DIGODA rasa ingin tahu tentang jenis kelamin janin yang dia kandung, seorang ibu meminta dokter untuk mengultrasonografi kandungannya. Berdasarkan gambar yang terpancar di layar televisi, dokter menyebutkan bahwa dia akan memperoleh anak perempuan. Persiapan menyambut jabang bayi itu pun segera dilakukan, termasuk menyediakan pakaiannya. Tapi betapa kecewanya karena begitu lahir anak itu ternyata laki-laki . Tidak jelas apakah ultrasonografi yang mulai populer di sini sejak pertengahan 1970-an telah menimbulkan masalah etik di kalangan dokter. Misalnya. seorang ibu meminta janin digugurkan karena jenis kelaminnya tidak diharapkan. Yang pasti, di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, masalah itu tampaknya belum begitu meluas. Tetapi untuk menghindarinya, persatuan dokter AS, Februari yang lalu, menyerukan agar penggunaan ultrasonografi hanya untuk keperluan mendesak. Dan menganjurkan tidak menggunakannya sekadar guna mengetahui jenis kelamin janin. Seruan itu dikeluarkan karena kekhawatiran bahwa gelombang suara frekuensi tinggi yang digunakan "rabaan" ultrasonograf itu akan merusakkan sel-sel si janin. Kekhawatiran itu tampaknya didasarkan pada cacat yang timbul pada berbagai binatang percobaan. Sel-sel otak anjing percobaan rusak setelah kepalanya ditempeli transducer selama sembilan jam dengan kekuatan 1,5 miliwatt per cm2. Daya yang diterima anjing itu memang berlipat ganda. Sebab, untuk menegakkan diagnosa dokter di berbagai rumah sakit di Indonesia, hanya diperlukan 0,3 miliwatt per cm2 selama lebih kurang 20 menit. Tapi sejak ultrasonografi dipergunakan dunia kedokteran tahun 1960, belum ada laporan tentang akibat buruknya terhadap manusia. Usaha untuk membuktikan gelombang suara dengan frekuensi lebih dari 20.000 hz (melebihi kemampuan telinga) terhadap wanita hamil dan jamnnya sekarang ini sedang berlangsung di Kanada. Sebanyak 10.000 wanita yang mendapat gelombang suara ultra pada waktu hamil sedang diamat-amati dalam sebuah penelitian klinis yang berlangsung di Kota Winnipeg. Sebagai pembanding, dilibatkan pula 5.000 wanita yang bebas dari suara serupa. Di Indonesia, terutama di kota-kota besar, alat ultrasonografi yang harganya bergerak antara Rp 15 juta dan Rp 60 juta itu digunakan untuk membantu dokter dalam diagnosa. "Bila ragu-ragu, dengan ultrasonografi bisa dipastikan," ucap dr. Rizal Sini, Direktur RS Bersalin Bunda di Jakarta. Alat itu digunakan antara lain untuk menentukan apakah janin sehat, dan posisinya baik sehingga tak terhalang kalau sudah saatnya lahir. Juga untuk memeriksa tumor dalam rahim. Perangkat ultrasonografi ini terdiri dari dua bagian. Satu bagian adalah sumber getaran ultra dengan berbagai tombol. Sedang yang lain berupa seperangkat layar televisi. Sebuah transducer yang berbentuk mirip seterika "diraba-rabakan" kc bagian perut wanita yang sedang mengandung. Gelombang suara yang dipantulkan alat itu masuk ke dalam tubuh melalui berbagai jaringan, seperti kulit, otot, dan tulang. Jaringan tadi memantulkan gelombang suara, yang kemudian dltangkap kembali oleh transducer dan diubahnya menjadi getaran listrik. Getaran-getaran listrik itu muncul di layar televisi. Maka, terlihatlah sosok janin dalam tiga dimensi. "Alat itu benar-benar efektif karena betul-betul memperlihatkan gambar janin. Laki-laki atau perempuan. Cacat atau tidak. Dan kembarkah dia," cerita dr. Agus Abadi, yang mengelola peralatan ultrasonografi di RS Soetomo, Surabaya. Ultrasonografi belakangan ini menjadi populer. Terutama untuk melayani wanita yang ingin tahu jenis janin yang sedang dia kandung. Di RS Soetomo, Surabaya menurut sebuah sumber, sekitar 10 pasien tiap hari datang dengan tujuan sekadar untuk tahu jenis kelamin calon anaknya. Ongkosnya sekitar Rp 6.000. Tapi kalau di rumah bersalin swasta bisa mencapai Rp 25.000. Ternyata, tidak semua dokter kandungan menyambut ibu-ibu yang meminta pelayanan seperti itu. Malahan ada kritik terhadap dokter yang melaksanakannya. "Itikadnya tidak baik. Dan melanggar ketentuan," kata dr. Gulardi H., dari Bagian Kebidanan dan Kandungan RS Tjipto Mangunkusumo, Jakarta. Menurut dia, sekalipun tidak untuk mengetahui jenis kelamin, penggunaan ultrasonografi sebaiknya hanya dibatasi dua kali saja. "Karena efek samping jangka panjangnya yang belum diketahui," ujarnya. "Rabaan" pertama dia anjurkan pada kehamilan 20 minggu dan terakhir pada kehamilan 32 minggu. Gulardi mengatakan, untuk menghindari kemungkinan "terjadl gangguan pada janin", ultrasonografi maksimum dilakukan dua puluh menit. Willy S. Wibisono, ahli kandungan dan kebidanan di Rumah Sakit Bersalin Bunda, Jakarta, yang pernah belajar di Jerman Barat, menyebutkan bahwa alal itu tidak berbahaya asal tidak melewati ambang batas. "Bila lewat, dikhawatirkan sel tubuh akan rusak. Terutama pada jaringan gonade (jaringan kelamin). Tapi tak ada alasan khawatir bayi akan cacat blla pernah diperiksa dengan perangkat ultrasonografi," katanya meyakinkan. Tetapi kalau pun dipergunakan untuk mengetahui jenis kelamin, gambar yang tampil di layar bisa juga menyesatkan dokter yang membaca. "Kemungkinan terjadi kesalahan atau perbedaan dalam membaca gambar, dapat terjadi karena banyaknya variabel yang menentukan hasil bacaan. Ukuran dan dimensi kandungan yang sebenarnya dengan yang ada di layar, misalnya, berbeda," ujar Gulardi. Berbagai penelitian menyebutkan, bertambah tua usia kandungan, bertambah jitu ramalan. Salah satu penelitian menunjukkan ketepatan sampai 100% untuk kandungan 25 minggu ke atas. Kehamilan di atas 20 minggu ketepatannya mencapai 94% untuk laki-laki dan 93% untuk perempuan. Sekalipun tingkat ketepatan itu kedengarannya tinggi, Nyonya Yuanita, 24, dari Bandung, punya pengalaman sendiri. Waktu usia kandungannya 28 minggu, dokter yang mengultrasonografi menyebutkan anaknya bakalan laki-laki. Dia sendiri juga melihat di layar, kemaluan janin yang di kandungannya itu mirip lelaki. "Eh, ternyata yang lahir perempuan," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini