Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kopi luwak merupakan salah satu jenis kopi yang cukup dikenal karena memiliki ciri khas yang unik. Kopi yang dibuat melalui proses pencernaan musang ini memiliki rasa dan aroma khas tersendiri yang membedaknnya dengan kopi jenis lain. Proses fermentasi di dalam pencernaan hewan sejenis musang atau yang biasa disebut dengan hewan luwak.
Tak hanya dikenal dengan cita rasa dan aromanya yang khas kopi luwak juga dinilai lebih rendah protein. Dari sisi harga kopi luak memiliki harga lebih mahal dibanding kopi pada umumnya. Bahkan harga per kilogramnya dapat mencapai Rp 10 juta. Alhasil, kopi luwak punya pasar tersendiri.
Popularitas kopi luwak di pasar global meningkat setelah munculnya film The Bucket List. Dalam film itu ada dialog yang menjelaskan tentang kopi luwak dan proses pembuatannya. Kopi luwak pun semakin mendunia.
Meskipun dikenal sebagai salah satu kopi terbaik di dunia, bagi sebagian kalangan penyayang binatang, kopi luwak dianggap kontroversial. Ada yang menganggap proses pembuatan kopi luwak telah memaksa musang untuk terus makan biji kopi. Bahkan, kritik datang karena peternak dianggap terlalu sering menangkap luwak dari alam dan mengurungnya dalam kandang sempit.
Meskipun kopi luwak memiliki potensi yang sangat bagus di pasaran, namun proses produksi kopi ini juga memiliki kendala-kendala. Pertama dari segi biaya. Kopi luwak dihasilkan dari hewan jenis musang yang biasanya sering memakan buah kopi di Perkebunan milik warga. Untuk memproduksi kopi luwak maka pengusaha kopi luwak harus memelihara luwak sendiri.
Biaya pemeliharaan luwak dalam satu bulan dapat mencapai Rp 1,7 juta per ekornya. Ongkos produksi yang mahal tersebut digunakan untuk menyediakan berbagai makanan di antaranya susu, madu, ayam, ikan, dan buah-buahan, sedangkan biji kopi hanya menjadi cemilan di awal malam. Pemeliharaan luwak oleh para produsen kopi luwak ini juga dilakukan karena kualitas kopi yang dihasilkan dari hewan luwak liar juga tidak lebih baik dari luwak peliharaan.
Setelah mempelajari berbagai kendala para peternak kopi luwak, peneliti dari Institut Pertanian Bogor, Erliza Noor melakukan riset selama bertahun-tahun hingga berhasil menciptakan cara membuat kopi luwak tanpa harus melewati proses pencernaan di dalam tubuh luwak.
Dilansir dari uma.ac.id, penciptaan kopi luwak tanpa luwak yang dilakukan oleh Erliza memanfaatkan bakteri dalam kotoran luwak yang telah diisolasi. Bakteri tersebut tidak bersifat patogen, di antaranya bakteri tersebut, yaitu penghancur protein; selulolitik, penghancur selulosa; dan xilanolitik, dan penghancur hemiselulosa. Melansir dari laman Universitas Medan Area Erliza membuat kopi luwak dengan mempelajari dan meniru proses fermentasi enzimatis yang terjadi pada pencernaan luwak.
Proses fermentasi dilakukan dengan bakteri yang telah diisolasi dari pencernaan luwak. Kulit buah kopi dijadikan sebagai tempat perkembangan mikroba dan dari proses itu menghasilkan enzim yang berfungsi mengganti komponen kimia biji kopi. Setelah melewati proses fermentasi bij kopi diproses seperti kopi pada umumnya, dengan dikeringkan lalu disangrai.
Dari hasil uji rasa yang dilakukan oleh Q Greader atau pencicip kopi tersertifikasi rasa kopi luwak fermentasi lebih unggul dibanding dengan kopi luwak yang melalui proses pencernaan di tubuh luwak. Selain itu, keunggulan kopi luwak tiruan ini dapat merekayasa rasa kopi agar punya kekuatan sesuai selera konsumen.
Proses penelitian yang telah dilakukan oleh Erliza memakan biaya sekitar Rp 190 juta. Namun, biaya penelitian yang dihabiskan setimpal dengan hasil yang didapatkan. Dengan metode yang ia kembangkan ongkos produksi kopi luwak dapat ditekan hingga 50 persen. Produski kopi luwak tanpa luwak dapat menjadi salah satu solusi di tengah permintaan kopi luwak yang tinggi.
Ahmad Rafiq dan Anwar Siswadi berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan Editor: Pameran Foto Cerita Perjalanan Kopi Nusantara Dibuka Hari Ini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini