Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Fenomena fatherless atau ketidakhadiran ayah, baik secara fisik atau psikologis, dalam kehidupan anak, rupanya cukup besar di Indonesia. Fatherless diartikan sebagai anak yang bertumbuh kembang tanpa kehadiran ayah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Atau anak yang mempunyai ayah tapi tidak berperan maksimal dalam proses tumbuh kembang anak, dengan kata lain pengasuhan," kata Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lebih lanjut, Indonesia berada di urutan ketiga di dunia sebagai negara tanpa ayah. Retno menyebutkan fenomena ini disebabkan tingginya peran ayah yang hilang dalam proses pengasuhan anak. Krisis peran pengasuhan ayah sering disebabkan oleh peran gender tradisional yang masih diyakini oleh masyarakat Indonesia.
Banyak kisah di masyarakat Indonesia yang menggambarkan fenomena fatherless, seperti keluarga miskin yang tidak memiliki figur ayah karena ibunya merupakan istri muda, keluarga kaya yang kehilangan figur ayah karena alasan sibuk bekerja dan sering bepergian keluar kota atau tanpa sadar tidak menjadikan keluarga sebagai prioritas.
"Reduksi peran gender tradisional memosisikan ibu sebagai penanggung jawab urusan domestik dan ayah penanggung jawab urusan nafkah masih melekat di masyarakat. Padahal, tumbuh kembang anak sangat dipengaruhi oleh kehadiran kedua orang tuanya dalam pengasuhan," jelasnya.
Lebih lanjut, anak yang mengalami fatherless rata-rata merasa kurang percaya diri, cenderung menarik diri di kehidupan sosial, rentan terlibat penyalahgunaan NAPZA, rentan melakukan tindak kriminal dan kekerasan, kondisi kesehatan mental yang bermasalah, munculnya depresi, hingga nilai akademis yang rendah. Hal tersebut umumnya terjadi karena anak kehilangan sosok ayah sebagai panutan dan pendamping hidup.
Adanya kekosongan peran ayah dalam pengasuhan anak, terutama dalam periode emas, yakni usia 7-15 tahun, sangat berpengaruh dalam urusan prestasi sekolah. Dampak fatherless bagi anak-anak yang bersekolah antara lain sulit konsentrasi, motivasi belajar yang rendah, dan rentan dikeluarkan dari sekolah. Meskipun anak memiliki ayah, namun mereka tidak mendapatkan pendampingan dan pengajaran dari sosok ayah, maka tetap berdampak buruk bagi perkembangan masa depan.
Penyedia platform edukasi GREDU memandang pentingnya memperkuat peran ayah untuk mencintai anak dan keluarga, mendidik, dan sebagai model yang akan ditiru oleh anak. Para ayah bisa menjadi idaman untuk anak dan istri dengan membuktikan rasa sayang atau cinta, seperti mengajak anak jalan-jalan, bersepeda, bahkan menemani permainan yang disukai oleh anak.
Misalnya anak perempuan, maka ayah pun tetap bisa menemani bermain boneka. Begitu pun sebaliknya untuk anak laki-laki yang suka bermain bola, maka luangkanlah waktu untuk bermain bersama. Menurut GREDU, untuk menjadi bapak yang baik, bukan berarti harus menjadi ayah super. Dari hal-hal yang sederhana, seperti meluangkan waktu, mendengarkan kisah anak-anak, memberikan kehangatan melalui ciuman, pelukan, atau bentuk kasih sayang lainnya, itulah yang diperlukan oleh anak.
Keterlibatan ayah dalam pendidikan anak merupakan kesempatan emas yang tidak akan terulang lagi. Bersama ibu, ayah bisa mendedikasikan waktu untuk tumbuh kembang anak. Orang tua juga perlu memberikan dukungan dan waktu bagi anak.