Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Saat berada di gedung berlantai tinggi, hotel, atau rumah sakit terkadang tidak ada angka atau urutan angka 4 dan 13. Biasanya, pemiliki atau perancang gedung menyiasatinya dengan mengganti menjadi angka 3a, 12a, atau langsung saja melompat ke angka 5 dan 14. Namun, apa sebenarnya yang ada di balik angka 4 dan 13?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebenarnya, ketakutan terhadap angka 4 dan 13 merupakan percampuran antara kepercayaan dua budaya, yakni antara budaya Barat dan Asia Timur. Mengutip laman History, lebih dari 80 persen gedung bertingkat di Amerika Serikat tidak memiliki lantai 13 dan sebagian besar hotel, rumah sakit, serta bandara menghindari penggunaan angka tersebut untuk kamar dan gerbang juga. Di sisi lain, di sebagian wilayah Asia Timur dan Tenggara, angka 4 dianggap sebagai angka sial seperti angka 13 di Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketakutan akibat angka 13 berkisar pada kemunculan tamu ke-13 di dua peristiwa kuno. Yang pertama di alam Alkitab, di mana Yudas Iskariot merupakan tamu ke-13 yang tiba di Perjamuan Terakhir, adalah orang yang mengkhianati Yesus. Sementara itu, mitologi Nordik kuno menyatakan bahwa kejahatan dan kekacauan pertama kali diperkenalkan di dunia oleh kemunculan Dewa Loki yang berbahaya dan nakal di sebuah pesta makan malam di Valhalla. Dia adalah tamu ke-13 yang mengganggu keseimbangan 12 dewa yang sudah hadir.
Mengacu publikasi To Be or Not to Be Supersititious yang terbit di Scinece Direct, berdasarkan prinsip-prinsip numerologi Cina, angka 4 terdengar seperti kata ‘kematian’ dalam Bahasa Kanton. Tak hanya di Cina, ternyata budaya mengenai kesialan pada angka 4 juga ada di dalam budaya Jepang.
Dilansir publikasi The Unlucky Number In Cultural Perspective of Japaese Society yang terbit di laman ejournal.unp.ac.id, kesamaan pendapat yang menyatakan bahwa angka 4 sebagai angka sial dalam masyarakat Cina dan Jepang dapat dipahami karena eratnya hubungan keduanya sejak ratusan tahun yang lalu.
Banyak sekali unsur-unsur linguistik bahasa Cina yang diserap masuk ke dalam bahasa Jepang dan sebaliknya. Unsur-unsur linguistik itu di antaranya adalah cara pengungkapan angka 4 dan kata yang bermakna kematian dalam bahasa Cina yang masuk ke dalam bahasa Jepang sehingga keduanya kemudian juga membentuk hubungan linguistik berupa homofon dalam bahasa masing-masing.
MUHAMMAD SYAIFULLOH