Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Penelitian terbaru menemukan puasa intermiten bisa membantu menyembuhkan kerusakan saraf. Penelitian yang dilakukan Imperial College London ini mencoba menggali kaitan puasa intermiten (intermittent fasting/IF) dan kerusakan saraf. Studi ini kemudian diterbitkan dalam jurnal Nature.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Puasa intermiten sebelumnya telah dikaitkan oleh penelitian lain dengan perbaikan luka dan pertumbuhan neuron baru, tetapi penelitian kami adalah yang pertama menjelaskan dengan tepat bagaimana puasa dapat membantu menyembuhkan saraf,” kata penulis studi Simone Di Giovanni dari Departemen Ilmu Otak Imperial College London, dikutip dari Neuroscience News, Senin, 27 Juni 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Di Giovanni, tidak ada pengobatan yang efektif untuk kerusakan saraf selain rekonstruksi bedah. Ini pun hanya efektif dalam persentase kecil. Hal inilah yang mendorong peneliti menyelidiki apakah puasa intermiten bisa membantu pemulihan.
Para peneliti lantas mengamati bagaimana puasa intermiten membuat bakteri usus tikus meningkatkan produksi metabolit yang dikenal sebagai 3-Indolepropionic acid (IPA). IPA diperlukan untuk regenerasi serabut saraf (akson) yang bertugas mengirimkan elektrokimia atau sinyal ke sel lain dalam tubuh.
Meski dilakukan pada tikus, penelitian ini diharapkan bisa berlaku untuk percobaan manusia di masa depan. Tim peneliti menyatakan bakteri yang menghasilkan IPA, Clostridium sporogenesis, juga ditemukan secara alami di usus dan aliran darah manusia.
Penelitian ini menilai regenerasi saraf tikus bernama ‘saraf skiatik’, saraf terpanjang dari tulang belakang ke bawah kaki yang dihancurkan. Sementara itu, setengah dari tikus menjalani puasa intermiten (dengan makan sebanyak yang mereka suka diikuti dengan tidak makan sama sekali pada hari-hari alternatif).
Sedangkan setengah tikus lainnya bebas makan tanpa batasan sama sekali. Diet ini berlanjut selama 10 atau 30 hari sebelum operasi mereka dan pemulihan tikus dipantau 24-72 jam setelah saraf terputus.
Panjang akson yang tumbuh kembali diukur dan sekitar 50 persen lebih besar pada tikus yang telah berpuasa. Puasa intermiten ternyata bisa mengubah bakteri usus pada tikus sehingga memfasilitasi peningkatan kemampuan saraf rusak untuk pulih.
“Saya pikir kekuatan (penelitian) ini membuka bidang baru di mana kita harus bertanya-tanya, apakah ini puncak gunung es? Apakah akan ada bakteri lain atau metabolit bakteri yang dapat mendorong perbaikan?” ujar profesor Ilmu Otak ini.
Selain itu, para peneliti juga mempelajari bagaimana puasa intermiten menyebabkan regenerasi saraf ini. Mereka menemukan, ada tingkat metabolit spesifik yang secara signifikan lebih tinggi, termasuk IPA, dalam darah tikus yang dibatasi dietnya.
Tikus lantas diobati dengan antibiotik guna membersihkan usus mereka dari bakteri untuk mengonfirmasi apakah IPA menyebabkan perbaikan saraf. Tikus itu kemudian diberi strain sporogenesis Clostridium yang dimodifikasi secara genetik sehingga bisa atau tidak bisa menghasilkan IPA.
Ketika IPA tidak bisa diproduksi oleh bakteri ini dan hampir tidak ada dalam serum, regenerasi terganggu. Ini menunjukkan IPA yang dihasilkan memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dan meregenerasi saraf yang rusak.
AMELIA RAHIMA SARI
Baca juga: Apa Itu Intermittent Fasting?