Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Alasan Peneliti FK Unpad Tak Anjurkan Puasa Intermiten untuk Jaga Pola Makan

Peneliti mengingatkan masyarakat berhati-hati dan tidak sembarangan menerapkan konsep puasa intermiten untuk menjaga pola makan, ini alasannya.

12 November 2024 | 10.27 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi diet intermitten fasting. Freepik.com/user14908974

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu tren yang tengah populer dilakukan untuk mencegah obesitas dan memperbaiki gaya hidup adalah puasa intermiten yang dilakukan dengan membatasi waktu makan agar tidak terus-menerus mengonsumsi makanan. Namun, peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, Gaga Irawan Nugraha, mengingatkan masyarakat agar berhati-hati dan tidak sembarangan menerapkan konsep puasa intermiten untuk menjaga pola makan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaga menyebut puasa intermiten pasti mengubah pola dan kebiasaan makan secara drastis dan dapat menyebabkan tingginya asam lambung. Namun, dia menegaskan yang penting dari pola makan bukan hanya kebiasaan waktu makan tapi juga komposisi makanan yang dikonsumsi harus bergizi lengkap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Saya tidak menyarankan intermittent fasting. Lebih baik perbaiki makan yang teratur dengan komposisi yang balanced," ujar Gaga.

Menurutnya, ada beberapa kekeliruan utama di masyarakat yang berkaitan dengan gaya hidup tidak sehat yang menjadi faktor pemicu risiko penyakit jantung. Pertama, orang-orang yang tidak makan pagi lebih berpotensi terkena obesitas atau diabetes. Pasalnya, sarapan menjadi salah satu waktu paling penting untuk mengisi tubuh dengan makanan. 

Bahaya tidak sarapan
Gaga mengatakan ketika orang tidak sarapan maka otak akan tetap memberikan sensor lapar dan menyebabkan makan tidak teratur pada siang, sore, dan malam hari. Tidak teraturnya pola makan menyebabkan otak mengirim sinyal lapar dan kenyang yang tidak teratur sehingga akan terus merasa lapar.

"Inilah yang seringkali disebut bahwa orang lapar terus-terusan karena pola makan yang tidak teratur sehingga sinyal laparnya tidak jelas," ucap Gaga.

Selain itu, konsumsi makanan tinggi karbohidrat sederhana seperti gula dan tepung juga harus dikurangi apabila ingin memperbaiki pola makan dan mencegah obesitas. Untuk menjaga tubuh dari gejala sindrom metabolik, Gaga mengatakan olahraga rutin dan teratur menjadi cara untuk menjaga berat badan.

Durasi yang disarankan sedikitnya 150 menit olahraga ringan dan sedang serta 75 menit intensitas berat dalam satu minggu yang cukup untuk menjaga kondisi badan tetap ideal. Pasalnya, ketika berolahraga maka tubuh akan menggunakan timbunan lemak sebagai sumber energi. Gula-gula yang menumpuk di dalam tubuh juga bisa digunakan otot ketika berolahraga.

"Jaga pola makan dan komposisi makanan yang baik untuk menerapkan gaya hidup sehat agar terbebas dari sindrom metabolik yang menyebabkan risiko penyakit jantung mematikan," tuturnya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus