Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kelamin yang dimakan jengkol

Surip, 20, penduduk dagan, purbalingga, kelaminnya copot akibat keracunan asam jengkolat yang menyumbat saluran kencingnya. lubang kencingnya menyempit dan bernanah. jengkolan jika tak diobati, gawat. (ksh)

4 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA media massa pekan lalu ramai mengungkapkan sebuah berita unik tapi mengharukan: Surip, seorang pemuda 20 tahun pemuda Desa Dagan, Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga, kehilangan kelaminnya karena terlampau banyak makan jengkol. Peristiwa lepasnya alat vital Surip sebenarnya sudah lama terjadi, tapi tetap menarik perhatian ketika wartawan menemukanya. Pasalnya, kasus keracunan yang bisa parah ini hampir tak pernah diungkapkan, sementara jengkol tergolong banyak dikonsumsi masyarakat. Menurut pengakuan Surip sendiri, penyakitnya mulai diidapnya tahun 1979 setelah melahap jengkol dalam jumlah besar. "Saya sudah tidak ingat lagi berapa jumlah jengkol yang saya makan," katanya. Yang ia tahu frekuensi buang air kecil menjadi sering, dan terasa perih dan panas. Ikhtiar menolong Surip pun dilakukan, misalnya dengan mengubur pemuda malang itu setengah badan ke dalam tanah, cara pngobatan menurut keperayaan penduduk untuk menyembuhkan penyakit akibat makan jengkol. Upaya ke dukun juga dilakukan karena keluarga Surip tahu anaknya keracunan jengkol -- disebut jengkolan. Bukannya sembuh, keadaan Surip bertambah parah. Perut Surip menggembung dan kelaminnya termasuk buah zakarnya membesar dan terlihat berisi air. Tiga hari kemudian, alat vital dan buah zakar Surip menghitam seperti terbakar dan akhirnya "ambrol" lepas dari tubuh Surip. Malapetaka yang diderita Surip ternyata tak habis di tahun 1979 itu saja. Keracunan jengkol yang diidapnya ternyata kambuhan. Di tahun 1983 setelah makan sayur petai, kelamin Surip kembali bernanah. Setelah itu berbulan-bulan lubang kencingnya -- yang tidak lagi memiliki "pipa" -- menyempit. Karena itu, di tahun 1984, akhirnya, Surip dibawa ke dokter di Rumah Sakit Tentara Wijayakusumah, Purwokerto. Di situ Surip menjalani pembedahan -- konon keluar air satu ember. Melalui pembedahan lubang kencing Surip dibuka, hingga Surip bisa buang air kecil dengan normal. Sejak pengobatan di Wijayakusumah, keadaan Surip lebih baik, tapi ia mengaku tak mampu bekerja berat. Menurut orangtuanya, bila Surip mengangkat barang di atas 25 kilogram, kelaminnya kembali bernanah dan kencingnya pun bercampur darah. "Saya memang pasrah kepada Tuhan," tutur Surip. Menurut dr. Ibnu Ibrahim, ahli bedah yang menangani Surip, pemuda itu memang keracunan asam jengkol. Menurut dokter itu, kasus keracunan jengkol di Keresidenan Banyumas memang senantiasa ada. Walau tidak besar, tercatat ada yang meninggal. Namun, kasus semacam Surip baru pertama kalinya terjadi. Menurut Ibnu, rontoknya alat vital Surip akibat terlambat berobat. "Dan kebetulan karena fisiknya memang lemah," katanya. Sebenarnya, menurut Ibnu, Surip bisa ditolong bila cepat ke dokter. Apa yang sebenarnya terjadi pada Surip, menurut Prof. Sadatoen, guru besar urologi Universitas Indonesia, adalah keracunan asam jengkol yang dinamakan asam jengkolat, suatu senyawa dengan dua gugus amine (NH2) dan dua gugus COOH. Asam jengkolat yang berwarna keputih-putihan bisa mengkristal pada ginjal dan saluran kencing. Pada tingkat yang ringan keracunan asam jengkolat ini mengakibatkan sulit kencing. Rasa nyeri pada perut sering diikuti dengan bercampurnya darah pada air seni. "Pada taraf keracunan seperti ini bisa diberi tablet bikarbonat natrikum," ujar Sadatoen, "supaya urinenya cepat diubah menjadi alkali dan keluar lancar kembali." Namun, taraf ini bisa juga lebih parah yaitu ketika perut sudah menggembung. Biasanya diikuti dengan muntah-muntah. Tablet bikarbonat natrikum tak dapat diberikan karena segera dimuntahkan kembali. "Pada tingkat ini, bikarbonat natrikum terpaksa diinfuskan," ujar Sadatoen lagi, "dan penderita harus dirawat di rumah sakit." Biasanya perawatan ini diikuti pemberian suntikan-suntikan penghilang rasa nyeri. Yang gawat dari keracunan ini apabila kristal-kristal asam jengkolat menyerang ginjal. Struktur faal ginjal terganggu. Akibatnya, kadar urine dalam darah naik sampai 200/300 miligram per liter darah -- kondisi normal hanya 20/40 miligram per liter. Keadaan ini, menurut Sadatoen, sangat berbahaya. "Pada tingkat ini penderita bisa coma yang disebut coma uraemicum," katanya. Pertolongan pada taraf ini sudah cuci darah seperti pada sakit ginjal berat, yang dikenal sebagai hemodialisis -- menggunakan peralatan yang sangat mahal. Apa yang sebenarnya terjadi pada Surip? Menurut Sadatoen, ini kondisi gawat lainnya, yaitu kristal asam jengkolat menyumbat saluran kencing. Akibatnya, air kencing tak dapat terbuang dan tertimbun di kantung kencing atau buli-buli. Air seni yang tidak terbuang ini bersifat toksik atau racun. Dan celakanya, kemudian merembes ke jaringan penis dan kantung kemaluan, bahkan ke jaringan lain di sekitar kemaluan. Perembesan ini dikenal sebagai imbisisi. "Bila dibiarkan jaringan yang dirembesi urine tadi akan membusuk," ujar Sadatoen. Dan inilah yang terjadi pada Surip. Setelah jaringan di sekitar kelaminnya membusuk dengan sendirinya alat vital pun copot dari tubuh. Ikhtiar mengatasi ini hanya bisa dilakukan dengan jalan pembedahan. Berbagai bagian tubuh di sekitar kelamin harus disayat-sayat sehingga air seni yang merembes bisa keluar. Penyumbatan semacam ini memang hanya terjadi pada laki-laki karena saluran kencing pria dari ginjal cukup panjang, yaitu 10-12 cm. Saluran kencing wanita hanya sekitar 2 cm. Karena pendeknya saluran kencing wanita itu, penyumbatan asam jengkolat hampir tak mungkin terjadi. Di RS Cipto Mangunkusumo, tempat Sadatoen bekerja, kasus keracunan jengkol senantiasa ada, insidensinya sekitar dua sebulan. Rata-rata memang tidak berat dan bisa diatasi dengan bikarbonat natrikum. Jengkol memang sulit disisihkan dari makanan sebagian anggota masyarakat. Walau mengandung vitamin B1, jengkol pada kenyataannya lebih banyak bahayanya. Menurut Sadatoen, pada musim kering kadar asam jengkolat pada setiap buah jengkol meningkat. Kadar ini juga lebih besar pada jengkol yang tua. Jadi, barangkali lebih baik tidak makan jengkol. Jis, Laporan Ahmed Soeriawidjaja (Jakarta) & Slamet Subagyo (Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus