Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Pelaku Usaha Kembangkan Bibit Induk Ayam, Ketergantungan Impor Diklaim Berkurang 50 Persen

Walaupun Indonesia menyatakan sudah swasembada ayam dan telur, sumber bibit induk ayam seluruhnya masih impor.

27 Februari 2025 | 13.07 WIB

Induk Ayam. Shutterstock
Perbesar
Induk Ayam. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Bibit induk ayam great grand parent stock (GGPS) dan grand parent stock (GPS) ayam pedaging (broiler) kini tengah dikembangkan di Indonesia. Pengembangan bibit unggas ini diklaim dapat mengurangi ketergantungan impor sumber protein itu hingga 50 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Renaldi Anggada, Direktur Utama PT PPG, mengungkap riset dan peningkatan mutu genetik untuk menghasilkan GGPS dan GPS ayam broiler dan ayam petelur telah dimulai 15 tahun silam. Hasilnya, Kementerian Pertanian pada 2021 mengakui rumpun dan galur untuk GPS ayam gunsi yang dihasilkan oleh PT PPG. “Setelah adanya legalitas dari pemerintah Indonesia, PT PPG langsung menyempurnakan mutu genetik dan fasilitas pembibitan,” ujar Renaldi dalam keterangan resmi yang diterima Tempo, Selasa, 25 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setiap tahun, Renaldi mengungkap, Indonesia mampu memproduksi 5,2 miliar ekor ayam pedaging serta 6,1 juta ton telur ayam. Produksi ini berasal dari perusahaan peternakan dan peternakan rakyat dari Sumatera hingga Papua.

Di hulu, produksi ayam pedaging dan telur ini berasal dari GPS pedaging sekitar 530 ribu–560 ribu ekor dan petelur (layer) sekitar 30 ribu ekor. Selama ini, ujar Renaldi, sumber GPS tersebut sepenuhnya masih bergantung pada impor.

Seluruh kebutuhan GPS ayam broiler dan petelur di dunia saat ini berasal dari tidak lebih dari lima perusahaan. “Walaupun Indonesia menyatakan sudah swasembada ayam dan telur, sumber bibitnya seluruhnya impor,” ujar Renaldi.

Ada sejumlah risiko jika Indonesia terus bergantung pada impor ayam indukan. Dari aspek kesehatan hewan, Renaldi mengungkap, ada potensi gangguan jika terjadi wabah di negara asal bibit. Berdasarkan ketentuan badan kesehatan hewan dunia (WOAH), negara yang terjangkit penyakit dilarang mengirim ternak ke negara lain. Walhasil, negara pengimpor akan kesulitan memproduksi ternaknya dan selanjutnya mempengaruhi kebutuhan protein hewani untuk masyarakat.

Selain itu, Renaldi menuturkan, jika negara penghasil bibit memberlakukan embargo ekonomi dan politik kepada negara pengimpor, Indonesia terancam kekurangan stok. “Semua risiko ini perlu menjadi perhatian seluruh stakeholder, termasuk pemerintah dan DPR,” ujarnya.

Pemerintah dan DPR, ujar Renaldi, dapat mendorong perusahaan perusahaan pembibitan yang selama ini masih mengimpor GPS untuk menggunakan bibit dalam negeri. Dengan begitu, ia mengatakan, kebijakan pemerintah untuk swasembada pangan, termasuk dari subsektor peternakan unggas, dapat terwujud.

Selain memproduksi sumber bibit ayam pedaging, perusahaan yang berdiri sejak 1988 ini memproduksi bibit ayam lokal (kampung), bibit ayam arab (lokal petelur) dan puyuh. Produksi ayam kampung sekitar 2 juta ekor per tahun, dan itik sekitar 35 juta ekor per tahun.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus