Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Tabir yang menutupi etalase kaca bertuliskan “Kari Ayam Kari Lam” baru saja dibuka pagi itu, Senin, 5 Februari 2018. Akiong buru-buru berganti kemeja ketika mendapati para pelanggan mulai menyambangi warung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Sebentar ya, saya baru datang,” katanya kepada dua orang yang sudah duduk di sisi kiri ruangan berukuran sekitar 100 meter persegi ini. Pria inilah pemilik warung Kari Lam legendaris di Gang Gloria, Glodok, Jakarta, tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sebenarnya jam belum menunjukkan genap pukul 09.00—jam buka warung tersebut. Tapi para pelanggan sudah berdatangan.
Sejurus kemudian, laki-laki berwajah peranakan itu sudah sibuk menyuwir-nyuwir daging ayam kampung sembari menyisir bihun. “Ya, namanya juga bisnis, kadang-kadang warung belum buka sudah ada pembeli, kadang-kadang malah sampai mau tutup masih sepi,” ucapnya.Akiong sedang meracik kari ayam di warungnya, di Gang Gloria, Glodok, Jakarta, Senin, 5 Februari 2018. Tempo/Francisa Christy Rosana
Lalu, dibukalah tudung kuali kuah kari. Bersamaan dengan itu, asap membubung tinggi. Bau harum santan bercampur daging ayam yang baru masak langsung tercium.
Sambil membubuhkan bawang goreng ke semangkuk kari racikannya, Akiong bercerita tentang kedai yang konon melegenda di Jakarta itu. “Warung ini sudah ada sejak 1973 di Gang Gloria, Jakarta. Mulanya di Medan. Bapak saya yang bikin,” ujarnya.
Nama “Lam” diambil dari sapaan ayah Akiong, Alam. “Jadi Kari Lam berarti kari si Alam,” ujarnya.
Sudah tiga kali warung ini berpindah tempat. Namun masih berada di kawasan yang sama, yakni di sepanjang Gang Gloria, kawasan Pasar Glodok. Berbarengan dengan kepindahannya yang terakhir, tepatnya pada 1990-an, warung itu lantas dipegang penuh oleh Akiong.
Hingga kini, sudah tiga dekade ia menjadi kepala warung. Selama itu pula, ia merasakan perubahan yang cukup signifikan. Utamanya soal jumlah pengunjung.
“Mulai 1990-an, ramainya tak seperti tahun-tahun sebelumnya,” ucapnya. Musababnya, kala itu, warga etnis Tionghoa yang bermukim di Glodok dan sekitarnya mulai pindah ke perumahan Kelapa Gading, Serpong, dan Pantai Indah Kapuk.
Pembangunan perumahan besar-besaran oleh pengembang saat itu ternyata berdampak pada penjaja penganan sekelas Akiong. Belum lagi krisis moneter yang menyebabkan keadaan ekonomi warga sekitar merosot tajam.
Meski demikian, sampai sekarang, masih ada pelanggan yang setia mengunjungi warungnya. Mereka, tutur Akiong, rindu akan mlekoh alias rasa kuah santan racikan keluarga Cina-Medan yang sangat khas itu, tapi tidak medok dan tak bikin enek.
Kebanyakan orang yang datang pun mengaku tak menemukan tekstur spesial daging ayam kampung yang sangat empuk di tempat lain. “Menurut pengakuan pelanggan sih begitu,” katanya.
Bila tak terlampau doyan ayam, pelanggan bisa menjajal kari sapi. Bedanya hanya Rp 5.000. Jika kari ayam dijual Rp 42 ribu, kari sapi dibanderol Rp 47 ribu.
“Harga pada 2000-an memang melonjak tajam. Padahal dulu sebelum krisis moneter harganya tak sampai Rp 2.000. Ya, you hitung saja nilai tukar rupiah terhadap dolar sekarang berapa,” ucap Akiong. Meski demikian, harga tersebut rasanya sepadan dengan rasa semangkuk kari yang nikmatnya melegenda.
Alamat: Gang Gloria, Jalan Pancoran, Glodok, Jakarta Barat
Jam buka: pukul 09.00-15.30
Harga: Rp 42-47 ribu