ANDAI G.A.J. Hazeu melihat sendiri dengan mata kepala, yang pertama menarik perhatiannya tentu kumis melintang yang bergerak-gerak cepat di atas bibir lelaki setengah baya yang sedang berpidato itu. Tapi laporan yang diberikan kepada G.G. van Stirum setebal 87 halaman itu adalah laporan resmi. Jabatannya sebagai Waarnemend advisuer voor Inlandsche zaken (pejabat penasihat Kantor Urusan Bumi Putra) tidak memungkinkannya membuat laporan kenes. Dan kumis melintang, bagai yang dimiliki Jampang, lepas dari catatan. Padahal kumis itu salah satu ciri khas sang orator dan agitator ulung ini. Hazeu memang seorang Belanda. Karena itu, bagaimanapun progresif pandangannya terhadap bumi putra, ia tetap bias dengan pemerintah kolonial. Toh ia masih mampu bersikap jujur. "Pada umumnya, para utusan mengikuti pembicaraan-pembicaraan dengan perhatian," tulisnya kepada Gubernur Jenderal Linburg Stirum, 29 September 1916. "Tampak ada perhatian besar, kesungguhan, dan tertib. Pimpinan rapat yang dipegang Ketua Tjokroaminoto cukup baik." Laporan itu juga menyebutkan suasana kongres, yang ditandai dengan perdebatan-perdebatan sengit tapi dengan nada yang beradab. Sang Ketua memang berhadapan dengan serangan tokoh-tokoh nasionalis lainnya. Sebut saja Abdoel Moeis, Hasan Djajadiningrat, Ardiwinata, Moh. Joesoef, dan Said Hasan bin Semit, lingkaran kepemimpinan Bumi Putra yang oleh Hazeu disebut orang-orang cakap dan berpengetahuan luas. Kita tahu, mereka termasuk kelompok nasionalis radikal. Namun, demikianlah Hazeu memperlihatkan penilaiannya yang jujur, "kesengitan perdebatan itu selalu berakhir dengan persetujuan". Tjokroaminoto dianggap cukup cakap mengendalikan pergolakan dengan satu atau beberapa ucapan yang tepat. Sekalipun Indonesia telah merdeka selama 38 tahun, laporan Hazeu sebenarnya tetap terdengar aneh. Sebab dalam Kongres Nasional Sentral Sarekat Islam yang pertama itu, H.O.S. Tjokroaminoto tak lain tak bukan sedang membakar rakyat untuk berjuang mendapat pemerintahan sendiri. "Kita cinta bangsa sendiri," teriaknya lantang di atas podium kepada ribuan massa di Bandung 17 Juni 1916 itu. "Dan dengan kekuatan agama kita, agama Islam, kita berusaha mempersatukan bangsa kita, atau sebagian besar dari bangsa kita. Karena itu, kita tlda takut meminta perhatian atas segala sesuatu, yang kita anggap baik, dan menuntut apa saja, yang dapat memperbaiki bangsa kita, tanah air kita, dan pemerintah kita." Dan, dengan suara yang lebih lantang, ia menggemakan tuntutan yang agak aneh terdengar waktu itu. "Tidak boleh terjadi lagi, bahwa dibuat undang-undang untuk kita, bahwa kita diperintah tanpa kita, dan tanpa ikut serta dari kita!" Sorak pun bergema, menggetarkan alun-alun besar - yang karena dipadati massa menjadi sempit. Dan itu hanya menyebabkan Tjokroaminoto semakin bersemangat. Ia melanjutkan, "Tidak patut lagi Hindia diperintah oleh Nederland. Tidak patut lagi memandang Hindia sebagai sapi perahan, yang hanya mendapat makan karena susunya!" Sesungguhnya, suara Kongres Nasional Sentral Sarekat Islam ini bukanlah satu-satunya gema yang gelisah. Hampir berbarengan dengan tahun-tahun itu nada tuntutan yang sama kerasnya bergaung di sana-sini. Sejak 1908 sampai dengan 1916 bermunculan kelompok-kelompok nasionalis - berlatar belakang sosial ekonomis yang berbeda - dengan tujuan sama. Dalam tahun-tahun itu lahir Boedi Oetomo, Sarekat Dagang Islam (di Bogor, kemudian didirikan lagi di Surabaya), Indische Social Democratische Vereniging (ISDV) di bawah pimpinan Sneevliet, Brandsteder, dan Douwes Dekker, Pasoendan (mendapat rechtspersoon, badan hukum, Desember 1914, padahal baru berdiri Mei tahun itu), Tri Koro Dharmo yang kemudian disebut Jong Java dan kelompok-kelompok lain sejenis. Dengan demikian kritik-kritik pedas Tjokroaminoto hampir merupakan kritik umum kaum nasionalis yang menekan pemerintah kolonial. Namun keanekaragaman kelompok pejuang ini - dengan dasar-dasar yang berbeda pula - yang menuntut lenyapnya pemerintahan Belanda masih dianggap wajar. Ini terlihat dari laporan Hazeu. Dia menyebutkan betapa perlunya perubahan kebijaksanaan, karena zaman telah berubah. Rakyat Bumi Putra harus dianggap sebagai manusia, tidak - sebagaimana masa lalu - dipandang seperempat atau setengah manusia. Mereka harus diperlakukan sebagai warga negara yang merdeka dan penuh. Tentang Sarekat Islam, organisasi rakyat terbesar itu - yang karenanya merupakan kekuatan alternatif bagi pemerintah Belanda Hazeu menilainya sebagai penjelmaan kesadaran rakyat, yang pada umumnya setia. "Karena itu," begitu laporannya lebih lanjut, "meskipun kita mau dan mampu membubarkan pergerakan itu, perasaannya, nada jiwa yang dihidupkan, tidak dapat dihancurkan dengan kekerasan." Tidak seperti Hurgronye, yang menasihatkan kebijaksanaan westernisasi untuk membelandakan bumi putra - yang melahirkan hasil sebaliknya - nasihat Hazeu terbukti. Kekerasan yang dilaksanakan pemerintah tidak mampu menekan gejolak bumi putra untuk merdeka. Tiga puluh delapan tahun Indonesia merdeka, pandangan yang berani menangkap struktur realitas ini toh masih angka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini