Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Dikembalikan pada ajaran weda

Pertemuan pimpinan hindu sedunia yang ketiga di denpasar tidak lagi membicarakan masalah perbedaan intern. semuanya dianggap tuntas dengan cara kembali pada ajaran weda.

12 September 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK pertama kalinya Pertemuan Federasi Hindu Sedunia mengambil tema yang memikirkan masalah-masalah dunia. Pertemuan yang dibuka Wakil Presiden Sudharmono Kamis pekan lalu di Denpasar itu membicarakan "sumbangan Hindu terhadap perdamaian dunia dan kemanusiaan". Pertemuan ini dihadiri sekitar 300 peserta dari 32 negara. Pertemuan yang berakhir Sabtu pekan lalu ini menghasilkan sejumlah resolusi yang kemudian masih dimatangkan rumusannya oleh Presiden WHF (Word Hinduism Federation) yang baru, Krishna Gopal Tandon, dari Nepal. WHF, yang beranggotakan majelis-majelis agama Hindu, berdiri 1981 di Sri Lanka. Dalam dua kali pertemuan sebelum ini -- di Sri Lanka dan Malaysia -- materi pembicaraan selalu berkisar "ke dalam", yakni menyangkut organisasi dan bagaimana mempersatukan Hindu yang terdiri dari sembilan sekte itu. Karena, menurut Oka Punyatmaja, Wakil Ketua WHF, sebelum ini perbedaan sekte itu sering menimbulkan perpecahan. "Karena itulah pada tahun-tahun awal kita lebih memfokuskan pembicaraan intern," kata Punyatmaja. Pada pertemuan ketiga di Denpasar ini, masalah intern dianggap selesai. Bagaimana penyelesaiannya? Secara garis besar dapat disebutkan bahwa pemeluk Hindu tetap konsisten dan hanya mengakui Kitab Suci Weda (yang terdiri dari empat kitab sehingga juga disebut Catur-Weda) sebagai satu-satunya kitab suci. Sedangkan dalam tata cara peribadatan dibenarkan terjadinya perbedaan yang disebabkan oleh masalah sosial budaya setempat, asalkan tidak menyimpang dari Weda. Seperti yang dikatakan Anand Krisnha dari Pusat Pengkajian Ajaran Veda, Yoga, dan Dharma Jakarta, dalam Kitab Reg Weda -- salah satu dari empat Weda -- jelas-jelas disebutkan: ekam sat viprah bahudah vadanti. Artinya kurang lebih, Tuhan itu satu adanya, hanya para bijaksana memanggilnya dengan banyak nama dan menyembahnya dengan banyak cara. "Bila ada perbedaan, itu tak lain dikarenakan adanya perbedaaan adat dan tradisi tempat agama Hindu itu hidup. Umat Hindu prinsipnya tidak memfokuskan diri pada jalan (tata cara), tapi lebih kepada tujuan," kata Anand Krisnha. Perbedaan paling mencolok adalah hari raya keagamaan, di luar Tahun Baru Caka (di Bali disebut Nyepi) yang memang dirayakan semua umat Hindu. Misalnya, umat Hindu di Bali mengenal Hari Raya Galungan. Menurut Ida Bagus Agastia, salah satu peserta pertemuan, hari raya itu berkaitan dengan legenda Raja Maya Denawa, yang dibinasakan Dewa Indra karena ketamakannya. Hari raya semacam ini tak dikenal di luar Bali, bahkan di India sekalipun, tempat asal agama Hindu. Sebab, hari raya itu berasal dari adat Bali. Sedangkan umat Hindu di India mengenal hari raya Homa, yang di tempat lain tak ada. Atau contoh lebih dekat, umat Hindu di Tengger mengenal upacara Kesodo. Menurut Punia Ikrana Shani, delegasi dari Nepal, hari raya yang banyak ragamnya itu juga ditentukan oleh sekte. Misalnya India, yang lebih banyak menganut sekte Waesnawa, lebih memuja Krisnha sebagai perwujudan Wisnu. Sedangkan di Indonesia kebanyakan sekte Ciwa (mayoritas di Bali) dan sekte Buda (sebagian Bali dan umumnya luar Bali). Masalah yang juga sudah dianggap "masa lalu" sehingga tidak lagi dibicarakan dalam pertemuan WHF ini adalah apa yang disebut kasta, yang pernah disalahinterpretasikan, terutama di India dan Bali, seolah-olah itu ajaran Hindu. Di India kabarnya terdapat 3.000 kasta, bahkan ada yang ekstrem, sampai menimbulkan gejolak antarkasta. Sedangkan di Bali pernah disebut ada empat kasta yang masing-masing seolah-olah punya batasan-batasan. Semua kesalahan masa lalu itu sudah "diluruskan", seperti yang dikatakan Anand Krisnha dan Ida Bagus Agastia, "dengan kembali pada Weda". Kitab suci ini menyebut catur-varna, yakni empat pembagian kerja menurut Hindu, yakni brahmana (golongan pendeta), ksatria (prajurit), waysia (pedagang), dan sudra (rakyat jelata). "Kita di Hindu sudah lama menyebutkan ini warna (varna), orang lain yang menyebut kasta," kata Agastia. Bahwa varna tak ada kaitannya dengan keturunan, apalagi "takdir kelahiran", ini dijelaskan oleh Anand dengan mengambil contoh kehidupan Begavan Abivyasa, sorang tokoh spritual yang menghimpun kembali Weda. Secara jadma (jenis pekerjaan) Abivyasa di waktu muda adalah seorang sudra, karena ia dilahirkan dari seorang ibu penjual ikan. Namun, setelah dewasa, karena tekun belajar dan salah satu tokoh yang menghimpun Weda, ia dihormati sebagai seorang brahmMDNMana dan diberi gelar begavan. Contoh seperti ini, dalam skala kecil, sudah lama terjadi di Bali. Seseorang yang lahir di lingkungan "rakyat biasa" (dulu disebut kasta sudra), setelah belajar agama dan diwisuda sebagai pendeta,MDNM diberi gelar sri empu. Yang datang dari kalangan yang tadinya disebut kasta wesya dan ksatria diberi gelar resi. Sri empu dan resi itu diakui sebagai brahmana, dalam pengertian catur-varna. Mungkin nama-nama orang Bali itu yang membuat rancu, seolah-olah Ida Bagus, Anak Agung, I Gusti, dan sebagainya, lebih tinggi -- dan dibedakan dalam Hindu -- dibandingkan orang yang tak memakai nama itu. Julizar Kasiri dan Putu Fajar Arcana (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus