahun ke depan. Di 2025 ini, Celios memprediksi penyaluran akan meningkat 20 persen. Kondisi ini didorong kebiasaan masyarakat yang beralih dari transaksi konvensional ke digital. Apalagi, 50 masyarakat Indonesia terdiri dari generasi Z dan milenial yang gandrung dengan teknologi. 

“Kondisi tersebut yang mempengaruhi permintaan pinjaman daring,” kata Nailul saat dihubungi pada Sabtu, 18 Januari 2025. 

Belum lama ini, para pemain fintech lending juga me-rebranding penjemanaan pinjaman online (pinjol) untuk memperkuat posisi industri ini. Lantaran kerap mendapat persepsi negatif, pelaku industri mengubah jenama dari pinjol menjadi pindar.  Pelaku industri peer-to-peer lending berharap pembaruan nama bisa memberi kesan positif sekaligus memperbaiki reputasi. Hingga Oktober 2024, ada 97 industri fintech peer to peer (P2P) lending yang berizin dan diawasi OJK. 

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi mengatakan institusinya terus mendorong peran fintech dalam inklusi dan literasi keuangan. Menurut dia, semakin masyarakat melek teknologi dan memakai dalam kehidupan saban hari, bisa menjadi katalis dalam mendorong inklusi keuangan hingga ke pedesaan. 

“Tentu hal tersebut akan terus didukung oleh OJK dengan tetap memperhatikan perlindungan konsumen, memastikan kenyamanan, dan kepastian masyarakat dalam menggunakan berbagai produk dan layanan keuangan,” kata Friderica kepada Tempo pada Senin, 6 Januari 2025. 

Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024 yang dirilis OJK menunjukkan terdapat kesenjangan antara penduduk di pedesaan dan perkotaan dalam kedua aspek tersebut. Literasi keuangan didefinisikan sebagai keterampilan dan pengetahuan seseorang untuk mengelola keuangan. Sedangkan, inklusi keuangan merupakan ketersediaan akses pemanfaatan atas produk dari layanan keuangan yang terjangkau, berkualitas, dan berkelanjutan. Survei yang dirilis pada Oktober 2024 ini melibatkan 10.800 responden berusia 15-79 tahun yang berasal dari 34 provinsi, 120 kota/kabupaten. 

Sigi yang berlangsung 2023 hingga Februari 2024 itu merekam indeks literasi keuangan secara komposit–gabungan keuangan konvensional dan syariah–di perkotaan lebih tinggi dengan angka 69,71 persen, sedangkan pedesaan hanya 59,25 persen. Sementara, indeks literasi keuangan syariah justru ambles sekaligus terjadi ketimpangan yang signifikan terkait pemahaman dan keyakinan masyarakat. Indeks literasi keuangan syariah di angka 45 persen di perkotaan dan 30,20 persen di pedesaan. 

Secara nasional, indeks literasi keuangan Indonesia sebesar 65,43 persen. Artinya, dari 100 orang umur 15-79 tahun, hanya 65 orang yang terliterasi keuangan dengan baik. Sementara itu, indeks inklusi keuangan Indonesia sebesar 75 persen. Dari fenomena ini, artinya dari 100 orang umur 15-19 tahun, hanya 75  orang yang terinklusi keuangan. Kondisi ini masih jauh dari target OJK yang ingin inklusi keuangan mencapai 90 persen. 

Dalam aspek keuangan syariah, indeks literasinya justru jomplang dengan keuangan konvensional. Sektor keuangan konvensional, secara komposit inklusi keuangan sebesar 78,41 persen di perkotaan, sedangkan pedesaan 68,28 persen. Sementara itu, indeks inklusi keuangan syariah hanya 14,73 di perkotaan, sedangkan hanya 10,20 persen di pedesaan. Fenomena ini menunjukkan adanya gap antaranya inklusi keuangan konvensional dan syariah sebesar 63,68 persen. 

OJK saat ini juga sedang menjalankan program Ekosistem Keuangan Inklusif (EKI). Program ini menyasar dan memprioritaskan masyarakat desa. Sejak 2023, program EKI telah berjalan di 81 desa dengan melibatkan 36 ribu masyarakat sebagai peserta. Friderica mengatakan program ini bisa menjadi peluang untuk menyediakan produk atau layanan keuangan yang sesuai kebutuhan masyarakat desa. 

“Untuk 2025, OJK akan terus mendorong implementasi berbagai program inklusi keuangan yang juga dapat mendukung implementasi Asta Cita pemerintah,” kata Friderica. 

Pada 2025, OJK juga akan mulai mengimplementasikan Pedoman Akses Pelayanan Keuangan untuk Disabilitas Berdaya (SETARA). Tujuannya, untuk mengembangkan kebijakan yang inklusif. 

“memastikan aksesibilitas produk, layanan, serta fasilitas bagi konsumen dengan disabilitas sebagai enable dalam mendukung program Satu Rekening Satu Disabilitas,” kata Friderica. 

Gayung bersambut, AFPI menyatakan keunggulan teknologi dan pelayanan yang cepat oleh perusahaan fintech saat ini bisa menjadi solusi alternatif bagi masyarakat. Di pedesaan, AFPI berusaha menciptakan produk yang sesuai dengan kebutuhan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) seperti pendanaan dengan nominal kecil dan tenor fleksibel. 

“Kami juga mengedukasi masyarakat desa melalui program literasi keuangan serta menjalin kemitraan dengan lembaga lokal agar akses teknologi menjadi lebih terjangkau,” kata Entjik. 

Inklusi Keuangan Syariah Menjadi Tantangan

Otoritas Jasa Keuangan kini sedang memutar otak untuk meningkatkan inklusi keuangan syariah. Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024 aspek syariah hanya parkir di 12,88 persen atau meningkat tipis dari periode sebelumnya di angka 12,12 persen. Meski literasi keuangan syariah meningkat signifikan menjadi 39,11 persen dari 9,14 persen, sektor ini masih perlu diintervensi. 

“OJK terus mendorong peran fintech dalam meningkatkan inklusi keuangan,” kata Friderica. 

Menurut dia, kondisi ini menggambarkan kalau peningkatan kesadaran terkait keuangan syariah belum beriringan dengan penggunaan produk keuangannya. Fenomena ini, Friderica mengatakan, terjadi karena keterbatasan suplai atau akses layanan keuangan syariah ke masyarakat. Demikian juga masyarakat yang belum bersedia menggunakan layanan keuangan syariah. 

Karena itu, OJK kini juga merancang program khusus seperti Ekosistem Pesantren Inklusif Keuangan Syariah (EPIKS), Program Business Matching/Forum Edukasi dan Temu Bisnis Akses Keuangan Syariah (FEBIS), Syariah Financial Festival (SYAFIF), serta perluasan cakupan dan peran Agen Laku Pandai. OJK akan mengembangkan aneka program untuk membantu pembukaan akses produk keuangan syariah bagi masyarakat luas. Senyampang, OJK juga mendorong pelaku usaha jasa keuangan syariah untuk berinovasi agar produk mereka diminati masyarakat. 

Menurut Friderica, perkembangan teknologi yang memudahkan masyarakat mengakses informasi harus dimanfaatkan dalam meningkatkan inklusi keuangan syariah. “OJK juga terus mendorong peran fintech untuk memajukan literasi dan inklusi keuangan syariah pada masyarakat melalui kolaborasi dengan asosiasi industri fintech,” kata dia. 

Selain itu, OJK juga akan memaksimalkan peran Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) yang telah terbentuk di seluruh kabupaten/kota. Karena itu, OJK juga akan menggalakkan program Gerakan Nasional Cerdas Keuangan (GENCARKAN), Bulan Inklusi Keuangan (BIK), Hari Indonesia Menabung (HIM). 

Pada tahun ini, OJK juga akan mengeksekusi program bersama Kementerian Agama untuk mengembangkan edukasi keuangan syariah di lembaga pendidikan. OJK akan memprioritaskan sasaran pembukaan rekening tabungan Simpanan Pelajar/Anak/Santri, perluasan akses ke ibu dan perempuan yang berasal dari organisasi muslimah, memperlebar akses produk bagi santri, dan pengembangan Syariah Financial Festival (SYAFIF). 

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyebut permintaan tinggi ke layanan fintech ini memang tak sebanding dengan literasi keuangan. Masyarakat, kata dia, tak bisa memilih informasi yang tepat terkait produk ekaungan. Fenomena ini menyebabkan masyarakat terjebak ke pinjaman ilegal. 

“Mereka tahu bahwa ada produk kredit, namun tidak mengerti tentang manfaat dan risikonya,” kata Nailul saat dihubungi pada Sabtu, 18 Januari 2025. 

Selain itu, Nailul mengatakan tingkat inklusi keuangan masyarakat di desa juga tampak semua. Sebab, kelompok ini hanya memanfaatkan rekening perbankan hanya untuk menerima bantuan dari pemerintah. Setelah menarik uang dari bank, masyarakat tak menggunakan rekening mereka. “Maka peran fintech harus mengisi kekosongan ini dengan produk yang lebih inklusif namun prudent,” kata dia. 

Adil Al Hasan

Adil Al Hasan

Bergabung dengan Tempo sejak 2023 dan sehari-hari meliput isu ekonomi. Fellow beberapa program termasuk Jurnalisme Data AJI Indonesia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus