Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Psikolog Novi Poespita Candra mengingatkan perilaku doom spending atau belanja berlebihan bisa membahayakan kalau tidak segera disadari dan diatasi. Menurut lulusan Universitas Gadjah Mada itu, orang yang melakukan doom spending biasanya sedang stres, cemas, bosan, atau kesepian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Doom spending jika tidak disadari akan sangat berbahaya. Orang yang mengalami doom spending biasanya sedang mengalami stres, kecemasan, kebosanan, atau bahkan kesepian," jelasnya, Kamis, 10 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurutnya, orang yang belanja impulsif dan berlebihan biasanya ingin mendapatkan kebahagiaan dengan mencari kesenangan atau kepuasan sementara. Ia mungkin menjadikan kesenangan dari perilaku demikian sebagai penutup rasa sakit atau masalah yang sedang dihadapi.
Sayangnya, kondisi ini juga bisa membuat orang ingin terus melakukan tindakan-tindakan yang membuat mereka merasakan kepuasan. Karena itu, Novi menyarankan orang yang terindikasi melakukan doom spending berusaha melatih diri untuk menemukan kebahagiaan dan ketenangan dengan cara yang sehat.
"Manusia yang bahagia bukan yang selalu senang, tapi yang punya kecerdasan memaknai dengan positif setiap peristiwa, baik senang ataupun sedih," paparnya.
Cari kebahagiaan lain
Novi menjelaskan kebahagiaan bisa hadir saat melakukan atau mempelajari hal baru. Pencapaian dalam melakukan aktivitas dan kegiatan pembelajaran baru bisa menghadirkan kebahagiaan. Menurutnya, interaksi dan hubungan baik dengan keluarga dan teman serta kegiatan sosial juga bisa mendatangkan kebahagiaan. Kesenangan dan kepuasan yang hadir secara alami melalui kegiatan-kegiatan semacam itu akan lebih bermakna.
"Jika manusia bisa menemukan kebahagiaan sejati dengan kesadaran diri maka ia tidak akan mencari kesenangan dengan cara mengejar kehedonan dengan dopamine hit," ujar Novi.
Dopamin adalah neurotransmitter yang mengirimkan pesan antarsel saraf. Peran senyawa kimia ini dalam fungsi otak mencakup kontrol gerakan, emosi, pembelajaran, memori, dan penyelesaian masalah. Kadar dopamin yang tinggi dapat menyebabkan kesulitan dalam mengendalikan impuls. Akibatnya, orang mungkin mengambil tindakan yang kemudian disesali atau melakukan tindakan agresif.
Sementara itu, psikolog klinis lulusan Universitas Indonesia, Kasandra Putranto, mengatakan tampilan iklan dan konten di platform media sosial dapat memicu perilaku konsumtif. "Platform e-commerce dan iklan digital dapat mendorong konsumerisme digital," katanya.
Dia mengatakan perlunya mengenali pemicu emosional yang membuat orang belanja secara impulsif dan berlebihan, termasuk membeli barang atau jasa yang sebenarnya tidak diperlukan. Untuk mencegah perilaku belanja yang impulsif dan berlebihan orang juga perlu menetapkan batasan dan prioritas pengeluaran serta mencari cara untuk mengelola stres dan emosi.
"Tetapkan batasan pengeluaran berdasarkan prioritas dan pastikan memiliki dana darurat untuk menghadapi situasi yang tidak terduga. Cari bantuan profesional jika merasa tidak bisa mengelola stres dan emosi diri sendiri," sarannya.
Pilihan Editor: Apa Itu Doom Spending yang Dilakukan Gen Z dan Milenial?