Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Gaya Hidup

Klangenan, Kuliner Gulali Jadul yang Mulai Langka di Pasaran

Meski sudah jarang dijual, kuliner gulali jadul tetap diminati bagi yang ingin nostalgia.

3 September 2018 | 08.15 WIB

Gulali warna-warni yang dijual di Lapangan Rampal, Malang, pada Sabtu hingga Minggu, 1-2 September 2018. TEMPO/Francisca Christy Rosana
Perbesar
Gulali warna-warni yang dijual di Lapangan Rampal, Malang, pada Sabtu hingga Minggu, 1-2 September 2018. TEMPO/Francisca Christy Rosana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Malang - Penjaja gulali jadul, Nizar dan Yusuf Saikon bersaudara, dikerumuni pembeli saat keduanya membuka gerobak sederhananya di tengah festival kuliner di Lapangan Rampal, Malang, Jawa Timur, Minggu, 2 September 2018. Mereka tergolong pelaku usaha kuliner yang menjajakan penganan kuno langka pada acara Pucuk Coolinary Festival. Festival ini digelar perusahaan air minum teh kemasan, Teh Pucuk Harum.

"Kalau kami ikut event begini, biasanya memang selalu ramai. Soalnya penjual gulali kan sudah mulai jarang ada di Malang," ujar Yusuf sembari sibuk melilit-lilit gula yang mengental. Tangannya piawai membentuknya menjadi kembang gula dengan beragam pola.

Yusuf dan Nizar tergolong pemain lama untuk penjaja gulali. Usaha ini diteruskan keduanya dari ayah mereka, H. Yusuf, sejak 1960-an. Kini, keluarga besar mereka seluruhnya adalah penjaja gula-gula jadul itu.

Gulali dengan label nama sang ayah, yakni H. Yusuf, itu sudah melanglang sampai Blitar, Sidoarjo, hingga Malaysia. "Kami kirim ke Malaysia biasanya untuk gulali ukuran besar dengan harga Rp 5.000," kata Nizar saat ditemui di acara festival kuliner tersebut pada Minggu siang. Penjual gulali H. Yusuf sedang melayani pelanggan di Pucuk Coolinary Festival, Malang, Jawa Timur, Minggu, 2 September 2018. TEMPO/Francisca Christy Rosana

Menurutnya, jumlah peminat gulali jadul tak surut meski kini dihadapkan dengan pesaing-pesaing ketat. Bahkan, tak hanya anak-anak, pembelinya adalah orang-orang dewasa yang hendak bernostalgia.

Nizar mengaku gulalinya unggul karena kualitas yang terjaga. Karena itu, rasanya tak pernah berbeda dari tahun 1960-an sampai sekarang. Kuncinya ialah bahan baku. Mereka konsisten memakai gula pasir kelas satu yang berwarna putih. "Kalau pakai gula pasir cokelat, rasanya akan pahit," ujarnya.

Permen itu kini dijual Rp 2.500 hingga 5.000 per tusuk. Harga lebih murah bisa didapatkan bila mereka berjualan di sekolah-sekolah dasar, bukan saat ekshibisi. Ada sejumlah pola yang bisa dipilih pembeli, mulai hewan, bunga, sampai mobil-mobilan.


Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

FRANCISCA CHRISTY ROSANA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, ia bergabung dengan Tempo pada 2015. Kini meliput isu politik untuk desk Nasional dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco. Ia meliput kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke beberapa negara, termasuk Indonesia, pada 2024 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus