Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Buku This Album Could Be Your Life: 50 Album Musik Indonesia Terbaik 1955-2015 adalah History Lessons Part II dari band Minutemen dalam gugusan genre musik hardcore pada 1980-an. Ketika band-band hardcore Amerika Serikat di era tersebut berpacu membuat musik sengebut dan sebising mungkin, Minutemen justru sebaliknya. Trio D Boon, George Hurley, dan Mike Watt tidak tertarik membuat musik yang kencang dan agresif.
Musik Minutemen adalah langit dan bumi dengan kebanyakan rekan sebaya mereka saat itu. Anasir funk, classic rock, hingga jazz dioplos dalam lagu-lagu Watt dkk. Namun, band asal San Pedro, California, ini tak meninggalkan etos punk versi mereka. Kata Watt, musik mereka tetap bebas, menggila, dan jujur.
Seperti juga History Lesson Part II di eranya, 50 Album Musik Indonesia Terbaik 1955-2015 menjadi penanda zaman.
Pertama dalam soal waktu terbit. Ketika industri buku merosot sebagai dampak pandemi Covid-19, Elevation Books malah mengeluarkan buku 50 Album Musik Terbaik 1955-2015 mulai pekan ini. Dengan kertas mewah ditambah foto-foto penuh warna, buku setebal 328 halaman ini punya tempat berbeda dengan buku-buku lainnya yang terbit belakangan. Buku tersebut dibanderol Rp 235 ribu untuk harga normal.
Meski demikian, preorder 150 buku ini ludes terpesan. Padahal, hasil survei Ikatan Penerbit Indonesia menyebut, penjualan 58,2 persen penerbit anjlok lebih dari 50 persen akibat pandemi.
Buku 50 Album Musik Terbaik Indonesia ini pun beredar tepat dengan rilisnya data pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020 minus 5,32 persen. Ancaman resesi disebut-sebut mengancam. Jangankan beli buku, untuk memenuhi kebutuhan pokok pun daya beli masyarakat kurang.
Belum lagi generasi zaman now saat ini lebih suka baca HP ketimbang buku. Segala informasi dapat dengan mudah didapat lewat internet. Sebuah proyek nekat untuk menerbitkan buku babon macam ini.
Tak hanya waktu penerbitan, isi buku menjadi penanda zaman. Ketika penggila rilisan musik sudah biasa dengan daftar 150 Album Indonesia Terbaik versi majalah Rolling Stone Indonesia edisi November 2008, buku rilisan Elevation Books ini menyuguhkan ranking yang beda. Badai Pasti Berlalu yang bercokol di puncak tangga album terbaik versi Rolling Stone Indonesia dilengserkan ke peringkat kelima dalam buku 50 Album Musik Terbaik Indonesia.
Buku ini juga memberi tempat untuk album musisi yang menurut para juri hampir terlupakan. Ada album Langkah Pertama dari Igor Tamerlan, album self-titled Semakbelukar, album self-titled Bandempo dll yang masuk di dalamnya.
"Memang ada semacam affirmative action untuk memberikan tempat yang lebih proporsional terhadap band band dan musisi-musisi independen dan underdog, yang tidak hanya meramu album-album bermutu namun juga menanamkan pengaruh yang begitu dalam," tulis rilis dari Elevation Book.
Lantas apa kriteria para juri dalam buku 50 Album Musik Terbaik Indonesia menentukan album berdasarkan ranking? Prakata dalam buku ini tidak secara gamblang menjelaskan apa saja kriteria kuratorial maupun penempatan album berdasarkan ranking. Bandingkan dengan Rolling Stone Indonesia yang memberikan semacam rambu-rambu pemilihan album dalam pengantar edisi khusus 150 Album Indonesia Terbaik. Di antaranya memberikan inspirasi terhadap pemusik di zamannya maupun setelahnya, memberikan pengaruh terhadap industri musik pop pada zamannya maupun sesudahnya, album tersebut punya kualitas musikal di atas rata-rata, serta album itu harus beredar di Indonesia.
Rambu-rambu tersebut baru terungkap dalam rilis Elevation Book soal 50 Album Musik Terbaik Indonesia. "Pertimbangan utama adalah kualitas artistik dan pengaruh besar dari album-album tersebut bagi kemajuan belantika musik Indonesia."
50 Album Musik Terbaik Indonesia disusun lima juri. Mereka adalah pustawakan musik Kineruku Bandung Budi Warsito, seniman cum penulis Harlan Boer, dosen cum penulis musik Idhar Resmadi, vokalis Bangkutaman cum penulis musik Wahyu Acum Nugroho, penulis musik metal Samack, dan pendiri label Elevation Records Taufiq Rahman.
Daftar juri tersebut dianggap bisa mencakup perkembangan musik dari 1955-1975. Harlan dikenal dengan tulisannya yang jujur dengan diksi khas gen X. Sedangkan Idhar punya karakter tulisan dengan riset yang dalam. Acum sering muncul dengan tulisannya yang ngepop gaya anak MTV. Adapun Samack punya gaya tulisan membumi saat membahas musik-musik cadas bawah tanah. Sementara Taufiq kerap menyisipkan pengalaman-pengalamannya dalam tulisannya yang sarat analogi. Dan Budi Warsito dikenal sering mengulas musik lawas dengan gaya yang jenaka dan perspektif tak terduga. Tapi Budi tidak ikut menulis dalam buku ini.
Di antara lima juri dengan preferensi musiknya, bagaimana dengan perdebatannya? Menurut Taufiq, perdebatan sengit terjadi pada album Djanger Bali karya Tony Scott and The Indonesia All-Stars. Apakah Djanger Bali album Indonesia? Lalu dibandingkan dengan Bubi Chen and His Fabulous 5.
"Dua itu bersaing. Walaupun dengan mudah Djanger Bali menang karena lebih kompleks, lebih well recorded dan well composed," kata Taufiq.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalan selanjutnya apakah Djanger Bali adalah album Indonesia. Para juri sepakat bahwa itu album Indonesia. Argumennya, kecuali Tony Scott, semua musisi di dalam album itu warga Indonesia.
Dengan waktu dua tahun sembilan bulan hingga akhirnya buku tersebut terbit, sudah puaskah Taufiq dengan buku tersebut? Menurut dia, puas.
Ketika ditanya jika ada cetakan kedua apa yang akan ditambahkan? Taufiq menjawab, "Mungkin ganti urutan. Sekar Mayang mestinya di atas Guruh Gipsy."
Beralih ke Harlan. Ketika ditanya apakah ada yang paling disayangkan tidak masuk daftar hingga dia pengin bikin daftar sendiri, Harlan menjawab, "Secara umum, daftar itu cukup merepresentasikan selera saya. Tapi, kalau misal bikin daftar sendiri ya. Jangan-jangan saya bisa berdebat dengan diri saya sendiri saking tipis-tipisnya."
Harlan mencontohkan Plastik apakah album kedua atau ketiga, Dengarkan Pada Saat Tenang. January Christy apakah album Melayang atau Mana?. Dan terakhir, album Matraman milik The Upstairs.
Secara keseluruhan, buku ini ibarat kawan lama yang datang bercerita. Mulai yang serius sampai hal kecil remeh temeh yang bikin terharu maupun tersenyum. Tengok cerita Harlan mendapatkan kaset Kantata Takwa album Kantata Takwa. Meski mendapatkan tiket untuk menonton konser Kantata Takwa di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada 1990, dia batal hadir. Mungkin saja kamu pernah merasakan pengalaman serupa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti kata Watt soal History Lesson - Part II yang ditulisnya. "Kamu bisa jadi kami, ini bisa jadi kamu. Kami tidak begitu beda dengan kamu."