SEKALI lagi TEMPO tanggal 21 Januari 1978 dan Kompas tanggal 20
Januari 1978 telah membawakan persoalan "suntikan maut" yang
dialami seorang anak umur 10 tahun yang sebelumnya telah sakit
parah karena dikeroyok kawan-kawannya. Terlepas daripada benar
tidaknya anak ini meningal karena suntikan si dokter,
pertanyaan tentang apakah dokter selalu harus menyuntik
penderita, menarik untuk dibahas.
Sebagaimana sudah sering dikemukakan dalam majalah profesi
maupun mass media, semua obat memiliki efek yang tidak kita
kehendaki. Istilahnya efek samping. Efek samping ini terdapat
pada hampir semua obat, yang satu lebih berat dari yang lain dan
yang satu lebih sering daripada yang lain. Ia bisa bersifat
enteng sekali dan tidak mengganggu penderita terlalu banyak,
tetapi bisa juga fatal.
Karena frekwensi daripada efek samping tersebut mempunyai
incidence rate, maka semakin banyak sesuatu obat tertentu
digunakan, denan sendirinya jumlah absolut daripada kejadian
efek samping akan meningkat. Bila seandainya efek samping
terjadi pada 1% penderita yang diberi penisilin, maka ini
berarti bahwa dari setiap 100 orang yang diberi penisilin satu
orang akan mengalami efek samping. Tetapi bila 1000 orang
menerima obat tersebut, maka seluruhnya akan terdapat 10 korban.
Nah, dari 1% kejadian efek samping penisilin mungkin 0,02%
bersifat berbahaya dan kira-kira 0,002% berakhir dengan
kematian. Sehingga dari 50.000 penderita yang menerima
penisilin, satu orang akan mati. Angka-angka tersebut di atas
merupakan perkiraan dari perpustakaan barat. Ini mungkin
merupakan kemungkinan yang cukup kecil jika dilihat dari segi
statistik. Tetapi bila jumlah yang sedikit ini menyangkut
sanak-keluarga sendiri, ia merupakan pengorbanan yang amat
besar.
Efek samping yang berakhir dengan kematian lebih sering
disebabkan karena obat suntik daripada obat-obatan yang dimakan.
Walaupun penisilin merupakan penyebab yang paling sering, namun
semua obat suntik mungkin menimbulkan efek samping berbahaya,
termasuk yang anda kira tidak apa-apa, seperti vitamin. Sekarang
timbul pertanyaan, apakah memang perlu dokter selalu menyuntik
penderita? Dengan pendek dapat dijawab: tidak.
Dari setiap obat suntik biasanya tersedia formulasi untuk yang
dimakan, walaupun tidak untuk semuanya. Karena itu, obat hanya
perlu disuntik dalam keadaan tertentu. Seperti pada keadaan
penderita gawat, di mana suntikan akan menolong jiwanya.
Kemudian obat tersebut diperlukan dan tidak ada bentuk formulasi
yang dimakan, karena kalaupun diberikan mungkin dirusak oleh
lambung. Inilah kriteria dasar dan selebihnya tentu dokter
mempunyai berbagai alasan untuk menyuntik atau tidak.
Setiap kasus tentu perlu dipertimbangkan dengan masak tetapi
salah satu dasar yang dipakai dokter ialah bahwa penyuntikan
dikerjakan atas permintaan penderita, yang kadang-kadang
bersifat penuntutan. Bila ini terjadi maka dokter dipaksa, dan
dengan dalih bahwa pasiennya tidak akan kembali bila tidak
disuntik, maka iapun akan mencoblos setiap penderita.
Dari uraian di atas jelas, bahwa semakin banyak penderita
diekspose terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan oleh suntikan
semakin banyak penderita yang mengalami efek samping dan anda
sebagai pasien hanya menunggu giliran maut yang telah ditetapkan
oleh incidence rate dari efek samping tersebut. Karena banyak
penderita telah meninggal akibat suntikan - entah berapa - maka
saya hendak menyerukan pada masyarakat untuk tidak selalu
menuntut disuntik.
Biarlah dokter yang menentukan apakah penyakit anda perlu obat
suntik. Karena dalam pertimbangan ilmiah tidak banyak keadaan
yang memerlukan tindakan seperti itu. Kebanyakan obat yang
dimakan, hanya berbeda kerjanya dalam waktu kira-kira 1-2 jam
lebih lambat dari obat suntik. Apalah artinya 1-2 jam,
dibandingkan kematian yang harus anda pertaruhkan dengan sebuah
jarum.
dr Iwan Darmansjah
Bagian Farmakologi FKUI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini