Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Dua Pendaki Puncak Carstensz Meninggal karena AMS dan Hipotermia, Apa Itu?

Dua pendaki yang meninggal di Puncak Carstensz disebut terkena AMS dan hipotermia. Berikut penjelasannya.

4 Maret 2025 | 09.23 WIB

(dari kanan ke kiri) Lilie Wijayati dan Elsa Laksono. Foto: Instagram/@mamakpendaki
Perbesar
(dari kanan ke kiri) Lilie Wijayati dan Elsa Laksono. Foto: Instagram/@mamakpendaki

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Dua pendaki yang kehilangan nyawa saat menuruni Puncak Carstensz Pyramid, Elsa Laksono dan Lilie Wijayati Poegiono, telah dipulangkan ke Jakarta pada Senin, 3 Maret 2025, menggunakan maskapai Lion Air pada pukul 10.45 WIT. Keduanya mengalami hipotermia ketika turun dari salah satu puncak tertinggi di Indonesia yang memiliki medan ekstrem serta kondisi cuaca yang tidak menentu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut laporan dari pihak kepolisian setempat, proses evakuasi terhadap kedua korban dilakukan dalam dua tahap. Jenazah Elsa Laksono berhasil dievakuasi terlebih dahulu pada hari Minggu, lalu langsung dibawa ke RSUD Mimika untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Sementara itu, jenazah Lilie Wijayati Poegiono baru dapat dievakuasi pada Senin pagi sekitar pukul 06.53 WIT. Operasi penyelamatan dan evakuasi berjalan cukup lancar meskipun terkendala oleh faktor cuaca yang kurang bersahabat, sehingga memerlukan koordinasi yang lebih intensif di lapangan.

Penyebab kematian Elsa Laksono diduga berkaitan dengan kondisi kesehatan yang dikenal sebagai acute mountain sickness (AMS) atau penyakit ketinggian dan juga hipotermia. Gejala kondisi ini mulai muncul ketika seseorang berada di ketinggian tertentu dan tubuhnya tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tekanan udara serta kadar oksigen yang lebih rendah.

Elsa mengalami gejala tersebut saat dalam perjalanan turun dari Puncak Carstensz Pyramid sebelum akhirnya dinyatakan meninggal dunia. Setelah berhasil dievakuasi, jenazahnya dibawa ke rumah sakit dengan perkiraan waktu perjalanan dari pukul 06.10 hingga 09.26 WIT.

Mengenal Acute Mountain Sickness (AMS) dan Bahayanya

Dilansir dari laman Medlineplus, AMS adalah kondisi medis yang dapat dialami oleh pendaki gunung, pemain ski, atau wisatawan yang melakukan perjalanan ke dataran tinggi dengan ketinggian lebih dari 2.400 meter di atas permukaan laut. Penyakit ini terjadi akibat perubahan tekanan udara yang lebih rendah serta kadar oksigen yang menipis di ketinggian, sehingga tubuh memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang berbeda dari dataran rendah.

Faktor Penyebab AMS

Kemungkinan seseorang mengalami AMS akan semakin besar apabila mereka melakukan pendakian secara tiba-tiba tanpa proses aklimatisasi yang memadai. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap risiko terkena AMS meliputi riwayat kesehatan individu serta cara mereka melakukan pendakian. Berikut adalah beberapa faktor yang meningkatkan risiko terkena AMS:

- Pendaki yang berasal dari daerah dataran rendah dan langsung menuju lokasi dengan ketinggian yang jauh lebih tinggi tanpa melakukan adaptasi bertahap.
- Riwayat kesehatan yang mencatat bahwa individu tersebut pernah mengalami AMS sebelumnya.
- Melakukan pendakian dengan kecepatan tinggi tanpa memberikan waktu yang cukup bagi tubuh untuk menyesuaikan diri.
- Konsumsi alkohol atau zat-zat lain yang dapat menghambat proses aklimatisasi.
- Memiliki penyakit atau gangguan kesehatan tertentu yang berkaitan dengan jantung, paru-paru, atau anemia, yang dapat memperburuk efek kekurangan oksigen pada tubuh.

Gejala AMS dan Dampaknya bagi Pendaki

Gejala yang ditimbulkan oleh AMS dapat berkisar dari ringan hingga berat, tergantung pada tingkat ketinggian, kecepatan pendakian, serta kondisi fisik individu. Pada tahap awal atau ringan, gejala AMS biasanya meliputi:

- Gangguan tidur yang membuat pendaki sulit untuk beristirahat dengan baik.
- Rasa pusing atau melayang yang muncul tanpa sebab yang jelas.
- Kelelahan yang berlebihan meskipun tidak melakukan aktivitas berat.
- Sakit kepala yang terus menerus dan sulit mereda.
- Hilangnya nafsu makan sehingga menyebabkan tubuh semakin lemah.
- Mual atau muntah yang dapat menyebabkan dehidrasi.
- Detak jantung yang lebih cepat dari biasanya.
- Sesak napas saat melakukan aktivitas fisik ringan.

Pada kondisi yang lebih parah, AMS dapat berkembang menjadi high altitude pulmonary edema (HAPE) atau high altitude cerebral edema (HACE). Kedua kondisi ini berpotensi mengancam nyawa karena menyebabkan penumpukan cairan di paru-paru dan otak. Gejala yang lebih serius dari AMS meliputi:

- Kulit yang berubah menjadi kebiruan atau pucat akibat kurangnya oksigen dalam darah.
- Sensasi sesak atau tekanan di dada yang membuat pernapasan semakin sulit.
- Kebingungan, kehilangan orientasi, atau perilaku yang tidak biasa.
- Batuk yang semakin parah dan bisa disertai dengan darah.
- Penurunan kesadaran yang menyebabkan individu menjadi tidak responsif.
- Kesulitan berjalan dengan koordinasi yang buruk atau bahkan tidak mampu berjalan sama sekali.

Penanganan AMS

Langkah utama dalam menangani AMS adalah segera menurunkan penderita ke ketinggian yang lebih rendah. Ini merupakan metode paling efektif untuk mengurangi gejala dan mencegah kondisi yang lebih parah. Pemberian oksigen tambahan juga dapat membantu mengatasi kekurangan oksigen dalam tubuh.

Dalam beberapa kasus, pengobatan medis dengan obat seperti acetazolamide (Diamox) dapat diberikan untuk mempercepat adaptasi tubuh terhadap lingkungan dengan kadar oksigen yang rendah. Obat ini bekerja dengan merangsang pernapasan serta meningkatkan produksi urin, sehingga tubuh dapat lebih cepat menyesuaikan diri dengan perubahan tekanan udara. Namun, individu yang mengonsumsi obat ini perlu menjaga asupan cairan agar tidak mengalami dehidrasi. Selain itu, konsumsi alkohol harus dihindari karena dapat menghambat efek obat tersebut.

Jika AMS berkembang menjadi edema paru, pengobatan lebih lanjut seperti pemberian oksigen, penggunaan obat nifedipine untuk menurunkan tekanan darah, serta inhaler beta agonist untuk memperlancar saluran pernapasan mungkin diperlukan.

Dalam kasus yang lebih berat, pasien bisa membutuhkan alat bantu pernapasan dan perawatan intensif di rumah sakit. Beberapa pendaki juga dapat menggunakan ruang hiperbarik portabel yang dapat mensimulasikan kondisi tekanan udara di ketinggian yang lebih rendah tanpa harus benar-benar turun dari gunung.

Clara Maria Tjandra Dewi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus