Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berita Tempo Plus

Kiat baru mengelakkan utang

Banyak debitur indonesia tidak mengembalikan kredit dari bank asing, dengan alasan pinjaman itu tidak dilaporkan ke bank indonesia. pengadilan ternyata tak konsisten memutus persoalan itu.

2 September 1989 | 00.00 WIB

Kiat baru mengelakkan utang
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PARA debitur Indonesia kini "menemukan" jurus ampuh untuk menghindar dari utang, khususnya yang berupa kredit dari luar negeri (off-shore loan). Hanya dengan berdalih bahwa pinjaman non-IGGI tersebut tidak dilaporkan ke Bank Indonesia (BI), sesuai dengan ketentuan pemerintah, debitur di sini sudah bisa menyatakan perjanjian utangnya tak sah. Artinya, si kreditur boleh pulang ke negerinya bagai orang kalah judi. Menurut beberapa pengacara yang sering menangani masalah perbankan, kiat "mengelak" itu kini semakin menggejala, akibat putusan Mahkamah Agung tak konsisten dalam menangani sengketa semacam itu. Contoh terbaru adalah gugatan PT Eslon Jaya Corporation, yang pekan-pekan ini disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Semula, pada tahun 1980-1983, PT Eslon memperoleh kredit sekitar US$ 3 juta dari Standard Chartered Bank (SCB) untuk bisnis pipa PVC. Belakangan, Eslon menyatakan bahwa bisnisnya macet, sehingga tak bisa melunasi kredit tersebut. Beberapa kali SCB berupaya menagih, tapi tak membuahkan hasil. Eslon bahkan mengajukan bantahan terhadap permohonan eksekusi akta hipotik atas jaminan kredit itu, yang diajukan SCB di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Pengadilan mengabulkan Eslon, dan bahkan tidak menerima gugatan SCB. Belum lagi SCB sempat memperbaiki upaya hukumnya, Eslon ternyata lebih dulu menggugat. Melalui pengacara kawakan Prof. Sudargo Gautama, Eslon menuntut agar pengadilan membatalkan perjanjian kreditnya dengan SCB. Sebab, perjanjian tersebut, demikian gugatan Eslon, telah melanggar Keppres No. 3 tahun 1971, Keppres No. 59 tahun 1972, SK Menteri Keuangan tertanggal 3 Mei 19743, dan Surat Edaran BI tertanggal 23 Juni 1972, yang mengharuskan setiap kredit luar negeri dilaporkan ke BI. Sebab itu pula, Eslon menuntut agar SCB menghentikan segala usaha menagih pinjaman itu. Menurut Prof. Sudargo Gautama, kewajiban melapor ke BI sebetulnya untuk memudahkan pengontrolan pemerintah atas berbagai kredit luar negeri, agar sesuai dengan beleid pemerintah di bidang moneter dan devisa. "Sehingga setiap orang tidak bisa mengambil kredit begitu saja," ujar Sudargo. Tapi Eslon kan mesti membayar kembali? Sudargo, anehnya, cuma berkata, "Utang itu tetap harus dibayar, tapi ya hanya pinjaman pokoknya, tanpa bunga," sembari tertawa pendek. Hingga pekan lalu, pihak SCB belum menangkis gugatan itu dan malah belum menunjuk kuasa hukumnya di sidang, yang dipimpin Majelis Hakim Nyonya Eliyana. Sementara itu, Acting Manager SCB di Jakarta, C.M. Holland, tak mau berkomentar. "Masalah hubungan dengan nasabah itu rahasia perusahaan," katanya. Apa pun keputusan sengketa itu nanti, yang jelas kiat baru debitur Indonesia itu, kata seorang pengacara senior di Jakarta, membuat resah kalangan perbankan asing di sini. Kekhawatiran bank-bank asing itu masuk akal. Sebab, selain memang banyak debitur yang mencari celah-celah hukum untuk menghindar dari utangnya, lembaga pengadilan tak pula konsisten dalam menyelesaikan sengketa seperti itu. Dua buah yurisprudensi Mahkamah Agung dalam kasus serupa ternyata bertentangan. Putusan pertama menyangkut pinjaman sekitar US$ 1.8 juta, pada 1976-1979, dari The Chartered Bank untuk CV Sinar Surya. Dua orang dari tiga penjamin utang itu di Singapura, melalui Pengacara Sudargo Gautama, menggugat The Chartered Bank di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan alasan kredit itu tak dilaporkan ke BI. Di pengadilan, Prof. Sudargo, yang konon penemu "jurus" tadi, mendalihkan bahwa perjanjian tersebut bisa dikategorikan telah melanggar ketertiban umum. Artinya, perjanjian itu tak sah karena tak memenuhi syarat sebab yang halal. Berdasar itu, ia menuntut perjanjian itu batal demi hukum. Pengadilan, pada 16 Desember 1982, di luar dugaan, ternyata mengabulkan gugatan tersebut. Putusan itu sempat menimbulkan reaksi keras dari kalanan perbankan internasional. Beberapa di antaranya tertuang lewat artikel di Far Eastern Economic Review. Pengacara The Chartered Bank, Gani Djemat, memprotes putusan itu ke Menteri Kehakiman dan Ketua Mahkamah Agung. "Apa pun dalihnya, pinjaman yang pernah diterima harus dikembalikan." Selain itu, kata Gani Djemat, ketentuan wajib lapor tadi menyebutkan bawa pihak debiturlah yang seharusnya melaporkan perjanjian kredit itu ke BI. Toh pengadilan banding, dan Mahkamah Agung, pada 15 April 1985 mengukuhkan putusan pengadilan bawahannya itu. Sebaliknya, yang terjadi pada putusan kedua, dalam kasus kredit sekitar US$ 14 juta, dari Bank of Tokyo untuk PT Indokaya Nissan Motors, pada 1977. Dalam perkara ini, pihak penjamin, Marubeni Corporation, yang terpaksa melunasi kredit itu, menggugat Indokaya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan, pada 11 Oktober 1983, justru menghukum Indokaya agar melunasi pinjaman tersebut. Putusan itu dikuatkan pengadilan banding. Bahkan Mahkamah Agung, pada 27 Februari 1986, juga menyatakan perjanjian kredit itu tetap sah. Sebab, pelanggaran atas berbagai ketentuan wajib lapor itu cuma bersifat sanksi administratif terhadap si debitur, berupa denda Rp 10 ribu saja. Persoalannya, putusan mana yang layak diikuti. Wakil Ketua Mahkamah Agung, Purwoto S. Gandasubrata, membenarkan bahwa yurisprudensi Mahkamah Agung dalam kasus seperti itu belum konsisten. "Nanti setelah ada kasus off-shore loan lagi, Mahkamah Agung akan menentukan pendapat tetapnya," kata Purwoto. Bagaimanapun, Purwoto menyatakan, si debitur harus melaksanakan kewajibannya. "Pada prinsipnya, setiap utang harus dibayar. Apalagi jika debitur mengakui telah menerima pinjaman itu, ia tetap terikat dengan perjanjian kreditnya," katanya. Kalau tidak, berarti hukum itu memang gampang dibengkok-bengkokkan.Happy S. Aji, dan Hetty (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum