Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Beta rasa sudah seperti anjing...

5 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teriakan itu milik Sony Suwanto Soewarlan, 26 tahun. Bujangan warga Desa Passo, Kecamatan Teluk Baguala, Ambon, ini terus berteriak sembari mengeluarkan air ludah, kejang, dan mengamuk tak keruan. Dia berteriak dan berteriak sampai sekujur tubuhnya lelah. Paru-parunya berhenti bekerja, dada sesak, tak ada lagi oksigen mengaliri darahnya. Hidup Sony pun usai. Mati.

Nyonya Soewarlan, 62 tahun, mengisahkan asal-muasal penderitaan anak bungsunya tadi dengan mata berkaca-kaca. Sony alias Sinyo adalah satu dari 12 korban penyakit rabies yang kini sedang mewabah di Ambon. "Sengsara betul kematian Sinyo," katanya mengenang.

Awal Agustus lalu, Nyonya Soewarlan menuturkan, Sinyo menyaksikan anjingnya yang sedang diikat di pagar halaman hendak diserang anjing liar. Dengan tangkas Sinyo segera mengusir dan memukul si anjing liar. Sial, jempol tangan kanannya tergigit.

Malam harinya, badan Sinyo menggigil demam. Tapi demam ini bisa diusir suntikan dan obat antibiotik yang diberikan mantri puskesmas keesokan harinya. Tak ada yang perlu dirisaukan, begitu pikir Sinyo dan ibunya.

Namun ketenangan tak berlangsung lama. Dua pekan kemudian, Sinyo mulai merasakan tangan kanannya sering kram, kepala pusing, dan dada sesak. "Dokter juga kebingungan, tak tahu apa sakitnya," kata Nyonya Soewarlan, "Padahal sudah saya jelaskan kepada dokter bahwa anak saya pernah digigit anjing dan mungkin terkena rabies." Sinyo hanya diberi resep antibiotik biasa dan obat multivitamin Neurobion.

Kondisi Sinyo pun berangsur memburuk. Minggu malam, 31 Agustus, Sinyo segera dibawa dan dirawat inap di Rumah Sakit Umum Dr. Haulusi, Ambon. Dokter tak bisa berbuat banyak. Obat penenang tak sanggup meredam amukan Sinyo. Sampai akhirnya, Selasa dini hari, 2 September, Sinyo tidak lagi bernapas. "Penderitaannya berakhir," kata Soewarlan, 68 tahun, ayah Sinyo. "Dokter tidak memberi tahu kami apa sebetulnya penyakit anak saya," kata pensiunan karyawan Dinas Peternakan Ambon itu.

Rasa penasaran Soewarlan baru terjawab pada 8 September. Ketika itu, ada bocoran informasi dari kawan yang bekerja di Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Ambon. Menurut kerabat ini, pemerintah daerah telah melakukan uji spesimen jaringan otak beberapa anjing yang ditemukan mati di kawasan Passo. Hasilnya, anjing-anjing itu terbukti positif terinfeksi Rhabdoviridae, keluarga virus penyebab rabies. "Yakinlah saya bahwa rabies juga yang menjemput Sinyo," kata Soewarlan, lelaki kelahiran Malang, Jawa Timur.

Mendapat informasi itu, dengan bergegas Soewarlan meminta Vino, 30 tahun, kakak Sinyo, menjalani suntikan vaksinasi. Memang, pada 9 September, kaki Vino digigit anjing tak bertuan yang berkeliaran di jalanan Passo. Kebetulan pula pasokan vaksin antirabies dari Departemen Kesehatan, Jakarta, sudah tiba di Puskesmas Passo. "Saya disuntik vaksin di lengan atas kiri-kanan sekali seminggu selama tiga kali," kata Vino.

Kini Vino memang relatif sehat. Dia tidak mengalami kejang-kejang, pusing, atau sesak napas seperti yang terjadi pada adiknya. Tapi tak urung Vino khawatir. "Saya merasa trauma, ngeri membayangkan nasib Sinyo," kata Vino, "Saya juga khawatir, jangan-jangan vaksin ini ada efek sampingnya."

Memang, sebagaimana lazimnya obat, vaksin rabies punya efek samping. Pertama kali vaksin ini dikembangkan Louis Pasteur, 1885, dan diambil dari virus Rhabdoviridae yang telah dilemahkan. Pada saat itu tercatat banyak kasus meningitis atau radang selaput otak setelah penyuntikan vaksin antirabies. "Tapi itu dulu, vaksin model lama," kata Dokter Mangkoesitepu, mantan peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI.

Kini vaksin antirabies telah mengalami banyak penyempurnaan. Melalui teknologi rekayasa genetika, vaksin rabies jauh lebih aman. Efek sampingnya tetap ada, yakni demam sebagai tanda tubuh bereaksi membentuk antibodi melawan virus.

Kendati tidak bersifat kuratif atau menyembuhkan, vaksin itu cukup efektif mencegah virus rabies beredar lebih jauh menjangkau otak. Walhasil, kerusakan yang timbul diharapkan tidak kelewat parah. Kawanan virus diisolasi hanya pada tempat gigitan anjing. Lalu, seiring dengan meningkatnya ketahanan tubuh, pelahan-lahan virus akan terbasmi sampai tuntas.

Hanya, Mangkoe mengingatkan, khasiat vaksin hanya efektif jika vaksinasi dilakukan secepat mungkin, idealnya 24-48 jam setelah korban digigit anjing. Jika tidak, kemungkinan besar virus sudah berlenggang menuju otak. Bila ini terjadi, apa boleh buat, belum ada obat jitu yang bisa menyembuhkan. Yang bisa dilakukan cuma menunggu saat kematian datang dengan begitu pedih.

Mardiyah Chamim (Ambon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus