Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada Selasa, 2 Oktober 2018, Indonesia memperingati Hari Batik Nasional yang ke-9 sejak Batik Indonesia secara resmi diakui UNESCO masuk ke dalam daftar representatif Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi pada 2 Oktober 2009, demikian seperti dilansir Antara.
Baca juga: Hari Batik Nasional, Intip Batik Warisan Para Wali Songo
Berdasarkan kajian UNESCO, Batik Indonesia telah memenuhi kriteria untuk dimasukkan ke dalam Daftar Representatif, antara lain kaya akan simbol-simbol dan filosofi kehidupan rakyat Indonesia, serta memberi kontribusi bagi terpeliharanya warisan budaya nonbendawi pada saat ini dan di masa mendatang.
Batik sendiri sudah ada di Indonesia sejak zaman nenek moyang. Berdasarkan artikel Tempo yang dipublikasikan pada 2 Oktober 2013, kata batik berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa, yakni amba yang bermakna 'menulis' dan titik yang bermakna 'titik'. G.P. Rouffaer berpendapat, teknik membatik kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilanka pada abad ke-6 atau ke-7.
Sementara itu, Arkeolog Belanda, J.L.A. Brandes, dan Sejarawan indonesia, F.A. Sutjipto, percaya bahwa tradisi batik asli dari daerah seperti Toraja, Flores, Halmahera dan Papua. Padahal wilayah tersebut bukanlah area yang dipengaruhi oleh Hinduisme, tetapi diketahui memiliki tradisi kuno membuat batik.Ilustrasi batik. ANTARA/Andika Wahyu
G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Dia menyimpulkan pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat canting sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu.
Adapun detil ukiran kain yang menyerupai pola batik dikenakan oleh Prajnaparamita, arca dewi kebijaksanaan Buddhis dari Jawa Timur abad ke-13 yang menampilkan pola sulur tumbuhan dan kembang-kembang rumit. Hal ini menunjukkan bahwa membuat pola batik yang rumit yang hanya dapat dibuat dengan canting telah dikenal di Jawa sejak abad ke-13 atau bahkan lebih awal.
Sementara pada legenda dalam literatur Melayu abad ke-17, Sulalatus Salatin, diceritakan Laksamana Hang Nadim diperintahkan berlayar ke India oleh Sultan Mahmud untuk mendapatkan 140 lembar kain serasah dengan pola 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Karena tidak mampu memenuhi perintah tersebut, dia membuat sendiri kain-kain itu. Namun sayang, dalam perjalanan pulang kapalnya karam dan dia hanya mampu membawa empat lembar kain. Keempat lembar kain tersebut ditafsirkan sebagai batik.
Dalam literatur Eropa, teknik batik pertama kali diceritakan dalam buku History of Java, London, 1817 tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Pada 1873, seorang saudagar Belanda, Van Rijekevorsel, memberikan selembar batik yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam, dan pada awal abad ke-19.
Sejak memasuki era industrialisasi dan globalisasi, batik jenis baru bermunculan, yang kemudian dikenal sebagai batik cap dan batik cetak. Sedangkan batik yang diproduksi dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis.
Seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, batik juga berkembang dari yang awalnya berupa kerajinan kain menjadi busana yang dikenakan oleh para tokoh, mulai dari masa sebelum kemerdekaan hingga sekarang. Pada awal tahun 80-an, Presiden Soeharto menyatakan batik sebagai warisan nenek moyang Indonesia, terutama masyarakat Jawa, yang hingga kini dikenakan oleh berbagai kalangan dan usia.
Baca juga: Hari Batik Nasional: Ayo Pakai Batik, Tilik Gaya Modisnya
ANTARA | TEMPO | HADRIANI P
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini