PENGGUGURAN kandungan di Indonesia merajalela? Di bawah rubrik General Feature, 27 Agustus lalu, Reuters menguraikan soal ini panjang lebar. Di Indonesia, yang mendapat pujian internasional karena berhasil menekan peledakan penduduk, tulis kantor berita Inggris itu, "rumah sakit, dokter, dan dukun berlomba-lomba melakukan aborsi kriminal." Rata-rata, aborsi itu ditafsirkan sebagai perbuatan yang bukan dicegah -- demi keluarga berencana. Bahkan sebagian besar rumah sakit pemerintah dan klinik bersalin di Jakarta menawarkan apa yang dinamakan Menstrual Regulation Services (MR). Seorang dokter yang dikutip malah menyebutkan, "Sebutan MR cuma sebuah penyamaran, dan prakteknya, tak perlu dipertanyakan lagi, adalah pengguguran kandungan." Di tengah meluasnya masalah aborsi sebaga isu internasional, demikian Reuters, "Itu bisa membatalkan bantuan dana untuk mengatasi peledakan penduduk. Sedangkan dalam bulan ini Lembaga Amerika Serikat untuk Kemajuan Internasional memberikan bantuan untuk masalah kependudukan kepada Indonesia sebesar 20 juta dolar." Apa benar seperti ditulis Reuters itu? Di dunia ini, pelaku kriminal senantiasa ada. Dan praktek mereka selalu dilakukan diam-diam. Misalnya, Amerika Serikat (AS) bereaksi keras ketika dituduh mendalangi perdagangan bayi. Jaksa Agung Paraguay -- tetangga AS -- menyebutkan bahwa secara resmi bayi-bayi yang diselundupkan dari berbagai negara di Amerika Tengah dibunuh secara kejam di AS. Organnya diambil untuk ditransplantasikan. AS menyangkal ada praktek itu. Tapi siapa tahu kalau maling ada di mana-mana. Demikian pula, apa masuk akal menafsirkan aborsi jadi bagian dari progam KB? Sangat mungkin praktek aborsi sulit dikontrol, tetapi di Indonesia praktek ini tetap dikategorikan perbuatan melanggar hukum (menurut pasal 299 KUHP). "Semua dokter, yang tidak berjiwa kriminal, menolak permintaan aborsi yang diajukan tanpa alasan kuat," kata Prof. Djamhoer Martaadisubrata, M.S.P.H. Menurut Kepala Bagian Kebidanan RS Hasan Sadikin Bandung itu, praktek aborsi bisa saja terjadi. "Tapi ingat, abortus adalah fenomena medis," katanya. Ahli kandungan itu mengungkapkan, abortus provokatus terbagi dua: provokatus kriminalis dan provokatus medicinal. Bila terjadi pengguguran kandungan dengan alasan medis, ini dibenarkan hukum. Tujuannya menyelamatkan nyawa sang ibu. "Misalnya kondisi si ibu gawat karena penyakit jantung," kata Djamhoer. Di kalangan dokter sedunia memang terdapat sumpah dokter untuk tidak melakukan aborsi. Dasarnya ada. "Kami harus menghargai kehidupan sejak awalnya," kata dr. Sarsanto Wibisono Sarwono dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). "Tapi itu sulit menentukan kapan kehidupan dimulai pada janin." Belakangan dibentuklah patokan internasional: janin dianggap hidup apabila punya kemungkinan hidup di luar kandungan. Jika demikian, bayi yang lahir pada usia 28 minggu -- dengan patokan berat 1.000 gram -- ia masih bisa hidup walau lahir prematur. Di bawah batas ini bayi akan meninggal. "Cuma, batas ini bervariasi," kata Sarsanto. Di negara maju, ada patokan lagi: 20 minggu dengan berat 500 gram. Ini artinya pengadilan akan meluluskan permintaan aborsi bila berat janin kurang dari 500 gram dan umurnya kurang dari 20 minggu. Lewat batas itu aborsi bisa dianggap pembunuhan. Sebenarnya, aborsi bukan cuma masalah medis. Terdapat alasan sosial yang sangat kompleks. Misalnya, ada kehamilan dalam usia terlampau muda, atau kehamilan itu ketika usia terlalu tua -- dan si ibu sudah punya anak terbilang banyak. Alasan sosial inilah yang dikategorikan bervariasi, sehingga masing-masing spesifik. Dalam hal ini penilaian terhadap praktek pengguguran kandungan tak bisa dipukul rata, lalu serta-merta dicap praktek jahanam. Ninuk Widyantoro, sukarelawan yang aktif di PKBI. mengisahkan pengalamannya memberikan konsultasi aborsi. Misalnya tentang pasangan tua yang datang padanya. "Mereka telah berumur. Suaminya 50 tahun dan istrinya 45 tahun. Mereka sudah 10 tahun menikah dan punya tujuh orang anak," kata psikolog itu. Pasangan yang tinggal di Yogyakarta ini suatu ketika memutuskan berhenti mempunyai keturunan, lalu mau menjalani sterilisasi. Tapi dokter menyatakan itu tidak perlu dilakukan, karena si istri sudah menopause. Ternyata, si ibu masih menstruasi dan minta pada dokter supaya spiral kembali dipasang. Ketika diperiksa, ketahuanlah bahwa sang istri sudah hamil. Aborsi tidak bisa dilakukan di Yogya. Pasangan tua itu kemudian pergi ke Jakarta. "Apa lantas kita nggak mau tahu?" tanya Nunik. "Ibu itu sudah tua, suaminya menjelang pensiun, sementara anak mereka yang terkecil masih 10 tahun." Dari konsultasi terlihat pasangan sederhana itu tidak tahu banyak tentang reproduksi. Masuk akal kalau "kecelakaan" itu lalu terjadi. "Aborsi adalah dilema yang sekarang ini menjadi fenomena sosial," kata dr. Kartono Mohamad, anggota PKBI yang lain. "Permintaan pengguguran kandungan makin banyak, sementara pelayanan secara resmi tidak ada, dan tidak pernah dimasalahkan," katanya. Yang kemudian mengkhawatirkan karena tidak adanya praktek resmi ini praktek aborsi gelap atau yang ilegal berkembang pesat. Padahal, selain keamanannya tak terjamin, praktek ini membuka peluang pemerasan. "Saya bukannya mau menganjurkan legalisasi abortus. Itu tidak sama sekali. Tapi kita sudah perlu mencari jalan keluar," ujar Kartono. Lalu bagaimana menetapkan abortus yang sah menurut hukum dan prakteknya memenuhi kriteria tertentu? Setiap dokter, pada prinsipnya, tak akan melakukan aborsi. "Tapi sebetulnya dokter juga tahu ada risiko lain bila aborsi tak dilakukan. Dengan kata lain, latar belakang aborsi sebenarnya kompleks," kata Wakil Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) itu. Masalahnya, ujarnya, bukan cuma mcneruskan atau membatalkan kelahiran seorang anak. Tapi, bagaimana kemudian menghidupinya. Suatu keluarga punya hak untuk merencanakan masa depan bagi anak-anaknya. Karena itu, jangan menganggap kehamilan yang terpaksa sebagai keadaan yang biasa-biasa saja. "Seorang ibu yang tidak menghendaki anaknya lahir sebenarnya sudah menggugurkan anak itu secara emosional," kata Ninuk. Dan bila anak ini toh dilahirkan juga, ia akan menjadi beban mental si ibu. Di sisi lain, perkembangan jiwa seorang anak yang tak dikehendaki itu umumnya juga buruk. Mereka disisihkan, disalahkan, dan disesali. Apakah keadaan ini lebih baik dari aborsi? "Kampanye keluarga berencana telah berhasil," kata Kartono. Rata-rata masyarakat kita sudah menyadari bahwa mempunyai anak banyak adalah beban. Dan mempunyai keluarga kecil berkaitan langsung dengan kesejahteraan. Namun, berhasilnya kampanye ini tak selalu diikuti berhasilnya program pelaksanaan. Ahli kandungan dr. Biran Affandi mengemukakan contoh. Peserta KB lestari pada 1981/1982 tercatat 9.708.089 orang. Ini keberhasilan. Tapi, hasil evaluasi juga menunjukkan kegagalan kontrasepsi di tahun-tahun yang sama: mencapai 1.118.561 orang. Ini bisa dipastikan bahwa peserta KB yang gagal akan menempuh aborsi. Karena minimnya pelayanan formal, sebagian besar dengan sendirinya pergi ke praktek-praktek aborsi gelap. Farid Moeloek, dokter dari Klinik Bersalin Raden Saleh Jakarta -- organ RS Cipto Mangunkusumo - menguatkan pendapat Kartono dan Biran. Menurut dokter kandungan ini, permintaan aborsi ke Klinik Raden Saleh sangat tinggi. "Antara 300 dan 350 per minggu," katanya. Tapi yang bisa dilaksanakan paling banyak hanya 250 orang. Tak mustahil mereka yang ditolak itu kemungkinan besar lari ke dukun atau mencari praktek aborsi yang ilegal. Dan, menurut Moeloek lagi, yang mencemaskan adalah kegagalan praktek aborsi ilegal itu sangat tinggi: sekitar 80. Akibatnya yang pilling ringan yaitu infeksi, sementara risiko terberat kematian akibat pendarahan. Ada sebuah contoh, kasus aborsi yang sampai ke pengadilan. Ini terjadi di Surabaya. Tiga terdakwa, Ir. Amar, Yosmita, dan dr. Edward, akhir tahun silam dinyatakan bersalah oleh hakim, karena berusaha melakukan aborsi. Kisahnya berawal dari hubungan seks di luar nikah antara Yosmita dan Amar, sang pacar. Yosmita hamil. Pada usia kehamilan dua bulan, keduanya memutuskan untuk menempuh aborsi, kendati mereka punya rencana menikah. Karena pertimbangan ekonomis mereka memilih dr. Edward, dokter umum (bukan spesialis kandungan), untuk melakukannya. Ini aborsi ilegal. Kuret yang tak sempurna belakangan mengakibatkan infeksi. Yosmita terpaksa masuk rumah sakit. Dan perkara inilah yang kemudian melahirkan tuntutan dari pihak keluarga Yosmita. Ketiganya dilaporkan ke polisi. Malah berakhir berantakan. Yosmita menutut Amar, karena tak mau bertanggung jawab. Jangan sangka aborsi gelap cuma dilakukan para dokter berjiwa kriminal. Yang lebih mengerikan aborsi yang dilakukan dukun. "Saya sudah tiga kali menggugurkan kandungan," kata Mega -- sebut saja namanya begitu. Gadis Medan ini berusia 19 tahun. "Semua saya lakukan ke dukun di Kampung Anggrung. Ke dokter katanya mahal, sampai setengah juta," ujarnya. Mega termasuk yang selamat, lalu mengisahkan bagaimana aborsi tradisional itu dilakukan. "Cuma dimasukkan batang jarak yang diruncingkan, panjangnya 10 sentimeter," katanya. Kemudian kreek! Data yang dikumpulkan Biran menunjukkan: komplikasi aborsi ada kaitannya dengan latar belakang sosial. Apalagi di daerah yang ketat menentang aborsi dalam bentuk apa pun, biasanya angka komplikasi itu sangat tinggi. Di daerah yang agak terbuka -- dan aborsi aman tidak ditentang -- dampak negatif pengguguran kandungan relatif lebih kecil. Kebanyakan masyarakat kita, menurut Kartono, seperti burung unta yang membenamkan kepala ke dalam pasir bila ada bahaya -- dan menganggap ancaman segera lenyap. Tabu memasalahkan aborsi justru membuat berbagai dampak negatif berkembang. Selain terhadap aborsi sikap bertopeng ini juga ditujukan kepada masalah seks, yang secara langsung berhubungan dengan kehamilan di luar nikah. Juga aborsi. "Kalau Mama sampai tahu saya hamil, wah kiamat dunia ini," kata Susi (demikian nama samarannya). Remaja putri 18 tahun ini baru saja menggugurkan kandungannya yang berusia tiga bulan, di sebuah rumah sakit swasta di Bandung. "Kecelakaan" akibat hubungan seks dengan pacarnya, hingga kini tak ketahuan kedua orangtuanya. Hubungan seks, akibatnya, dan upaya mengatasi dijalaninya sendiri tanpa sama sekali berkonsultasi dengan orangtua. Susi bernasib baik. Ia mendapat pelayanan aborsi yang baik, walau mahal tak jadi soal -- karena uang baginya bukan masalah. "Cuma setengah jam, langsung boleh pulang," katanya. "Tabu itu membuat pengetahuan seks remaja kita menjadi sangat minim," kata dr. Muhammad Th. dari Laboratorium Ilmu Kesehatan Jiwa Universitas Airlangga, Surabaya. Belum lama ini, secara intensif ia meneliti 37 remaja yang hamil di luar nikah di Surabaya. Usia rata-rata mereka: 18,7 tahun. "Mereka itu disebut anak-anak tidak bisa, tapi mau dibilang dewasa pun sulit," ujar dokter itu. Fisiknya siap untuk melakukan hubungan seks tapi kondisi psikis mereka belum. Sebagian besar dari 37 remaja itu (78%) terungkap melakukan hubungan seks dengan pacar mereka. Jadi, bukan tergolong remaja putri yang mau berhubungan dengan siapa saja. Hampir semua (93%) tidak menyadari akibat hubungan seks, dan tak pernah menggunakan alat kontrasepsi ketika melakukan hubungan seks. Setelah mengalami risiko kehamilan 750 menyatakan kapok dan tak lagi mau diajak kencan seks sebelum kawin, 25% menyatakan akan berhati-hati. Upaya mengatasi kehamilan itu bisa diduga. Semuanya menyatakan ingin menggugurkan kandungan. Separuh lebih (54%) memberikan alasan belum siap menjadi ibu, sementara 18% mengatakan malu mempunyai anak tanpa ayah, dan 18% lagi malu karena belum menikah. "Bagaimana bila dokter menolak melakukan pengguguran kandungan?" tanya Muhammad. Cuma 11% yang menyatakan pasrah dan bersedia memelihara kehamilannya. Tapi 77,4% menyatakan akan menempuh cara apa pun termasuk aborsi gelap. Dan jangan kaget: 7,4% menyatakan akan bunuh diri. Jim Supangkat dan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini