DOKTER jangan sembarangan menggugurkan kandungan. Perbuatan itu kini diancam hukuman pidana 15 tahun penjara, dan denda Rp 500 juta. Peringatan itudikibarkan dalam Undang-Undang Kesehatan yang sudah disahkan Panitia Khusus Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat, Sabtu lalu. Undang-Undang Kesehatan yang disahkan dalam rapat paripurna Selasa pekan ini merupakan hadiah perpisahan untuk anggota dewan periode 1987-1992. Mereka lega setelah lebih dari satu setengah bulan maraton menggodok rancangan undang-undang tersebut. Dalam Undang-Undang ini diminta para pelaku kesehatan lebih waspada. Sebab,beberapa rambu telah dipasang. Terutama dengan munculnya bab tentang ketentuanpidana yang selama ini belum diatur khusus. Ganjaran yang disediakan cukup bervariasi, yaitu hukuman satu tahun hingga 15 tahun. Dan dendanya mulai dari Rp 10 juta hingga Rp 500 juta. Pelanggaran yang dijerat, antara lain, untuk tindakan aborsi, transplantasi organ secara komersial, mengedarkan makanan dan minuman yang tak memenuhistandar kesehatan, dan memproduksi obat embarangan. "Ketentuan pidana ini bertujuan supaya pelayan kesehatan jangan sembrono. Ketentuan tersebut adalah untuk melindungi masyarakat," kata Dokter Bawadiman. Bagi tenaga kesehatan, seperti dokter, misalnya, menurut Ketua Panitia Khusus Komisi VIII itu, jika berbuat salah, ia menerima hukuman cukup berat. Selaindiancam pencabutan izin prakteknya, juga dikenai tuntunan pidana dan pasien bisa minta ganti rugi. Namun, untuk menentukan dokter bersalah atau tidak, menurut Undang-Undang yang baru ini, diatur oleh lembaga yang dinamai Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan. Badan tadi selain beranggota dokter, ditambah pula dengan ahlihukum. Tentang sanksi pidana yang berat, menurut Menteri Kesehatan Adhyatma, sudah disesuaikan dengan peraturan yang ada. Terutama disesuaikan dengan KUHP dandirujuk pada peraturan perundang-undangan yang lain. Soal aborsi, misalnya, dalam keadaan untuk menyelamatkan jiwa ibu dan janin, petugas dapat melaksanakannya. Berarti, aborsi dimungkinkan. "Dalam keadaan darurat, semuanya mungkin," kata Adhyatma. Dalam prakteknya, pengguguran kandungan tidak mudah. Pertama, harus mendapat saran tim ahli. Danitu tidak harus dokter, bisa psikolog, maupun ahli agama, dan keluarga, misalnya dari ibu si janin. Pelaksanaan aborsi juga harus di tempat yangditunjuk Pemerintah. Jika terjadi pelanggaran, kata Adhyatma, Pemerintah langsung menindak dokter bersangkutan. Sedangkan dalam masalah bayi tabung, menurut UndangUndang yang baru ini, diperbolehkan pada pasangan suami istri yang sah. Kalau suami punya spermakemudian digunakan untuk membuahi wanita lain yang bukan istrinya, dilarang.Bila dilanggar, dia diancam hukuman lima tahun penjara serta didenda Rp 100juta. Sebab, selain dilarang normanorma agama, juga akan membubarkan garis keturunan. Diharapkan oleh Adhyatma, UndangUndang Kesehatan yang baru disahkan ini akan mampu mengantisipasi 25 tahun ke depan. Tapi lain lagi Dokter Kartono Mohamad.Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia itu secara umum pengelompokan pasal-pasalnya kurang sistematik. Masalah pencegahan sertapenyembuhan penyakit masih terpencar. Pendeknya, Undang-Undang ini kurang luwes mengantisipasi teknologi kedokteran di masa depan. Kartono bukan asal mengkritik. Ia tunjukkan, misalnya, tentang upaya pencegahan kurang ada klasifikasi khusus. Di sini tampak terpencar-terpencar,seperti soal kesehatan kerja, kesehatan lingkungan, makanan dan minuman, dan masalah gizi. Masalah perkembangan teknologi, menurut Kartono, juga kurang diantisipasi. Maunya Undang-Undang ini rinci, tapi malah tidak lengkap. Seharusnya disebutsaja secara singkat: semua teknologi kedokteran penggunaannya diatur lebih lanjut, hingga fleksibel. "Saya tidak melihat Undang-Undang ini akan mengatur jika ada teknologi baru," katanya. Lihat saja untuk teknologi kloning organ buatan,transplantasi organ binatang, rekayasa genetika, yang tak tercantum dalamUndang-Undang itu. Padahal, teknologi kedokteran terus berkembang. Undang-Undang ini masih bersifat reaktif dalam kasus yang terjadi dalam masyarakat. Misalnya, pada pasal yang membahas kasus bedah plastik. "Kenapa dimasukkan?" tanya Kartono. Jadi, Undang-Undang ini terkesan dibuat untukmenampung peraturan lama yang sudah ada, bukan Undang-Undang yang mengantisipasi perkembangan kesehatan sampai 25 tahun ke depan. Juga besarnya tuntutan pidana, menurut Kartono, dikhawatirkan akan muncul kasus seperti Undang-Undang Lalu Lintas. Dendanya terlalu besar. Namun, disisi lain ia juga memberi komentar baik terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut. Misalnya, tentang tenaga kesehatan tak harus sebagaiwajib kerja sarjana. "Di sini hak dan kewajiban lebih seimbang antara masyarakat dan Pemerintah," katanya. Bagaimana pelaksanaannya di lapangan, agaknya perlu ditunggu. Dan Undang-Undang ini diharapkan pada 17 September nanti mulai diberlakukan, setelah diteken Presiden. Gatot Triyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini