Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tragedi Kanjuruhan menyisakan duka mendalam bagi rakyat Indonesia. Psikolog klinis forensik dari Universitas Indonesia (UI), Kasandra Putranto, menjelaskan perlunya memberikan pemahaman mengenai rivalitas yang sehat sejak dini untuk menciptakan suasana pertandingan olahraga yang kondusif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Harus ada pendidikan sejak dini," ujar Kasandra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemahaman terkait rivalitas yang sehat untuk level suporter artinya tidak hanya mendukung ketika sebuah tim olahraga memenangkan pertandingan saja namun juga tim yang didukung mengalami kekalahan, itu juga harus diterima. Hal itu disampaikan Kasandra terkait tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang usai klub sepakbola Arema Malang mengalami kekalahan dari Persebaya, 1 Oktober 2022, di mana terjadi ketidakpuasan hasil akhir yang memicu reaksi suporter.
Sosiolog dari UI, Ida Ruwaida, juga berpendapat serupa. Salah satu cara untuk mencegah kembali terulangnya insiden serupa diperlukan edukasi yang tepat kepada para pecinta olahraga mengenai sportivitas dan rivalitas sehat.
"Memang perlu edukasi dan penyadaran kepada para suporter, panitia, maupun pihak-pihak terkait. Hal ini harus dilakukan secara berlapis, sistematis, dan intens, termasuk melibatkan berbagai kalangan seperti sekolah, pemuka agama, media, hingga peer groups. Hal ini mengingat latar belakang suporter juga beragam, baik dari usia, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, serta area tinggal," ujar Ida.
Evaluasi tuntas
Terkait tragedi Kanjuruhan, baik Kasandra dan Ida pun sepakat tidak hanya dari segi suporter yang perlu dievaluasi tapi juga pihak penyelenggara hingga petugas keamanan. Kasandra berpendapat evaluasi bisa dimulai dari pihak panitia penyelenggara yang tidak mengikuti prosedur operasi standar (SOP), mulai dari jumlah tiket yang dicetak melebihi kapasitas hingga waktu pertandingan yang terlalu malam.
Selain itu, dari segi petugas keamanan evaluasi bisa dilakukan terkait dengan penggunaan gas air mata serta cara penanganan yang berakhir tidak mampu membendung massa. Sementara Ida berpendapat dari segi penyelenggara seharusnya evaluasi dalam tragedi Kanjuruhan juga memperhitungkan aspek psikologis massa. Mereka sepakat faktor-faktor di atas perlu diperhitungkan dan tentunya dibutuhkan konsekuensi hukum agar kejadian serupa tidak terulang.
"Seharusnya ada pembelajaran sosial yang mahal bagi siapa pun penyelenggara kegiatan yang memobilisasi atau melibatkan massa besar dari kejadian ini," tutur Ida.
Tragedi Kanjuruhan bermula dari kericuhan yang terjadi setelah pertandingan Liga I antara Arema FC melawan Persebaya berakhir dengan skor 2-3. Kekalahan yang terjadi di kandang Arema itu membuat sejumlah suporter masuk ke dalam area lapangan. Kondisi semakin ricuh setelah sejumlah benda-benda seperti flare dan botol minum dilemparkan ke arah lapangan.
Petugas keamanan sebenarnya sudah berusaha menghalau agar para suporter tidak memanas. Di tengah kondisi itu, petugas akhirnya melakukan tembakan gas air mata dan kondisi justru semakin memanas sehingga menelan banyak korban jiwa.