Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Di belakang punggung adidharma

Adidharma, dirigen orkes simfoni jakarta (osj) pensiun. anggota osj meminta dia supaya tetap membantu. untuk memenuhi periuk nasinya, anggota osj membentuk kelompok sempalan. (ms)

4 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADIDHARMA bukan Arturo Toscanini. Ia membiarkan penonton yang hampir memadati gedung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Rabu pekan lalu, bertepuk tangan meriah di akhir Concerto No. 2 Opus 18 untuk piano dan orkes (S. Rachmaninov). Ini menandai awal masa pensiunnya sebagai pegawai negeri dengan golongan pangkat IV-B dalam kedudukannya sebagai dirigen di Orkes Simfoni Jakarta (OSJ). Toscanini, dirigen Orkes Filharmoni Wina, ketika menyelenggarakan pergelaran perpisahan di Wina, beberapa puluh tahun yang lalu, meminta penonton diam. Lalu ia terbungkuk-bungkuk meninggalkan panggung. Adidharma bukan Leonard Bernstein dirigen dan komposer beken Amerika itu. Ketika Bernstein pensiun dengan pentas perpisahan bersama Orkes Filharmoni New York, 1969, di kepalanya ada pertanyaan: siapakah yang akan meneruskan mengayunkan baton dirigen. Maka, ketika sejumlah anggota OSJ mengajukan "petisi" yang meminta agar Adidharma masih tetap membantu OSJ, semakin terlihat betapa mereka sendiri ragu terhadap kelangsungan satu-satunya simbol musik serius di negeri ini. Sedangkan Bernstein meninggalkan Orkes Filharmoni New York tanpa peduli dengan beban semacam itu, kecuali pertanyaan tadi. "Tidak mudah mencetak dirigen. Sementara dari anggota OSJ, yang cuma segelintir itu, tak banyak yang bisa diharapkan," kata Adidharma. Di luar itu, mustahil pula bisa memperolehnya. OSJ adalah institusi tertinggi di dunia musik serius di sini, yang sukses dibina Adidharma -- setidaknya menjaga agar tidak terkubur. Konon, keberhasilan itu jugalah yang telah menjerat Adidharma. Akibatnya, ia tak cukup waktu untuk mengurusi dirinya sendiri. Barangkali kini, setelah pensiun, Adidharma bisa membebaskan diri dari jerat. Sebuah ensambel gesek menantinya. Namun, bukan cuma Adidharma yang secara sengaja mendirikan kelompok-kelompok sempalan. Anggota OSJ yang lain juga melakukannya, lebih dulu memang. Tentang jarangnya pemunculan OSJ, tidak seimbangnya penghasilan yang mereka peroleh bisa ditampilkan sebagai penyebabnya. Justru lewat kelompok-kelompok sempalan itu, para anggota OSJ bisa hidup lebih layak. Dalam sebulan, maksimum empat kali pemunculan, seorang anggota OSJ yang main di kelompok sempalan mendapat sekitar Rp 100 ribu. Kalau dia hanya mengandalkan OSJ, penghasilannya hanya berkisar Rp 40 sampai Rp 60 ribu. Tengok saja acara-acara televisi kita. Orkes Telerama pimpinan Isbandi dan Orkes Keroncong Gita Pusaka pimpinan Achmad, misalnya, menjadi tumpuan hidup sebagian besar pemain OSJ. Sementara itu, Yap Tjie Kian, violis yang menjabat sebagai concert master, punya orkes kamar sendiri. Begitu pula Suka Hardjana atau Bariman -- kendati dua nama terakhir ini tidak tercatat sebagai anggota OSJ -- juga punya orkes kamar. Kehadiran kelompok-kelompok sempalan ini memang punya khasiat. Paling tidak dengan diperolehnya sebagian nafkah di luar itu, OSJ menjadi ajeg bermain, sesuai dengan jadwal. Setidak-tidaknya, mereka tidak mengulangi peristiwa batalnya konser OSJ, Juli 1979. Ketika itu, Praharyawan Prabowo, sebagai dirigen tamu (nama yang sekarang ini disebut-sebut sebagai pengganti Adidharma) telah mempersiapkan Carnaval of the Animals. Namun, karya Saint-Saens itu urung dipergelarkan karena 42 anggota OSJ menolak latihan. Alasannya, tenyata karena tidak turunnya honor dari Pemda DKI Jakarta Rp 20 ribu setiap pemain. Sebagian besar dari mereka sekarang sudah diangkat menjadi pegawai negeri. "Namun, masih banyak lagi yang menunggu berkas pengangkatan," kata Sunyoto, kepala siaran musik RRI Stasiun Pusat. Kendati begitu, kalau anggota OSJ hanya mengharapkan dari penghasilan sekitar Rp 60 ribu sebulan itu, mustahil mereka punya kekuatan menggesek biola atau bernapas panjang meniup terompet, tanpa ngobyek di grup sempalan tadi. Tragis. Tapi begitulah kenyataannya: ruwet dan berkait-kait. Maka, banyak orang bingung untuk mencari ujung pangkal persoalan -- walau kadang tanpa bermaksud membantunya. Karena itu, tidaklah mengherankan jika para lulusan sekolah musik lebih suka mencari nafkah dengan memberikan les ketimbang menjadi pemain OSJ. Pernah, harapan diletakkan kepada Orkes Simfoni Remaja (OSR) sebagai wadah penggemblengan generasi penerus. Hasilnya ternyata melenceng jauh. Pada mulanya, OSR muncul berkat dorongan Ali Sadikin, ketika itu Gubernur DKI Jakarta. Mereka pernah mengadakan konser gabungan dengan OSJ. Namun, setahun terakhir ini, OSR praktis tak kedengaran suaranya, kecuali dalam acara konser remaja programa bulanan TVRI -- dengan mutu setingkat "asal bunyi". Rudy Laban, sebagai perintis wadah OSR, hanya bisa mengelus dada. "Yang penting, wadah itu ada dulu," katanya. James R. Lapian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus