PERISTIWA penahanan dr. Rachmat Santosa (TEMPO, 21 Januari la?8)
naik ke tingkat IDI Jaya. Soalnya bukan cuma penahanan dan
"suntikan maut" tok. Tapi yang lebih esensiil, menurut Ketua IDI
Jaya, dr. Kartono Mohamad, bahwa peristiwa tersebut harus
didekati "dari sikap kritis seorang pasien terhadap pelayanan
kesehatan."
Dengan sikap positif itu Kamis pekan lalu, sebuah delegasi IDI
Jaya yang terdiri atas dr. Kartono, dr. JMV Suwarto dan dr.
Asrul Azwar telah menemui Buyung Nasution di kantornya Jalan
Haji Juanda III. Mengapa IDI Jaya tidak mencari penasehat hukum
lain, mudat diduga. "Karena," seperti kata dr. Kartono pada
TEMPO, "Buyung di samping seorang ahli hukum, juga seorang
pejuang hak-hak asasi manusia. Dia sangat peka terhadap
perkembangan masyarakat."
Dalam pertemuan itu baik Buyung maupun IDI sama berpendapat
pasien sebagai konsumen dan dokter sebagai pemberi jasa harus
mendapat perlindungan hukum yang sama. Mereka sepakat juga
untuk bekerjasama mengembangkan kesadaran hukum ini. "Tapi,"
tanya Asrul Azwar, "apakah hubungan pasien dan dokter itu
semacam kontrak jual-beli?"
"Saya cenderung untuk mengatakan begitu," jawab Buyung yang
mengingatkan orang memberi tiket kereta api. "Orang itu membayar
sejumlah harga untuk mendapatkan jasa yang mengangkut orang itu
ke suatu tempat yang dituju." Tapi di sini tentu saja tidak
menyangkut jiwa orang seperti hubungan orang sakit yang membayar
untuk mendapatkan penyembuhan dari dokter.
Tampaknya baik pihak IDI maupun Buyung belum dapat beranjak
lebih jauh dari hal-hal yang bersifat etis. Oleh karena itu
Buyung menyarankan kepada IDI untuk mensuplainya dengan data
yang menyangkut profesi kedokteran di Indonesia, sementara itu
dia juga akan berhubungan dengan rekan-rekannya di luar negeri
untuk memperoleh data dari dokter di sana. Setelah itu pertemuan
serupa akan diadakan lagi dengan harapan hasil yang lebih
konkrit dapat dicapai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini