Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Gaya Hidup

Kisah Kampung Adat Ciptagelar Mengolah Padi Hingga Punya Cadangan Pangan Puluhan Tahun

Kalangan petani kampung adat Kasepuhan Ciptagelar kini tengah menanti waktu panen padi. Kabarnya kini mereka telah memiliki stok cadangan pangan hingga puluhan tahun ke depan.

8 Maret 2025 | 16.59 WIB

Beberapa varietas padi dan bibit yang ditanam petani warga kampung adat Ciptagelar. (Dok.Yoyo Yogasmana)
Perbesar
Beberapa varietas padi dan bibit yang ditanam petani warga kampung adat Ciptagelar. (Dok.Yoyo Yogasmana)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Kalangan petani kampung adat Kasepuhan Ciptagelar kini tengah menanti waktu panen padi. Kabarnya kini mereka telah memiliki stok cadangan pangan hingga puluhan tahun ke depan. “Kami hanya panen padi sekali dalam setahun untuk menghormati ibu bumi,” kata Yoyo Yogasmana juru bicara Desa Adat Kasepuhan Ciptagelar kepada Tempo, 6 Maret 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Dari hasil perhitungan ketua adat Ugi Sugriana Rakasiwi alias Abah Ugi pada 2017 menurut Yoyo, persediaan pangan utama warganya itu bisa sampai 95 tahun ke depan. Sementara estimasi dari hasil panen setiap tahun mengalami surplus 40 ribu ton. Dari kalkulasi terbaru sekitar 3-4 bulan lalu, Abah Ugi memakai skenario andaikan bumi tidak bisa ditanami selama 7-10 tahun. “Buat kami aman, kalau sekarang masih bisa ditanami akan terus bertambah stok beras,” ujar Yoyo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petani kampung adat Ciptagelar menggunakan dua sistem pertanian. Cara lama bertani pada lahan kering yang berlokasi di perbukitan atau huma alias berladang di lereng. Metode lainnya bertani pada hamparan lahan basah atau bersawah. Waktu penanamannya dilakukan bersamaan sebagai kesatuan sistem yang dilakukan oleh keluarga maupun secara komunal. “Dari penanaman sampai bisa panen maksimum enam bulan,” kata Yoyo.

Waktu awal bertani berpatokan pada dua bintang yaitu Kerti atau Kartika sebagai dimulainya masa persiapan, kemudian bintang Kidang atau Waluku alias Orion sebagai penanda waktu mulai menanam padi. Kelak setelah bintang Kidang bergeser posisinya ke arah jam dua, artinya penanaman harus dihentikan dan masuk fase untuk membesarkan padi sampai berbuah.

Sebelum akhirnya bintang Kidang alias Orion menghilang, padi sudah harus dipanen sebelum kemunculan serangga walang sangit. “Selanjutnya ibu bumi beristirahat setelah melahirkan kehidupan padi untuk memulihkan tenaga karena tahun depan harus bersiap lagi untuk melahirkan,” ujar Yoyo.

Hasil panen rata-rata sekitar 800 ribu ikat. Pada tahun lalu meningkat sampai 1 juta ikat. Panen fenomenal terjadi pada 2015 yang mencapai 2.144.000 ikat dengan luasan dan bibit padi yang sama. “Padahal saat itu terjadi El Nino, kemarau panjang yang banyak menggagalkan panen padi di tempat lain,” kata Yoyo. Biasanya, hasil panen padi di Ciptagelar yang berada di ketinggian 1.200-an meter dari permukaan laut (mdpl) kalah banyak dari pertanian di daerah panas antara 0-700 mdpl.

Mereka menggunakan bibit padi warisan leluhur yang ketika tanamannya digoyang-goyang, bulir padinya tidak rontok. Dari hasil penelitian seorang akademisi, menurut Yoyo, pada 1996 tercatat ada 167 varietas padi di Ciptagelar, namun sekarang belum ada lagi riset lanjutan. Padi yang ditanam berjenis beras putih, merah, dan hitam. Sebagian lagi menanam beras ketan.  

Tanpa memilah atau menyaring varietas padi yang unggul, semua ditanam sesuai kecocokan dengan kondisi lahan. “Setiap orang memilih sesuai sukanya, semua jenis padi ditanam di 569 perkampungan atau menempati 3 wilayah kabupaten, yaitu Lebak, Bogor, dan Sukabumi,” kata Yoyo. Hasil panen dari setiap petani kemudian disisihkan 10 persen untuk pengurus kampung adat. Kemudian separuhnya disimpan ke lumbung, dan 40 persen lainnya dibagikan ke keluarga atau saudara.

Setiap petani minimal punya satu lumbung, hingga belasan unit. Lumbung atau leuit dalam bahasa Sunda, diartikan sebagai simbol kehidupan yang hanya punya satu pintu di bagian atas. Menurut Yoyo ada lumbung yang dibuat sejak 1838, atau sudah berumur 187 tahun, dan masih ada padi di dalamnya. Mereka percaya padi tidak punya istilah mati atau kedaluarsa karena berasnya terasa hangat jika digenggam. “Kalau sudah tua beras putih jadi kuning, merah jadi hitam, yang hitam jadi kebiruan violet,” ujarnya.

Bagi masyarakat kampung adat Ciptagelar, beras sebagai persediaan pangan dan kehidupan tidak untuk diperjual belikan atau pantang sebagai komoditas. Penggunaannya pun tidak hanya untuk manusia tapi juga hewan seperti ayam, tikus, kecoa, cicak, semut. Mereka tidak boleh membunuh binatang di sekitar lingkungan tinggal karena sebagai satu keluarga yang hidup bersama. Termasuk menurut Yoyo, tikus di lumbung yang tidak dianggap sebagai hama melainkan penunggu. “Berasnya tidak habis, karena kehidupan itu ada yang lahir dan mati.”  

Anwar Siswadi (Kontributor)

Kontributor Tempo di Bandung

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus