Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kolonganing kaluwung
Prabanira kuning, abang, biru
Sumurupa iku mung soroting warih
Wewarahe para Rasul
Dudu jatining Hyang Manon
Supaya padha emut
Amawasa benjang jroning tahun
Windu kuning kono ana wewe putih
Gegamane tebu wulung
Harsa angrabaseng wedhon
(Sabda Tama : 14, 15)
(Berbicara tentang masalah pelangi/ yang vibrasinya kuning, merah dan biru/hanyalah pantulan air/ yang menurut ajaran para Rasul/ bukan sejatinya Yang Ilahi. Harap diingat dan waspada/ ketika windu kencana tiba/ di situlah orang-orang yang patuh/ bertekad bulat memelihara wulang-wulang adiluhung/ sambil melenyapkan hantu-hantu "Tuhan-tuhan").
Pada umumnya orang memandang ajaran ning-rat identik dengan paham feodalisme. Padahal, pada tingkat hulu, keduanya amat berbeda. Bahwa pada tingkat hilir, banyak kaum ning-rat kemudian menjadi feodalis, itu akibat lupa diri serta tidak atau kurang waspada. Ning-rat bervisi kosmologis; ning itu outside-looking-in; rat itu inside-looking-out. Sedangkan kata feodalisme berakar pada kata feud atau feudum. Artinya tanah.
Lahir melalui kolonialisme, feodalisme adalah paham yang berebut kekuasaan atas tanah. Intinya adalah "pohon" larangan surgawi, yakni "pohon" ke-aku-an (kesepihakan) Nabi Adam. Adam tak hanya mendekati pohon itu, yang membuatnya menjauh dari Allah. Dia bahkan memakan buahnya, buah ke-aku-an yang merupakan wujud rasa kepemilikan. Oleh penyair Chairil Anwar, rasa kepemilikan ini digubah menjadi syair terkenal: aku binatang jalang, dari kumpulannya terbuang.
Kosmologi Jawa mengenal sangka-kala, ilmu membaca tanda-tanda zaman dengan konotasi kandungan peristiwa yang terjadi di dalamnya. Umpama, transformasi kosmologi Jawa di sekitar awal era Demak berkenaan dengan hilangnya sesuatu. Yakni Sirna (0) Ilang (0), Kertaning (4) Bumi (1)yang mengacu ke tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Lebih jauh lagi, masyarakat Jawa mengenal legenda moksa-nya (pelepasan sukma) Sabda-Palon dan bahwa dia akan muncul kembali 500 tahun kemudian.
Sabda berarti kata atau logos, palon berarti kosmos. Sehingga kembalinya Sabda-Palon berarti akan tercapainya harmoni baru. Berita moksanya Sabda Palon menjadi tema utama wacana para dalang pada saat goro-goro (jeda dalam pentas pewayangan tatkala dalang menyampaikan pesan-pesan tertentu): kali ilang kedhunge ("sungai kehidupan" menjadi dangkal) pasar ilang kumandhange (pasar kehilangan gemanya), wong wadon ilang wirange (wanita kehilangan harkat keperempuanannya).
Lalu, apa yang terjadi pada tahun 1978500 tahun setelah Sabda-Palon moksa? Ditetapkannya GBHN serta dihayatinya Pancasila. Umumnya berhubungan dengan sila Ketuhanan. Sayang, kedua hal itu hanya berhenti pada level proyek. Padahal Ketuhanan Yang Maha Esa bisa berkonotasi melihat, mendengar karena Allahbahkan Allah berkenan menjadi mata untuk melihat, telinga untuk mendengar.
Hal demikian tentu sulit dan langka pada tataran perseorangan. Kini orang kian individualistis, materialistis, hedonistis, dan teroristis. Tetapi pada tataran kenegaraan hal itu bahkan amat mungkin, asal saja kepala negaranya benar-benar sujud. Pekan-pekan lalu, penguasa Kasuhunan Surakarta Pakubuwono XII menghadiahkan anugerah kepangeranan bagi sejumlah politikus. Ada Abdurrahman Wahid, Akbar Tandjung, Amien Rais, Wiranto, Setyawan Djody, A.M. Fatwa.
Semua ini tentu bukan dalam rangka (neo)-feodalisme. Melainkan upaya baru sebuah "prosesi" jumenengan. Dalam filsafat Jawa, jumeneng bukan hanya berarti tegak berdiri. Tapi juga bermakna berlindung dalam payung asmaul husna, nama Allah. Kalau demikian, di samping gelar kanjeng pangeran, seharusnya nama mereka juga luluh ke dalam kosmologi Jawa sesuai dengan pedoman derivasi nama Allah. Pedoman ini terkandung dalam payung kebesaran penguasa Keraton Solo atau Keraton Yogyayang memang berjari-jari 99, lambang nama-nama Allah.
Dalam kisah pewayangan kita mengenal Pandawa yang langsung bertapa setelah menjelang turunnya wahyu cakraningrat. Sebaliknya, pihak Kurawa malah membuka pasar malam. Bagaimana dengan Indonesia di masa kini? Jika terus-menerus tenggelam dalam keasyikan kampanye yang semata-mata hanya memobilisasi massa, kita tak akan mampu menjadi Kurawa alih-alih menjadi Pandawa.
Marilah kita kembalikan kampanye ini sebagai sebuah tapa ngrame (dalam konteks ini: tapa para kesatria yang membawa misi tertentu). Jika koreksi terhadap perilaku tidak kita lakukan segera, Buta Cakil (tokoh wayang perlambang keserakahan) akan tampil bersamaan dengan meditasinya Sang Herjunaseorang tokoh yang belum dapat dibukakan identitasnya kepada publik saat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo