Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Kesehatan

Gampang Marah karena Lapar, Ini Pemicunya

Pakar mengungkapkan pengaruh rasa lapar terhadap perilaku seseorang yang jadi gampang marah. Seperti apa?

11 Juni 2021 | 13.44 WIB

Ilustrasi wanita lapar. shutterstock.com
Perbesar
Ilustrasi wanita lapar. shutterstock.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Kombinasi rasa lapar dan amarah merupakan respons emosional yang rumit dan melibatkan interaksi biologi, kepribadian, dan isyarat lingkungan. Dosen IPB University dari Departemen Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Husnawati, mengungkapkan pengaruh rasa lapar terhadap perilaku seseorang yang jadi gampang marah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Marah merupakan respons emosional yang kuat yang muncul ketika tubuh merasa menghadapi ancaman atau bahaya. Pada kondisi tersebut, sumbu hipotalamus-pituitaryadrenal (HPA) di otak akan teraktifkan dan memicu respons melawan atau lari," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Sistem limbik di otak adalah pusat dari segala emosi, baik itu marah, takut, dorongan seksual, dan lainnya. Di sini emosi diterjemahkan secara biokimia dan diberi label sebagai sesuatu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, yang kemudian memicu dikeluarkannya hormon senang atau hormon stres,” jelasnya.

Pada beberapa orang, rasa lapar dapat dianggap sebagai ancaman bagi tubuh, sehingga muncullah kondisi hangry atau rasa marah yang muncul ketika orang lapar.

"Rasa lapar yang berkepanjangan membuat tubuh stres dan dikeluarkanlah hormon kortisol yang merupakan hormon stres," tuturnya.

Husnawati mengatakan kondisi stres yang dirasakan tubuh menyebabkan penurunan kadar hormon serotonin yang memiliki peran penting dalam mengatur suasana hati.

“Kadar serotonin yang rendah sangat berkaitan dengan munculnya rasa marah dan kecenderungan ke arah perilaku kekerasan,” ujarnya.

Di sisi lain, berdasarkan kepribadian dan pengaruh lingkungan, perilaku emosi karena makanan terbentuk sejak masa kanak-kanak dan sangat terkait dengan pengalaman masa kecil. Menurut teori psikosomatis, emosi yang muncul karena lapar merupakan respons terhadap perasaan negatif, seperti stres, kecemasan, kekecewaan, dan kesepian.

"Seseorang yang tinggal di lingkungan yang memperebutkan makanan sebagai usaha untuk bertahan hidup akan sangat mudah mengalami hangry," katanya.

Husnawati menambahkan tingkat kesadaran emosional seseorang juga memengaruhi munculnya hangry. Orang yang kesadaran emosionalnya lebih berkembang akan sadar rasa lapar dapat terwujud sebagai emosi negatif sehingga mereka bisa mengontrolnya dan cenderung tidak menjadi hangry.

“Pada umat muslim, ada fase di mana seseorang diajarkan untuk mengelola emosi dari rasa lapar, yaitu saat berpuasa," ujarnya.

Dokter yang juga bertugas di Unit Kesehatan IPB University ini mengatakan ketika seseorang berpuasa, selain mengatur dan mengaktifkan metabolisme tubuh yang jarang dipakai, seperti pengaturan pergantian kerja hormon insulin dan glukagon, puasa juga berfungsi untuk mengajarkan tubuh rasa lapar yang terjadi pada waktu pendek di bawah 20 jam bukanlah ancaman atau bahaya bagi tubuh.

“Sehingga orang-orang yang terbiasa berpuasa akan merespons rasa lapar dengan emosi yang netral atau malah positif,” katanya.

Oleh karena itu, rasa lapar yang menyebabkan munculnya kemarahan hanya terjadi pada orang-orang yang menganggap lapar sebagai ancaman baginya dan adanya faktor kondisi lingkungan yang tidak mendukung.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus