Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

gaya-hidup

Apa Itu Doom Spending yang Dilakukan Gen Z dan Milenial?

Masyarakat lakukan doom spending untuk menghadapi stres, kecemasan, atau kekhawatiran banyak dilakukan Gen Z dan milenial.

2 Oktober 2024 | 11.17 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Dalam situasi ketidakpastian ekonomi, perilaku doom spending atau pengeluaran berlebihan akibat stres dan kecemasan sering terjadi. Fenomena ini melibatkan pengeluaran impulsif untuk barang-barang yang tidak diperlukan sebagai pelarian dari kekhawatiran, meskipun kondisi keuangan tidak mendukung. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dilansir dari Psychology Today, Hal ini tampak berlawanan dengan intuisi, seperti yang ditunjukkan oleh survei terbaru dari Qualtrics dan Intuit Credit Karma, di mana 27 persen responden mengaku mengeluarkan uang untuk hal yang tidak diinginkan, dan 32 persen mengambil lebih banyak utang dalam enam bulan terakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tahun 2023 telah ditandai oleh berbagai krisis, mulai dari ketidakstabilan ekonomi hingga perubahan iklim dan ketidakpastian politik. Semua ini berkontribusi pada kecemasan banyak orang, terutama generasi muda seperti milenial dan Gen Z. Sebagai respons, mereka mengalihkan perasaan cemas tersebut dengan berbelanja sebagai upaya untuk meredakan tekanan emosional, meskipun hal ini bisa membawa dampak buruk pada kondisi keuangan pribadi.

Namun, pengeluaran untuk bencana hanyalah sebuah teori yang mungkin tidak sepenuhnya menjelaskan semua statistik di atas. Fokus pada pengeluaran untuk bencana bisa jadi hanya cara lain untuk menyalahkan konsumen atas pengetatan ekonomi yang, pada akhirnya, berada di luar kendali mereka. Misalnya, survei Credit Karma menunjukkan bahwa 47 persen orang Amerika melaporkan bahwa jumlah tabungan mereka menurun dalam enam bulan terakhir, dengan 52 persen memiliki tabungan kurang dari $2.000, termasuk 22% yang tidak memiliki tabungan sama sekali.

Artikel dari Credit Karma mengaitkan pengeluaran untuk barang-barang yang tidak penting dengan dampak dari kebiasaan konsumsi ini. Namun, bisa jadi faktor-faktor yang lebih mendasar memicu pengeluaran tersebut. Jika ini benar, ini bukan pertama kalinya kita melihat konsep tren mengaburkan penyebab sebenarnya di balik ketidakstabilan ekonomi.

Meningkatnya fokus pada kegagalan karyawan untuk kembali sepenuhnya ke kantor menciptakan istilah "coffee badging," meskipun kemudian diketahui bahwa seperempat eksekutif C-suite berharap karyawan mereka berhenti karena terpaksa kembali ke kantor.

Perilaku ini mirip dengan mencoba menyelesaikan masalah kekurangan uang dengan membelanjakan lebih banyak uang, yang justru memperburuk situasi. Contoh yang nyata adalah konsumsi massal yang terjadi saat Black Friday dan Cyber Monday, di mana pengeluaran mencapai rekor tertinggi meskipun kekhawatiran akan inflasi meningkat.

Doom spending seringkali memberikan kepuasan instan, tetapi efeknya jangka panjangnya justru dapat memperburuk masalah keuangan. Pengeluaran berlebihan, terutama untuk hal-hal yang tidak diperlukan, dapat meningkatkan utang dan mempersempit ruang gerak finansial seseorang. Lebih jauh, ketergantungan pada pengeluaran sebagai mekanisme koping emosional bisa menyebabkan lingkaran setan, di mana semakin banyak pengeluaran, semakin besar pula tekanan finansial yang dirasakan.

Dalam konteks yang sama, fenomena "berhenti dengan tenang" muncul, di mana karyawan melakukan tugas minimum untuk mengatasi stres. Meskipun istilah ini memiliki konotasi negatif, banyak perdebatan tentang apakah hal itu harus dianggap sebagai kegagalan moral karyawan atau langkah menuju keseimbangan kerja-kehidupan yang lebih baik.

Sebagai solusi, banyak ahli merekomendasikan untuk beralih dari "doom spending" ke "doom saving." Alih-alih mengeluarkan uang untuk barang-barang yang mungkin hanya memberikan kenyamanan sementara, Anda bisa memilih untuk menyimpan uang atau melakukan aktivitas yang tidak memerlukan biaya besar. Beberapa alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi stres tanpa belanja berlebihan antara lain:

1. Berjalan-jalan di alam: Menghabiskan waktu di alam dapat menenangkan pikiran dan membantu meredakan kecemasan.

2. Menjauhi perangkat elektronik dan media sosial: Media sosial seringkali menambah tekanan sosial untuk berbelanja, sehingga mengambil jeda dari dunia digital bisa bermanfaat.

3. Berolahraga: Aktivitas fisik seperti jogging atau yoga bisa menjadi pengalih perhatian yang positif tanpa harus mengeluarkan biaya besar.

4. Meditasi dan mindfulness: Teknik meditasi dapat membantu menenangkan pikiran dan meningkatkan kesadaran diri, tanpa perlu membayar biaya mahal.

MYESHA FATINA RACHMAN  I TECH.CO  I  BLOOMBERG

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus