Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Makan tak makan ngumpul di Seoul

Tim bulu tangkis indonesia menggondol perak. mereka dirugikan penjaga garis yang berat sebelah. pembalap sepeda, fani gunawan, meraih perak. ambisi menduduki peringkat ke-4 asian games x semakin jauh. (or)

4 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IMELDA Kurniawan berjalan terisak. Di belakangnya dalam kondisi yang sama menyusul Rosiana Tendean. Sambil sesekali menghapus air mata mereka, dua pemain ganda putri Indonesia itu langsung masuk ke kamar ganti. Disusul Manajer Tim Aburizal Bakrie, kedua pemain yang Mei silam pernah jadi srikandi tim Piala Uber Indonesia itu menumpahkan semua kepiluan mereka -- kalah dari ganda Jepang Atsuko Tokuda/Yonekura Yoshika di semifinal nomor beregu kejuaraan bulu tangkis Asian Games X -- di kamar ganti pakaian. "Kami kalah karena linesman," ujar Imelda. Matanya merah basah. Sambil sesekali menahan napas, Aburizal mencoba menenangkan dua pemain yang terus menangis terisak itu. Suasana di kubu pemain bulu tangkis Indonesia memang terasa murung, Minggu sore pekan lalu. Maklum, hari itu dua kekalahan telak mereka alami di nomor pertandingan beregu. Tim putri dipecundangi Jepang 2-3 dan tim putra dua jam sebelumnya, dikalahkan Korea Selatan 2-3. Maka, hilang jugalah dua peluang untuk merebut medali emas di Asian Games. Medali emas kali ini dimenangkan tim Korea Selatan untuk putra dan RRC untuk putri. Tapi, kemenangan Park Joo Bong dan kawan-kawan agak ternoda karena penjaga garis orang Korea menguntungkan mereka. Itu antara lain terlihat ketika mereka mengalahkan Indonesia di semifinal. Di partai pertama ketika Icuk berhadapan dengan Park dan juga di tunggal kedua ketika Eddy Kurniawan menghadapi Sun Han Kook. Icuk bahkan sempat mengangkat tangan meminta pengertian wasit ketika ada bola yang jelas masuk, karena kena tubuh Park jatuh di luar lapangan dan dinyatakan wasit keluar. "Wah, benar-benar belum pernah selama karier saya menerima kenyataan seburuk itu," kata Icuk, 24. Ia kalah set ke-3 itu dari Park. Padahal, sudah memimpin hingga 8-3 sebelumnya. Hal yang sama dialami Eddy Kurniawan, 25, ketika menghadapi pemain baru Kor-Sel Sun Han Kook, 23. "Saya hitung sedikitnya saya dirugikan empat kali, dan itu di saat angka kritis," ujar Eddy, yang kalah rubber set dari Sun. Hari itu protes terhadap putusan penjaga garis memang menghangat. Ketika berhadapan dengan Korea Selatan di nomor putri beregu, tim RRC nyaris melakukan WO, juga karena ulah penjaga garis. Manajer Tim RRC Wan Wen Jiao bahkan sempat bangkit dari kursinya dan berteriak-teriak memanggil keluar pemain gandanya Li Lingwei/Han Aiping yang sedang berhadapan dengan Kim Yun Ja/Yoo Sang Hee. "Mana bisa main, kalau caranya begini," teriak Wenjiao. Tapi tim putri Cina akhirnya menang di partai penentuan lawan Jepang. Tapi, Senin malam ini, tim putra mereka kembali menghadapi kasus serupa. Dan akhirnya kalah sehingga hanya berhak menerima perak pada nomor beregu putra. Namun, upacara penyerahan medali terpaksa tertunda sekitar 45 menit karena hampir semua anggota tim bulu tangkis Cina bergegas keluar menolak mengikuti acara penyerahan medali. Lewat lobi sejumlah pengurus bulu tangkis RRC termasuk wakil IBF untuk pertandingan Mr. Chada, asal India, Wenjiao dan anak buahnya akhirnya mau kembali masuk ke ruangan. Buat RRC, kekalahan tim putra itu kendati pahit -- inilah yang pertama dalam nomor beregu bulu tangkis mereka kalah dari Kor-Sel -- tentulah tak sesakit Indonesia, yang menggantungkan harapan perolehan medali emas di cabang ini. Malah, semula, cabang ini diduga bakal menjadi pembuka jalan buat kontingen Indonesia yang belum satu pun merebut medali emas di pesta olah raga yang sudah berlangsung sepuluh hari itu. Dugaan itu meleset rupanya. Kontingen Indonesia, yang merupakan kontingen kelima terbesar jumlahnya di AG kali ini tetap terseok dalam perolehan medali: baru mengumpulkan satu perak dan 8 perunggu. Ini awal kritis, dari tekad untuk mencapai target peringkat empat, seperti yang sudah dicetuskan Ketua Umum KONI Surono. Indonesia di AG sebelumnya di New Delhi menempati peringkat kelima dengan memperoleh 4 emas, 8 perak dan tujuh perunggu. Adalah karena tak ikutnya Kor-Ut, KONI berani mencanangkan tekad hendak mengisi peringkat keempat, setelah RRC, Jepang, dan Kor-Sel. Tekad pimpinan KO NI itu memang cukup berdasar. Sebab, sebenarnya, persiapan sudah digodok cukup matang. Sejumlah cabang, seperti senam, atletik, anggar, tinju, gulat, renang, judo, dan balap sepeda, sudah dikirim berlatih ke luar negeri sebagian ke Rumania, sebagian lagi ke Amerika dan Jerman Barat. Tak hanya numpang berlatih, tapi juga sampai menyewa pelatih asing. Balap sepeda, yang kini dilatih pelatih profesional asal Jerman Barat Otto Atweck, misalnya, malah sudah pakai sepeda dengan lingkar dan jari-jari model terbaru disc jet, seperti yang dipakai tim AS yang memenangkan lomba balap sepeda Olimpiade 1984. Tapi, hasil mereka ternyata tetap tak memuaskan: hanya bisa menyumbangkan satu medali perak atas nama Fanny Gunawan. Fanny, 26, asal Jawa Tengah, sempat akan menjadi pujaan ketika dia hampir merebut medali emas di nomor jalan raya 179,2 km, Minggu pekan lalu. Sudah memimpin sampai 250 meter terakhir, entah kenapa ia tiba-tiba bisa diserobot pembalap Kor-Sel Shin Dae Chul, hanya 5 meter menjelang finish. "Sepeda saya tak bisa dioper giginya menjelang finish," ujar Fanny, seperti mau menangis setelah lomba usai. Kendati dipeluk dan diberi selamat oleh teman-temannya, pembalap yang sudah di kirim berlatih ke pelbagai negara di Eropa ini tetap nampak menyesal karena kegagalannya itu. Memang kontingen balap sepeda yang datang dengan personel 13 orang itu terlihat cukup terhibur dengan perak yang dihasilkan Fanny. Tapi, tetap tak menutupi isyarat yang hampir menjadi kenyataan bahwa kali ini kontingen Indonesia bakal anjlok dalam pengumpulan medali emas. Kegagalan yang tampaknya agak keterlaluan jika terjadi. Sebab, baru Desember tahun lalu, Indonesia, yang juga datang dengan kontingen berjumlah besar, digeser Muangthai dalam perolehan medali emas dalam SEA Games. Kali ini pun, jika tenis, bulu tangkis, dan atletik yang masih memainkan pertandingan mereka sampai Asian Games ditutup tak berhasil merebut emas, Indonesia mudah diduga akan menempati posisi di bawah Muangthai, yang sudah mengumpulkan 2 emas, 4 perak, dan 5 perunggu dan Filipina yang sudah mengumpulkan 3 emas, 2 perak, dan 3 perunggu. Jika ini terjadi, resmilah sudah bahwa prestasi Indonesia memang telah jauh betul merosot. Apa sebab? Bukankah kita sudah mengirim pelatih dan juga atlet belajar di luar negeri? Banyak sebab dikemukakan pengurus KONI yang kini menunggu para atlet mereka di Seoul. Bob Hasan, Ketua Umum PASI dan juga Ketua Bidang Luar Negeri KONI, mengatakan, salah satu sebab utama karena atlet Indonesia kalah dalam power (kekuatan dan daya tahan). "Ini karena dasar mereka menjadi atlet tak begitu kuat. Saya sudah sering berteriak-teriak agar kelemahan itu bisa ditutupi, perkuat basis di sekolah-sekolah. Jadikan atletik sebagai kurikulum di sekolah. Tapi hingga kini belum bisa diwujudkan, Yah, mau apa lagi," katanya. Dia lalu menyebut sejumlah negara seperti RRC, Jepang, dan Korea Selatan yang maju olah raga mereka karena punya kurikulum atletik di sekolah-sekolah. Usul tentu saja boleh. Tapi, sudah tahu begitu mengapa KONI mengirim atletnya dalam jumlah besar ke Asian Games kali ini? Bob mengatakan, ia sendiri tak apriori mengirimkan jumlah besar ke suatu turnamen internasional. "Penting untuk memberi penalaman buat atlet, terutama yang muda-muda. Memang seperti sekarang ini saya ndak setuju, banyak atlet yang sudah berumur diikutkan," katanya. Ada contoh seperti diungkap Christian Hadinata, 36. Pemain badminton yang sudah 5 kali ikut AG mengatakan ada ketakutan bakal kalah dan mendapat kecaman dari pimpinan cabang olah raga, sehingga mereka memaksakan pemain-pemain senior seperti dia terus ikut dalam suatu kejuaraan. "Padahal, saya ini sebenarnya sudah menolak. Saya masih bisa main dan tahu ke mana lawan mau memukul bola. Tapi, karena sudah tua, kecepatan dan refleksi sudah berkurang," katanya. Dia mengaku hanya karena tak enak menolak maka ia ikut ke Seoul. Apa yang dikemukakan Christian, boleh jadi, bukan hal baru. Tapi, mengapa atlet muda yang juga sudah dikirim berlatih ke luar negeri seperti renang juga tak gemilang? "Karena kita kekurangan bibit berbakat," kata M.F. Siregar, bekas Sekjen KONI yang kini masih menjadi Ketua Umum PRSI (Persatuan Renang Seluruh Indonesia). Dia mengambil contoh Lukman Niode. "Prestasinya sudah sampai di situ, susah digenjot lebih tinggi, sementara bibit calon pengganti dia belum kelihatan," kata Siregar. Asisten Menpora ini terus terang mengatakan meskipun tak begitu puas, ia cukup senang dengan hasil perenangnya. "Mereka tak hanya menyumbangkan perunggu dalam kondisi persaingan yang begitu ketat, tapi juga bisa memecahkan delapan rekor nasional," katanya berseri-seri. Banyak soal tampaknya harus diperbaiki setelah kontingen Indonesia ternyata tak mencapai target yang ditentukan KONI nanti. Tapi, satu hal penting sudah dicanangkan lagi oleh M. Sarengat Sekjen KONI Pusat bahwa mungkin di masa mendatang KONI akan memperketat pengiriman atletnya ke luar negeri. "Setelah dites fisik dan teknis baru seorang bisa dipercaya membawa nama bangsa negara ke luar negeri. Tanpa itu, meskipun pembiayaan akan ditanggung cabang olah raga yang bersangkutan, KONI tak akan memberi izin," kata Sarengat. Ia mengakui KONI memang agak kedodoran dengan prestasi yang diperlihatkan para atlet kini di Seoul. "Akan kita evaluasi semuanya nanti," katanya. Penilaian itu tentu termasuk juga soal kecepatan datang kontingen ke Seoul. Sebab, soal yang ketika berangkat sudah diperdebatkan itu ternyata membawa efek. Misalnya, dalam latihan, tak bisa dilakuakan intensif, seperti diceritakan Icuk Sugiarto. Dia hanya latihan sekitar 1,5 jam sehari, di Seoul itu pun tak penuh, karena harus bergantian dengan sekitar 14 temannya. Dan manajer tim bulu tangkis Aburizal Bakrie mengeluh dia terpaksa tak bisa mencari tempat latihan di luar yang ditentukan panitia Asian Games karena alasan keamanan seperti yang disebut pihak tuan rumah. "Dulu, sebenarnya kami sudah minta agar bisa berangkat belakangan tapi karena KONI memaksa semua kontingen harus berangkat sama-sama, yah itulah akibatnya. Mau mangan ora mangan ngumpul, ya jadinya begini," kata Aburizal, sambil nyengir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus