SANMARSID tewas mengenaskan awal Februari lalu. Warga desa Surusanda,Cilacap, Jawa Tengah ini tewas di tangan para tetangga. Ia dituduh dukun teluh. Peristiwa main hakim sendiri itu naik ke pengadilan karena menyangkut pembunuhan. Dan latar belakang pembunuhan ini, hal yang sulit dibuktikan dengan akal sehat. Namun, Pengadilan Negeri Cilacap ternyata malah tak menyangsikan praktek teluh yang dilakukan Sanmarsid. Dengan kata lain, para hakim mempercayai tudingan masyarakat itu. Keyakinan itu dipakai majelis sebagai salah satu pertimbangan meringankan tujuh terdakwa pembunuh Sanmarsid. Majelis menganggap perbuatan korban sebagaitukang teluh meresahkan masyarakat. Dampak langsung kepercayaan majelis itu, dua pekan lalu, para terdakwa dihukum hanya 4,5 hingga 6 tahun penjara. Tuntutan jaksa antara 8 dan 11 tahun. Para terdakwa menerima keputusan itu, dan jaksa pun -- yang berubah pendapat -- tidak menyatakan banding. Menurut Jaksa Zaidan Asnawi, hukuman tertinggienam tahun sudah setimpal untuk para pembunuh Sanmarsid. "Karena korban termasuk orang yang meresahkan masyarakat," ujar Zaidan, seperti mengutippertimbangan majelis. Menurut jaksa, kematian Sanmarsid direncanakan lewat sebuah rapat yang diadakan para warga sekampungnya. Rembukan itu berlangsung seminggu setelahkematian Narsiti. Awalnya, Tohid, suami Narsiti, mengusut kematian istrinya lewat "orang pintar". Kesimpulannya: Narsiti mati di tangan ayahnya sendiri, yang tak lain adalah Sanmarsid. Menurut "teori" si orang pintar, ilmu hitam yang lama tidak dipakai akan menembak keluarganya sendiri. Kebetulan Narsiti meninggal dirumah Sanmarsid setelah sakit berhari-hari. Tohid melapor ke ketua rukun warga, Santowir -- salah satu terhukum yang diganjar 6 tahun kurungan. Mereka kemudian mengumpulkan warga desa yang rata-rata berpendidikan rendah dan sangat mempercayai tahayul. Setelah diingat-ingat, Sanmarsid dituduh penyebab kematian tujuh penduduk yang pernah ribut mulut dengannya. Mereka meninggal dengan tanda-tanda sama:batuk-batuk dan muntah darah. Maka, warga kampung beramai-ramai memburu Sanmarsid. Ia digelandang ketika mencoba lari. Begitu tertangkap, ia dihujani tinju, pukulan pentung, dan bahkan hunjaman besi beton. Dalam keadaan babak-belur, ia diseret lalu dikubur hidup-hidup. Si dukun tak mampu menggunakan ilmunya. Ia tewas. Pemeriksaan para saksi di pengadilan seperti persidangan masyarakat saja. Semua saksi menyatakan, Sanmarsid dukun teluh dan layak dibunuh. Menurut Ketuamajelis Sjamsuddin, bahkan istri korban pun mengakui suaminya tukang teluh. Semua kesaksian itulah yang dinilai hakim sebagai bukti. "Jangan keliru, soal dukun teluh itu bukan pendapat hakim. Itu adalah fakta, berupa pengakuanpara saksi,"kata Sjamsuddin. Sjamsuddin mengakui, secara hukum sulit membuktikan ilmu teluh. Karena itu, dalam kasus ini, hakim membenarkannya lewat keterangan saksi. "Kami takmembuktikan perbuatan teluhnya secara langsung, tapi lewat ungkapan para saksi. Bukti lain, keresahan yang ditimbulkan Sanmarsid adalah fakta," kata Sjamsuddin. Keresahan Desa Surusanda memang sirna setelah itu. Darsikem, istri Sanmarsid, mengaku kini hidup normal. Tetangganya kini tak lagi takut melintas di depanrumahnya. Ia kini bisa berladang tanpa dihantui ketakutan diancam dan dicemooh. Tapi benarkah suaminya tukang teluh? "Itu kata tetangga. Saya sendiri nggak pernah menyaksikan suami saya praktek ilmu itu atau berguru ilmu hitam," ujarDarsikem dengan mata berkaca-kaca. Mengapa di pengadilan ia mengaku? wanita lugu yang hanya bisa berbahasa Sunda ini takut bersuara lain. Ia mendambakan ketenangan. Untuk semua ketenanganini, Darsikem merasa memang harus kehilangan suaminya. G. Sugrahetty Dyan K., Faried Cahyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini