DUA pistol menyalak hampir bersamaan, dan dua sosok tubuh roboh ke lantai. Dengan tenangnya si jago tembak, pendekar bertopi lebar itu, menyarungkan kedua pistolnya sekaligus dengan tangan kanan dan kiri. Ia membalikkan badan dan menenggak habis wiski di meja bar tempat ia bersandar. Sementara kedua mayat diangkat orang entah ke mana, nada tipis piano spinet mengalun lagi, dan keramaian kembali mengisi saloon itu. Begitulah adegan kisah koboi dalam film, di panggung, dalam novel, juga lewat lagu. Memang begitukah ciri kehidupan di kota-kota frontier alias garis depan Amerika Serikat, pada paruh kedua abad XIX? "Kehidupan di daerah Barat memang sangat keras dan sering di luar hukum. Tapi khayalan tentang menembak mati tanpa berkedip agaknya sangat bertentangan dengan kenyataan yang ada," tulis George N. Fenin dan William K. Everson dalam buku mereka, The Western. Ini sebuah karya yang membahas tema dan perkembangan film jenis western. Kata si kedua penulis, di daerah Barat penembakan merupakan masalah yang sama seriusnya dengan di daerah Timur, meski harus diakui bahwa keadilan yang diterapkan tak selalu sepadan. Mereka itu umumnya cenderung bertindak sendiri - atau menyewa jago tembak - bila dirasakan hukum kurang kuat atau terlalu lamban menyelesaikan pelanggaran. "Vonis swasta" memang selalu lebih cepat, pasti, dan tuntas tak ada kesempatan naik banding bagi orang yang mungkin hanya kena fitnah, juga tak ada liku-liku legal yang mungkin bisa membebaskan orang yang bersalah. Lebih-lebih tak ada pengeluaran untuk seorang pembela. Tentu saja, di daerah-daerah tempat kejahatan dan korupsi mengalahkan kekuatan hukum dan ketertiban, sebuah kejahatan terang-terangan bisa saja tak mendapat ganjaran - bila punya deking senjata. Toh sejauh itu, merenggut nyawa manusia tetap bukan urusan sepele di sana. Perbedaan antara kenyataan dan mitos mengenai kehidupan Barat yang penuh koboi itu juga dikemukakan Lonn Taylor, ahli sejarah dan wakil direktur urusan koleksi dan penelitian Museum New Mexico. Menurut Taylor, yang menulis di majalah Dialogue akhir tahun lalu, tokoh koboi pertama kali menjadi perhatian bangsa Amerika tahun 1860-an, tak lama setelah usai Perang Saudara. Jenis pekerjaan koboi itu timbul sebagai jawaban atas kebutuhan industri peternakan sapi. Tapi sebetulnya hanya sebentar. Ketika sifat industri itu berubah secara drastis, setelah hanya 30-an tahun bertahan, koboi pun praktis pekerjaan tak terpakai - dan riwayatnya menjadi sejarah. Tapi mengapa mereka mampu membangun sejarah? Di situlah uniknya. Menurut perkiraan wajar, kata Taylor lagi, nasib koboi itu mestinya sama saja dengan nasib pemburu dari Kentucky, para penangkap ikan paus, tukang-tukan perahu di sungai besar, dan semua jenis pekerja Amerika yang sesaat sempat merangsang daya bayang orang banyak, ditokohkan di panggung dan dalam lagu, dan kemudian dilupakan. Tapi koboi tidak. Mereka, para gembala sapi yang naik kuda itu, yang menjelajahi bentangan luas padang rumput dan lereng pegunungan daerah barat Amerika Serikat satu abad yang lalu, berhasil menjadi teladan kepahlawanan bagi anak-anak Amerika khususnya. Di sana mereka meninggalkan warisan yang sempat menjadi suatu "mitos nasional". Dan mitos itu mempengaruhi cara orang berpakaian, melangkah, berbicara, dan bahkan berpikir. Sifat-sifat koboi itu biasanya digambarkan seperti ini: optimistis, penuh kelakar dan keramahan, menyukai kerja keras, ditempa dalam ujian oleh pertarungan mereka dengan alam terbuka. Tokoh film western kenamaan pada tahun 20-an, yang kemudian menulis banyak buku tentang daerah Barat itu, William S. Hart, 70, sempat menulis: "Bagiku memang tak jelas berapa besar arti film western bagi Eropa. Tapi bagi negeri ini ia berarti hakikat kehidupan nasional." Hakikat, katanya. Ada dua jenis warisan yang ditinggalkan si koboi abad XIX itu. Warisan pertama, warisan kerja nyata seperti yang pada zaman ini dilakukan para cowhand, yang menganggap diri mereka keturunan para koboi dulu. Jenis kerja mereka memang hampir serupa, meski kadang-kadang "koboi modern" itu menggunakan helikopter atau truk sebagai ganti kuda. Pun kebanggaan para cowhand itu tak kalah dari yang dimiliki para koboi lama. Warisan kedua ialah yang tersebut tadi: mitos. Berbagai bangsa di dunia mempunyai mitologinya masing-masing - itu khazanah kisah petualangan dewa dan dewata yang menjadi tolok ukur dan teladan peri laku. Tapi bangsa Amerika yang muda belia tak memilikinya. Satu-satunya bahan mitologi mereka, sebagai bangsa, hanyalah yang diambil dari kurun waktu sekitar penaklukan Amerika bagian barat. Dewa dan dewata, semangat dan cita-cita, takdir, kesedihan dan keagungan maut, perjuangan kebaikan melawan kejahatan, semua tema mitologi dunia itu hanya diganti oleh, apa boleh buat, dunia para gembala sapi berkuda itu. Yang jelas, semua mitos koboi itu bermula dari sepanjang jalur Kereta Api Lintas Benua, sebuah "keajaiban abad XIX" yang mengantarkan kebudayaan timur menumpang gerbong Pullman ke wilayah barat. Akhir 1860-an, para wartawan mulai menulis tentang koboi Texas yang menunggang kuda menggiring gerombolan ternak ke arah utara menuju kota-kota di Kansas, sepanjang rel kereta api. Tulisan mereka mengenakan pada para koboi itu berbagai atribut dan ciri jagoan nasional: keterampilan, keberanian, individualisme, cinta alam terbuka, dan sikap adil yang mendalam, ciri yang tersembunyi di balik penampilan yang rusuh dan kasar, yang sebenarnya juga merupakan ciri sebagian penghuni wilayah dunia yang lain - misalnya orang-orang padang pasir. Menjelang tahun 1870-an, koboi menjadi tokoh novel murahan dan panggung drama. Pada tahun 1880-an, ia bagian tak terpisahkan dari khayalan besar Amerika - lewat pertunjukan Wild West Bufallo Bill. Jadi sudah ada suatu mitos koboi, lama sebelum para penulis Owen Wister dan Zane Gray lama sebelum para pelukis Frederic Remington dan Charless Russell lama sebelum bintang-bintang seperti Gary Cooper dan John Wayne. Toh keterpukauan Amerika pada tokoh koboi masih saja terasa "tidak proporsional". Itu bagaikan, dalam perlambang ahli sejarah K. Ross Toole dari Montana, "pesta begitu besar dengan makanan begitu sedikit." Kenyataannya, koboi yang melahirkan legenda itu merupakan bagian dari sistem peternakan yang berlangsung hanya dari 1865 hingga 1895. Sistem peternakan itu membiakkan sapi piaraan dengan cara melepaskannya di hamparan rumput tak terbatas Amerika. Kemudian, saat ternak sudah siap dipasarkan, mereka digiring berkelompok menuju jalan kereta api terdekat. Dan itu dimungkinkan oleh teknologi pendinginan baru di kota-kota timur, yang memungkinkan pasaran daging yang baru pada tumbuh. Teknologi pendinginan dan pengemasan memungkinkan pula distribusi potongan daging ke pasaran pengecer. Bersamaan dengan itu, kegiatan angkatan perang AS sesudah Perang Saudara ialah "menjinakkan" bangsa Indian, yang kadang-kadang berarti pembantaian biadab. Dan langkah itu berhasil membebaskan bentangan luas daerah barat milik Indian untuk keperluan makanan ternak para pendatang itu. Lalu muncullah jalur Kereta Api Lintas Benua yang terselesaikan pada tahun 1867. Itu menyediakan sarana pengangkutan ternak dari padang-padang rumput barat menuju pusat-pusat penjagalan di Chicago dan Kansas City. Ternak itu bisa berasal dari Texas Selatan, 1.300 km dari stasiun kereta api terdekat. Di Texas terdapat sejumlah besar sapi bertanduk panjang, jenis yang semula diperkenalkan bangsa Spanyol. Selama empat tahun Perang Saudara, binatang itu sempat berkembang. Kemudian, pada tahun 1860-an, 1870-an dan 1880-an, berkembanglah sistem penggiringan ternak dalam kelompok besar ke padang rumput bebas. Selama di alam terbuka, ternak itu mencari makanan, air dan perlindungannya sendiri, kemudian waktu sudah siap dijual - "mengangkut" diri sendiri pula menuju jalur kereta api terdekat. Sementara itu sang koboi mengawasi semua kesibukan itu hingga tujuan akhir. Sumber alam melimpah ruah. Rumput tumbuh bebas, tanpa pemilik, kecuali Tuhan. Dan untuk itu tak diperlukan pagar. Ini berbeda dengan kebiasaan di daerah timur, tempat ternak sapi dijaga seorang gembala yang setiap malam memasukkannya ke kandang. Jumlah ternak di Texas yang mencapai ribuan ekor sekaligus tentu saja tak memungkinkan itu, di samping memang tak praktis. Selama di lahan terbuka, binatang-binatang milik beberapa pengusaha mungkin saja bercampur. Karenanya, hingga dua kali setahun ternak milik seorang pengusaha perlu dikumpulkan di satu tempat, dipilih, dikelompokkan sesuai dengan cap di punggung. Kegiatan ini dinamakan roundup, dan ini kadang-kadang menjangkau wilayah seluas 250 km persegi dan berlangsung tak kurang dari satu bulan. Roundup itu merupakan satu dari kedua ciri utama sistem merumput terbuka. Ciri yang lain ialah trail drive: menggiring sekaligus kawanan ternak sebanyak 500 hingga 1.500 ekor menuju stasiun kereta. Hingga akhir 1880-an, hubungan kereta api terdekat antara Texas dan Chicago berada di Kansas Selatan. Maka suatu perjalanan menggiring kelompok sapi itu memakan waktu hingga dua atau tiga bulan. Selama itu para koboi bekerja keras: menuntun ribuan hewan itu melalui wilayah-wilayah yang belum dijamah pemagaran, menyeberangkannya melalui sungai-sungai, dan mengumpulkannya kembali setiap terjadi stampede, yakni situasi ketika kelompok sapi lari amuk. Menurut perkiraan, antara 1867 dan 1886 sekitar enam hingga sembilan juta ekor sapi digiring dari Texas menuju Kansas dengan cara begitu. Lahan rumput di Colorado sebelah timur, Kansas sebelah utara, Nebraska, Wyoming, Dakota dan Montana menjelang 1870-an menyediakan cadangan rumput yang seakan-akan tak mungkin habis. Para koboi Texas menggiring kelompok ternak tak kurang dari lima sampai enam bulan menuju lahan rumput di negara bagian di jantung Amerika itu. Lalu menetap di situ. Dengan demikian, teknik peternakan sapi yang mula-mula dikembangkan di Texas akhirnya menyebar hingga dataran di utara, bahkan memasuki beberapa provinsi Kanada. Menjelang 1885, wilayah yang dimanfaatkan untuk peternakan dan perumputan di Amerika Serikat sudah mencakup lebih dari 3,5 juta km persegi, atau 44% dari seluruh wilayah negeri itu - tak terhitung Alaska dan Hawaii. Tapi tahun 1885 agaknya juga puncak perkembangan industri ternak. Dan seperti juga semua ledakan usaha boom peternakan yang melahirkan sistem merumput terbuka itu akhirnya anjlok. Tahun 1885 dibuka dengan pasaran yang kuat, tapi bulan Desembernya menyaksikan keruntuhan pasar itu. Juga alam tampaknya tak lagi akrab dengan para peternak. Musim dingin 1886 di Wyoming, Montana dan Dakota dinilai yang terburuk dalam sejarah manusia. Salju dan badai, disusul suhu yang sangat rendah, merajalela terkadang berminggu-minggu. Para sapi saling berhimpit dan berkumpul mencari sedikit kehangatan, tapi akhirnya mati dalam jumlah ratusan ribu. Para peternak yang lolos dari musibah kemudian mengubah sistem industri mereka. Kelompok ternak diperkecil, sementara gerakannya dibatasi pagar kawat berduri. Ini agar rumput di luar berkesempatan tumbuh kembali. Makanan hewan-hewan itu kini ditanam, dan selama musim dingin diangkut ke tempat berkumpul ternak itu. Perkembangan lain, yang mendorong berubahnya sistem, ialah ketika Texas dihubungi jalur kereta api langsung dari Chicago. Dengan menyebarnya jaringan KA di seluruh wilayah barat, ternak tak perlu lagi digiring jauh-jauh. Maka menjelang 1890-an para koboi kerjanya cuma menggali lubang tiang pagar, memperbaiki kawat pagar dan kincir angin, mengendalikan mesin potong rumput dan kereta pengangkut rumput kering. Dua ciri khas peternakan yang pernah mereka kenal, roundup dan trail drive, lenyap untuk selama-lamanya. Baik koboi maupun para pembuat dongeng pada sedih karenanya. Nah, kurun waktu itulah, yang hanya tiga dasawarsa, yang melahirkan tokoh.koboi yang kemudian segera usang itu. Malahan ketika Toole membuat perlambang dengan "makanan sedikit" tadi, ia tidak hanya terkesan oleh singkatnya kurun itu. Tapi juga oleh jumlah orang yang terlibat yang ternyata hanya sedikit. Menggiring 1.500 ekor sapi, misalnya, cukup dikerjakan 10 orang. Berdasarkan itu, disimpulkan bahwa pada masa jaya perdagangan ternak itu jumlah koboi di seluruh Amerika Serikat yang mahaluas itu sebenarnya tak lebih dari 50.000 orang. Lagi pula, bagi kebanyakan koboi, kerja menggembala itu pun hanya tugas musiman. Mereka mulai bekerja saat diadakan roundup musim semi sekitar Maret dan April. Lalu mereka bergabung dalam tim penggiring selama musim panas, kemudian kembali lagi ke Texas pada musim rontok, menjelang roundup kedua tahun itu. Kalau beruntung, mereka memang bisa termasuk beberapa koboi yang boleh bekerja terus selama musim dingin. Tapi kesempatan seperti itu tipis sekali, dan mereka pun terpaksa hidup dari penghasilan mereka selama musim panas lalu sambil menunggu upahan baru pada musim semi. Menurut dongeng, koboi itu selalu orang kulit putih. Umumnya para pemuda dari selatan yang mengembara ke barat, meninggalkan kehancuran bekas Perang Saudara di kampung halamannya. Oleh majikannya yang baik hati si pemuda kemudian diberi sejumlah ternak sebagai dasar peternakan pada masa mendatang - setelah ia kawin dengan anak majikannya, atau guru sekolah (ini klise dunia koboi), atau gadis baik-baik lainnya. Yang putih bukan hanya kulitnya. Juga topinya yang lebar. Juga kudanya. Juga sebagian besar pakaiannya. Ini 'kan mitos, dan mitos itu didasari "perlambang". Warna putih melambangkan yang baik-baik, sementara yang hitam mewakili yang buruk-buruk. Anehnya, jagoan serba putih itu - yang di pinggangnya bergelantungan dua pistol bergagang putih - dalam dongeng seperti itu jarang sekali bekerja mengurus ternak. Ia lebih suka mengisi waktunya dengan, konon, mengejar para penjahat, menyelamatkan gadis cantik, atau petantang-petenteng di rumah minum. Kenyataan sehari-hari sangat bertentangan dengan citra dongeng itu, kata Lonn Taylor. Hal itu tidak aneh. Tokoh-tokoh film The Little House on the Prairie, yang diputar TVRI tiap minggu siang itu, misalnya, digambarkan begitu halus, bijaksana, cerdas, penuh adab serta kasih sayang, dan bersih. Itulah sifat-sifat orang modern kini. Dalam kenyataan, masyarakat petani dan pionir Amerika abad XIX adalah masyarakat yang kumuh, keras oleh pergulatan hidup, dan itu juga berarti kasar dan kampungan. Tapi itulah idealisasi namanya, sebuah pemalsuan yang manis. Kalau dalam dongeng atau dalam film koboi itu hanya orang kulit putih, dalam kenyataan mereka sering berkulit hitam atau cokelat. Bahkan ada koboi merah, yakni Indian. Texas, produsen utama para koboi, dulunya negara bagian yang menganut sistem perbudakan. Justru daerah peternakan dekat pantai selatan itu mempunyai sangat banyak penduduk bekas budak. Merekalah yang mengerjakan segalanya - sebelum Perang Saudara sebagai hamba sahaya, sesudah Perang Saudara sebagai buruh. Negro-Negro itu jugalah yang banyak menggiring ternak, menjinakkan kuda, dan memiliki semua keterampilan yang direbut oleh para koboi berkulit putih dalam film dan buku. Seusai Perang Saudara, bekas-bekas budak itu bergabung dengan para pemuda daerah selatan yang kalah perang, mencari kehidupan baru di barat. Bahkan ada regu penggiring ternak yang seluruhnya terdiri dari orang Negro. Menurut George Saunders, tokoh penggiring ternak tahun 1920an, sepertiga dari semua koboi adalah Negro atau orang Meksiko, dan banyak foto kuno serta cerita orang tua membenarkan kesimpulan itu. Tapi bagi Negro tak pernah ada tempat dalam mitos koboi - kecuali sebagai pelayan tua yang setia. Bahkan sejak film western, itu penyebar mitos paling utama, mulai mengakui bangsa Indian sebagai "manusia setara" - dirintis oleh film Broken Arrow, 1950, dengan James Stewart, Debra Paet dan Jeff Chandler - kehadiran Negro malah bertambah langka. "Sejak film western menonjolkan kesamaan bangsa, mereka justru tak ingin mengingatkan penonton akan masalah orang. Negro yang masih kontroversial," tulis Fenin dan Everson. Kehadiran orang Meksiko juga tak menonjol dalam mitos itu - kecuali sebagai musuh, penjahat, atau pemimpin gerombolan yang doyan minum tequila. Padahal, meski nama koboi di Amerika berasal dari daerah pertanian Inggris sana, keterampilan koboi mengurus ternak sebenarnya warisan para vaquero, gembala sapi di Meksiko. Merekalah nenek moyang langsung dan rekan tak terpisahkan para koboi Texas itu. Para vaquero-lah yang pertama kali membawa kelompok ternak ke wilayah Texas pada abad XVIll . Mereka pula yang pertama menguasai penggunaan alat khas koboi, yaitu reata, tali jerat panjang terbuat dari kulit yang dijalin. Juga mereka yang mengajarkan penggunaannya kepada orang Anglo-Amerika. Kerja sama yang erat para vaquero - yang artinya juga koboi - Meksiko dengan para koboi kulit putih itu terbukti dari kenyataan bahwa sebagian besar kosakata yang berhubungan dengan pekerjaan koboi berasal dari bahasa Spanyol. Chaps, lembaran kulit pelindung kaki dari tusukan duri tanaman chaparro prieto, misalnya, memperoleh namanya dari tanaman itu. Bahkan di California dan lereng barat Pegunungan Rockies, para koboi sering menamakan diri mereka buckaroo, istilah blasteran dari vaquero. Selain buckaroo, sang koboi juga sering dijuluki cowpokedan cowpuncher. Kedua istilah terakhir itu (poke atau punch berarti menyodok) agaknya menunjuk pada kegiatan memuat ternak ke dalam gerbong kereta api. Para pekerja menyodok-nyodok tubuh sapi itu dengan tongkat. Istilah lain, yang tidak begitu sering terdengar kecuali sebagai merk pakaian jadi - ialah wrangler. Istilah itu menunjuk pada pekerja yang tugasnya merawat kuda para koboi. Sementara itu para koboi zaman kini lebih suka menamakan diri mereka cowhand. Perbedaan lain, antara mitos dan kenyataan, ialah dalam soal pakaian. Dalam dongeng sang koboi berpakaian seperti Buffalo Bill: celana ketat, sepatu lars tinggi, ikat pinggang lebar dengan pelat pengikat perak yang amat besar, kemeja penuh hiasan, jaket kulit berumbai dan bermanik, kulit pelindung kaki yang amat lebar, serta sebuah topi Stetson yang juga lebar dan berwarna putih - model yang diperkenalkan Buffalo Bill sendiri dalam berbagai pertunjukannya. Sebenarnya pakaian koboi yang asli tidak begitu. Tapi merupakan pakaian pekerja tahun 1880-an, dengan hanya beberapa perubahan yang penting. Pada dasarnya pakaian itu terdiri dari celana tebal dari bahan wol kasar dan kemeja tak berwarna dari flanel. Ujung celana umumnya diselipkan ke dalam leher sepatu lars, agar tidak tersangkut tanaman atau melipat ke balik tali pelana kuda. Topi lebar diperlukan sebagai pelindung terhadap terik matahari dan siraman hujan. Bandana, sehelai kain yang melilit di leher, sewaktu-waktu bisa ditarik menutupi muka sebagai pelindung terhadap debu. Pendeknya, pakaian koboi terutama memenuhi kebutuhan kerja, bukan gaya. Dan, jangan lupa, mereka itu dekil. Sebab kenyataan sehari-hari bagi sang koboi ialah kerja - bukan tembak-menembak atau main asmara. Pada musim panas kerja di bawah terik panas dan semburan debu dengan membanting tulang pada musim dingin kerja dalam keadaan menggigil, basah, juga membanting tulang. Kerja, kerja, selama 10 hingga 14 jam sehari. Dan seperti semua kerja agrikultural, pekerjaan koboi itu berdaur dan bermusim. Kegiatan roundup pada musim semi adalah mengejar sapi di segala pelosok dan memberi kesempatan bagi para majikan menghitung jumlah miliknya, mengumpulkan ternak yang tersesat, membakar tanda perusahaan peternakan di punggung sapi, mengebiri anak sapi yang baru lahir, dan sementara itu menyisihkan ternak yang berusia empat atau lima tahun yang sudah siap dijual ke pasaran. Mereka menghimpunkan semua binatang itu di sebuah tempat. Sesudah itu tahap penyisihan dimulai. Pekerjaan ini menuntut keterampilan yang terhebat si koboi serta kerja sama yang terbaik antara kuda dan manusia. Bila seorang koboi, misalnya, melihat seekor sapi dengan anaknya, dengan cap peternakan tempat ia bekerja tertera di punggung induk sapi, ia harus menjemputnya dari tengah kelompok sapi itu tanpa menimbulkan kegelisahan pada ternak lain. Dengan gesit ia memisahkan sapi dan anaknya itu dari tengah kerumunan, dan menggiringnya ke kelompok lain yang mulai dikumpulkan di tempat lain. Pekerjaan itu membutuhkan latihan ketangkasan, dan tak lupa seekor kuda yang cerdas. Sebagai gelanggang hubungan manusia dengan ternak, roundup itu memang menyediakan sejumlah rangsangan menarik. Dan sebagai gelanggang hubungan manusia dengan manusia, ia memberi kesempatan kerja sama dan bergaul selama beberapa hari, bahkan juga berolah raga. Bila ini dibandingkan dengan pekerjaan menggiring ternak, misalnya, tampak kontras sekali. Suatu penggiringan berarti perjalanan berbulan-bulan penuh kejemuan serta kerja keras yang hanya diselingi jam-jam penuh bahaya nyata. Berbulan-bulan di punggung kuda, wajah dan tubuh dijotos matahari, dan jarang sekali bisa mandi. Hanya, bagi mereka yang sempat mengambil bagian dalam penggiringan yang lama itu, pengalaman itu memang menyerupai suatu epos, kisah kepahlawanan yang tak mungkin terlupakan. Hanya dua kejadian sangat sering menyelingi rutin yang menjemukan itu, hingga hampir-hampir merupakan rutin tersendiri, yaitu penyeberangan sungai dan stampede. Secara umum, sungai di sana lebar-lebar, berarus lamban dan penuh lumpur. Tebingnya terjal dan dasarnya penuh pokok kayu tumbang cukup padat untuk dilalui kelompok ternak pada musim kering, tapi bisa mengantarkan arus air yang mengamuk bila turun hujan musim semi. Nah. Stampede itu paling sering terjadi pada saat badai menjelang. Pada saat seperti itu ternak menjadi gelisah - meski sedang istirahat - dan itu meningkat menjadi ketakutan akibat suara guntur atau kilauan petir yang tiba-tiba. Tapi stampede juga sering punya sebab buatan - dibuat oleh penduduk wilayah yang dilalui. Lalu penduduk akan bermunculan keesokan paginya, pura-pura menawarkan jasa baik membantu menghimpunkan kembali ternak yang sesat - dengan imbalan. Ancaman lain ialah bangsa Indian. Bagi para koboi, kawasan bangsa Indian yang harus dilalui merupakan "suatu bentangan luas penuh rumput bebas". Padahal wilayah itu pada tahun 1820-an oleh pemerintah federal sudah diserahkan kepada suku-suku Indian sebagai ganti tanah mereka di bagian timur. "Selama rumput tumbuh dan sungai mengalir", bunyi perjanjian itu, bagi suku-suku Indian kegiatan pengusaha ternak itu merupakan pelanggaran hak, dan karenanya mereka merasa berhak menagih imbalan. Sidang hukum Suku Choctow ataupun Suku Cherokee mengesahkan undang-undang tol. Tapi anggota suku-suku yang mencoba memungut tol itu sering menjumpai sikap acuh tak acuh, bahkan kadang-kadang tentangan, dari para koboi. Biasanya, suatu penyelesaian tercapai melalui pembayaran sejumlah ternak, tapi sering juga melalui tindak menakut-nakuti para Indian itu dengan tembakan bedil. Dari pekerjaan tahun berganti tahun, dari interaksi terus-menerus antara manusia, kuda dan sapi, lahirlah sesuatu yang secara umum dinyatakan sebagai sifat koboi. Memang, ada sesuatu dalam sikap mereka terhadap pekerjaannya, terhadap sesama manusia dan masyarakat luas, yang berbeda dari sifat para pekerja abad ke-19 lainnya. Sang koboi dari alam luas terbuka itu terutama seorang romantikus. Ia pelarian dari peradaban berindustri. Ia pembela tangguh kemerdekaan pribadi tak terbatas, dan satu-satunya cara mewujudkan asas itu ialah dengan melatih diri menjadi demikian terampil, sehingga ia tak perlu merasa cemas akan kemungkinan teguran atasan ataupun pengangguran. Ia membina keterampilan itu dengan mengamati dan mempelajari secara saksama segala peri laku ternak, bahkan terkadang sempat hidup bersama hewan yang betapapun merupakan alasan kehadiran dirinya. Ia juga menjadi pengamat jeli perangai manusia dan ahli membangkitkan semangat rekan sekerjanya, menghimpunkan mereka menjadi suatu tim kerja yang efisien. Hasil tambahan bakatnya yang terakhir itu ialah kejenakaan keras penuh sindiran, yang merupakan ciri lelucon khas barat. Itu bersumber pada ketidakpeduliannya akan perhatian orang terhadap dirinya, dan juga pada kesadarannya akan peranan penting kejenakaan bagi peredaan tegangan. Para pembuat mitos lalu merangkul watak mandiri koboi itu, dah menjadikannya dasar bagi ratusan ribu penjual tampang berpakaian warna-warni mengayunkan pistol dan memekik-mekik, menunggang kuda menempuh jutaan meter film. Dari Texas hingga Oregon bermunculan para koboi kesiangan, juga pekerja tambang minyak, perantara rumah dan bangunan serta sopir truk bergaya genit, bagai ejekan atas suatu ejekan. Setiap anak kecil akan segera tahu bahwa tokoh yang menggunakan kata-kata yup dan nope, serta pukulannya keras dan cepat, sudah pasti seorang koboi. Anehnya lagi, ciri koboi yang paling mendasar tak pernah menjadi bagian mitos itu. Tak satu pun bintang film atau pengarang novel pernah sibuk melibatkan diri dengan masalah sapi atau mau memahami peri laku ternak. Padahal justru itu ciri cowboy yang paling menonjol: sikap yang berakar dalam filsafat agraria abad XIX. Sikap itu mencerminkan suatu pengakuan akan takdir manusia sebagai gembala dan pemelihara jenis hewan yang lebih rendah . Sebagai gambaran plastis, Lonn Taylor pada penutup tulisannya mengutip Jane Kramer, pengarang masa kini yang pernah menulis buku yang sangat bagus tentang koboi modern. Di situ Kramer menukil ucapan seorang Texas yang pernah ia jumpai, yang menggambarkan sikap koboi dengan sangat tepat: "Saya akan mengungkapkan apa sebenarnya hakikat seorang cowpuncher itu .... Hakikat itu bukan soal menjerat, bukan soal mengendarai kuda, bukan soal kejenakaan bicara. Ia soal memikirkan cara menyelamatkan seekor sapi dungu yang sesat di tengah hujan dan badai salju. Bukan hendak membela kepentingan si pemilik sapi. Tapi membela sapi tua dan anaknya itu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini